Suatu saat, ketika sedang berkumpul bersama teman-teman kuliah dulu, saya bertemu kawan lama satu daerah.
‘Hei kepriben kabare? Suwe ora ketemu!‘ teriak saya. Otomatis pandangan satu kampus tertuju pada saya dan kawan saya. Sesaat setelah obrolan ringan bersama kawan lama tersebut, seorang teman kuliah bertanya sembari bertanya.
‘Jadi kamu ngapak?’
Sejurus kemudian seluruh teman berkerumun berebut meminta saya berbicara bahasa ngapak lagi. Dengan muka bingung saya bertanya, ‘ada yang salah?’
Ya, saya memang berasal dari daerah pengguna bahasa ngapak. Pengguna bahasa ini saya amati kerap menjadi pusat perhatian, mungkin karena keunikan bahasa kami.
Selain di kampus berbagai respon saya terima saat bepergian. Berikut respon-respon yang sering saya terima ketiak orang mengetahui kalau saya adalah pengguna bahasa ngapak;
Dan jika kurang beruntung bertemu orang yang ‘kejam’, b
iasanya ditambahkan dengan pertanyaan, “buka warteg dimana?”
Perlu saya luruskan, orang berbahasa ngapak tak hanya ada di Tegal, namun juga ada di Pemalang, Brebes, Purbalingga, Banjarnegara, Purwokerto, Cilacap, Sebagian Wonosobo dan Kebumen, dan juga Cirebon bagian timur.
Selain itu, meski sebagian besar sama, masing-masing daerah pengguna bahasa ngapak memiliki ciri khas tersendiri, seperti Tegal dengan pengucapan yang lebih cepat, Cilacap dengan beberapa akhiran kata yang lebih panjang, ataupun Cirebon yang tercampur dengan bahasa sunda.
Saya sendiri berasal dari Purbalingga, sebuah kota kecil yang terletak di kaki Gunung Slamet.
Setelah menjelaskan asal saya dari Purbalingga, respon paling sering saya dapatkan selanjutnya adalah,
‘Bukannya Probolinggo itu di Jawa Timur?’
Tentu tak semua merespon demikian. Sebagian besar orang yang cukup berumur-biasanya para pegawai negeri atau pengusaha- tahu dimana Purbalingga, meski harus saya sebutkan dulu bahwa Purbalingga berdekatan dengan Purwokerto.
Respon ‘Dimana letak Purbalingga?’ sering saya dapatkan saat duduk disamping anak muda gaul dengan headset di telinga dan gadget selalu dalam genggaman. Setelah obrolan ringan mengenai Purbalingga, juga letak posisinya dan mereka tak juga paham, kalimat yang sering saya lontarkan pada tipe orang tersebut :
‘Bisakah kamu coba ketik “Purbalingga” di Google Maps-mu?”
Respon paling membingungkan yang saya dapat saat seseorang mendengar saya berbahasa ngapak. Dengan logat yang dibuat-buat, mereka terus menerus mengulang kata tersebut. Padahal, pertanyaan diatas jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah ‘Saya lapar, bagaimana?’
Bayangkan seseorang terus mengulang kata ‘Saya lapar, bagaimana?’ di dekat telingamu.
Hingga sekarang saya tak tahu bagaimana cara terbaik menanggapi respon sejenis ini. Jika saya diam mungkin saya dianggap sombong, karena tak menghargai lawakan mereka. Jika saya ikut tertawa, mereka tak akan berhenti mengulang kata yang sama – dimana bagi saya itu terdengar cukup konyol.
Saya yakin orang seperti ini adalah orang yang terjebak dalam nostalgia 2000-an. Fenomena manusia pemakan mayat telah lama berlalu. Berkat terpaan media saat itu, ingatan yang terpatri dalam benak orang-orang adalah “ngapak” dan “Sumanto” harus selalu ada dalam satu frasa kalimat, seperti membandingkan “DPR” dan “korupsi”, selalu melekat.
Ada puluhan ribu orang di kota saya, dari jumlah tersebut seberapa besar peluang saya mengenal Sumanto? Atau jangan-jangan mereka berpikir hanya ada puluhan orang di kota saya dimana semua warganya pasti saling mengenal.
Saya mendapatnya saat perjalanan menuju Rinjani. Perkenalan dengan sekelompok orang asal Jakarta akahirnya sampai pada respon tersebut. Respon ini terdengar di telinga seperti,” Jadi, orang ngapak juga suka jalan-jalan?”
Mungkin lain kali saya perlu membuat kaos bertuliskan “Saya ngapak dan saya backpacker.”
Tak ada presenter My Trip My Adventure yang berbahasa ngapak bukan berarti dikalangan kami tak ada yang suka traveling.
Saya anggap ini sebagai sebuah pujian. Rekaman radio “curanmor” yang telah tersebar luas membuat cap bahwa orang ngapak adalah orang-orang humoris. Ditambah dengan para pelawak berbahasa ngapak veteran seperti Parto OVJ ataupun Indro Warkop, memperkuat cap tersebut.
Pada dasarnya saya sendiri bukan seorang yang jago melawak, tapi entah kenapa banyak orang tertawa saat saya berbicara menggunakan bahasa ibu saya.
Orang berbahasa ngapak, sepengetahuan saya adalah orang paling fleksibel dalam penggunaan bahasa. Saat saya dan kawan-kawan saya pengguna bahasa ngapak lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia ataupun mengubah logat kami sesuai logat daerah setempat.
Bagi saya, memaksakan menggunakan bahasa daerah asli didaerah lain, bukan cara yang cukup bagus untuk berkomunikasi.
Banyak teman saya tinggal di Jakarta menggunakan logat Jakarta disana, menggunakan logat medhok di Jogja, atau di Medan dengan logat bataknya. Namun saat kami bertemu dengan sesama pengguna bahasa ngapak di suatu tempat, kami tak ragu mengobrol lepas menggunakan bahasa ngapak.
***
Saya tak akan menceritakan sejarah bahasa ngapak yang disebut sebagai bahasa jawa paling kuno, bahasa jawa yang paling mendekati bahasa jawa “asli” sebelum sistem feodal kerajaan-kerajaan mataram menguasai tanah jawa. Bukalah google.
Saya terkadang membayangkan respon orang-orang zaman dahulu saat Jenderal Soedirman memimpin pasukan dengan logat ngapaknya,apakah responnya juga berupa,
‘Oh, jadi jenderal orang ngapak?’ sembari menyuruhnya mengucapkan kata-kata “inyong kencot kepriben kayak kuwek” berulang-ulang.
Ah, dan tentu respon-respon di atas tak bisa digeneralisir, itu hanya berdasar pengalaman saya, dan saya sendiri tak pernah memasukan ke hati. Saya pribadi justru bangga dengan keunikan bahasa ini.
Ora ngapak ora kepenak