Kakekku duduk di atas kursi bambu di teras rumahnya, di sebuah desa dalam Kabupaten Pidie, Aceh.
Mulutnya sibuk mengunyah sesuatu. Saat memanggilku, tampak air liur merah membanjiri giginya yang rapi.
Saya langsung menghampirinya. Kukira kakek muntah darah. Tapi ternyata kata Mak kemudian, itu hanyalah sirih. Kakek suka makan sirih. Sebab itu giginya tampak rapi meski sudah tua. Tapi saya tak mau makan sirih, takut gigiku merah di usia muda.
Ketidaksukaanku makan sirih, perlahan hilang, seiring bertambah usia.
Suatu malam di Banda Aceh, saya mengikuti kajian bersama kawan-kawan. Angin menerpa kuduk bagai ditusuk-tusuk. Badanku meriang.
Seorang kawan memergokiku. Dia lantas memberiku sepunjut sirih yang dibelinya dekat Masjid Raya Baiturrahman. ‘Ranup mameh,’ sodornya.
Mulanya saya ragu untuk memakannya. Terlebih teringat pada kakekku belasan tahun lalu.
Tapi kawanku bilang, makan sirih bagus untuk menghilangkan mual.
Saya gigit punjutan sirih yang berbentuk kerucut itu. Awalnya, saya merasakan pahit ketika mengunyah daunnya. Sepotong biji pinang muda di dalamnya kuremukkan dengan gigi geraham hingga terasa manis.
Khasiatnya memang tak langsung terasa, namun kondisi badan menjadi lebih baik setelah mengunyah sirih.
Semenjak makan sirih yang diberikan kawanku, saya mulai jatuh cinta dengan daun bernama latin piper betle itu.
Suatu hari kawanku yang lain mengerang sakit gigi. Saya langsung mengajaknya ke Masjid Raya Baiturrahman.
Kami berkendara diantara aroma kopi yang menyelinap di setiap sudut Kota Banda Aceh.
Berhenti di muka pintu gerbang utara salah satu masjid termegah di Asia Tenggara itu.
Di sisi jalan, saya melihat 15 gerai ranup mameh. Bertandan-tandan pinang muda menggelayut didepan gerai, yang juga dikerubungi beberapa pembeli.
Saya datangi gerai ketiga, atas saran kawan yang memberiku sirih manis malam itu.
Berbungkus daun sirih, bunga cengkeh, biji pinang, seember kapur, menumpuk di sudut meja. Seorang ibu paruh baya memunjut daun sirih.
Ia teratur meletakkannya di ujung meja, dengan ujung jemarinya yang dihiasi bekas sayatan mata pisau dan berwarna hitam oleh getah sirih.
Berbaris-baris punjutan sirih di meja ibu itu. Dimataku bagai sekumpulan peluru tentara yang siap dipanaskan senjata api.
Lekas kami pesan Rp 3.000, untuk ‘menembakkannya’ dalam mulut kami. Diberinya 12 punjut.
Segera saya kunyah satu-dua butir sambil ngobrol santai dengan ibu penjual bernama Nurafni itu.
Aku bertanya apa yang membuat sirih terasa manis. Dia menunjukkan butiran biji pinang halus dalam sekantong plastik, yang sudah digongseng dengan gula aren sehingga berwarna cokelat. Setiap satu punjut sirih disisipkan secomot butiran pinang halus.
Saya tinggalkan ‘pasar sirih’ dekat Masjid Raya Baiturrahman dengan pertanyaan dalam hati, ‘kenapa saya tak pernah melihat generasi muda Aceh sekarang makan sirih? Sudah enam tahun saya merantau ke ibu kota provinsi Aceh, terlihat banyak perubahan di wilayah ujung barat Indonesia ini.’
Semerbak mie aceh terkadang membuatku ingin berhenti jalan sejenak.
Saat berkendara di siang hari, aroma kari khas India dalam beberapa resep kuliner Aceh membuat saya menelan liur.
Juga keberadaan kedai kopi di kedua sisi jalan kota berlomba-lomba tumbuh dengan pohon trembesi di trotoar.
Beberapa kali saya beli pizza di waktu malam, outletnya dipenuhi pengunjung.
Ketika pulang dari sana, saya mendapati penjual burger, kebab, kentucky, spageti, menjalar di sepanjang trotoar kota.
Saya tak melihat satu pun penjual sirih.
Di Pulau Weh, saya lihat pejabat pemerintah Kota Sabang menyongsong rombongan turis dengan Tari Ranup Lampuan.
Di Bandara Maimun Saleh, rombongan tamu disambut dengan tarian khas Aceh ini.
Tiga gadis berpakaian adat—mengenakan mahkota yang disebut ‘boh langgoi’, membalut pinggang dengan songket kuning, serta baju dan celana berwarna hijau toska.
Mereka umbar senyum selama menari di hadapan para tamu.
Sebelah tangan memegang puan warna emas berisi punjutan sirih. Beberapa lelaki berpakaian hitam yang duduk berbaris, memukul gendang dan meniup serune kale selagi dibacakan hikayat Aceh oleh seorang syeh.
Ketiga gadis itu kemudian hampiri setiap tamu dan menyodorkan puan.
Para tamu mengambil sirih, memakannya, lalu tersenyum kagum. Tarian pun berakhir.
Saya mengamati penyambutan tamu itu bagian dari pepatah bijak yang sering diucapkan tetua kami, ‘Peumulia jamee adat geutanyoe—Memuliakan tamu adalah adat kita.’
Juga bagian dari pantun yang sering kami ucapkan sehari-hari, ‘Mulia wareh ranup lampuan, mulia rakan mameh suara—Memuliakan tamu dengan pemberian sirih, memulikan teman dengan perkataan yang sopan.’
Di sebuah desa di Aceh Selatan, saya perhatikan pria muda berpakaian hitam mengenakan kupiah meukutob dan sebilah rencong di pinggangnya.
Ia duduk berdampingan dengan wanita muda di atas kursi yang dibalut kain emas dan di bawah payung kuning, seorang wanita muda bermahkota dengan ukiran inai di tapak tangannya yang coba sembunyikan rasa malu.
Beberapa bocah perempuan berpakaian adat dengan boh langgoi di kepala mereka, menari seraya memegang puan emas berisi sirih.
Diiringi instrumen musik Tari Ranup Lampuan. Bocah-bocah usia sekolah dasar itu membuatku berdecak kagum.
Mereka berlenggok-lenggok lincah di hadapan pasangan pengantin baru, linto baro dan dara baro.
Disaksikan warga dan rombongan dari kedua pihak mempelai.
Seorang diantara penari kemudian menyodorkan puan kepada sepasang pengantin baru itu. Semua orang, termasuk saya, tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka.
Pesta perkawinan di beberapa daerah lain di Aceh juga saya hadiri sebelumnya.
Saya dibuat takjub oleh penampilan bocah-bocah penari Tari Ranup Lampuan.
Terkadang saya membayangkan, pria yang mengenakan kupiah meukutob itu adalah saya, seorang pemuda yang segera menjadi tamu sebuah desa setelah menerima sirih dari bocah penari itu.