Lanjutan dari artikel 20 Hal Kecil Tentang Melbourne yang Paling Dirindukan [Part 1]
Salah satu anugerah yang saya rasakan. Melbourne musim gugur adalah saat yang tepat untuk melihat daun-daun yang jatuh. Menerpa kepalamu. Jalanan. Jalur pedestrian.
Dedaunan kering semacam London Plane yang mirip bendera Kanada, bahkan menjadi aksesoris bagi sebagian toko pakaian. Daun-daun itu ditabur di satu tempat dan terlihat manis dari depan toko.
Menjelang masuk musim dingin. Sebelum pepohonan di taman meranggas. Setiap akhir pekan atau ketika sore di hari biasa, saya mengamati orang tua bersama anak-anaknya bermain-main dengan guguran daun di taman-taman.
Bocah-bocah, berlomba menangkap daun-daun kecil kuning yang jatuh ditiup angin. Juga para pecinta fotografi, memasang tripod dekat pepohonan, menanti momen daun gugur. Begitu pun saya dan kawan-kawan.
Pisang, apel, anggur, jeruk, brokoli, wortel, tomat, cabai. Semuanya sudah terbungkus dengan label tertentu. Saya berpindah ke meja lain. Ada roti tawar beragam merek. Ada daging, juga beragam: ayam, sapi, hingga babi.
Saya biasanya mencari keju untuk teman roti tawar, di rak yang lain. Juga beras impor dari berbagai negara. Ada juga roti canai khas India yang siap dipanggang.
Terlihat pula macam-macam makanan dan minuman ringan.
Di rak yang lain, saya membeli payung karena cuaca sering berubah, bisa hujan tiba-tiba. Saya juga melihat sandal jepit, mirip Swallow di Indonesia. Saya membelinya untuk keperluan di apartemen, karena saya lupa bawa dari Tanah Air. Dijual juga alat-alat dapur. Pulsa untuk kartu lokal Australia, dan barang- barang elektronik lainnya.
Paling mengejutkan adalah seranjang Indomie yang diimpor dari Indonesia!
Itulah kesan belanja di Woolworths. Orang setempat biasa menyingkatnya jadi Wool’s (baca: Wulis). Ia seperti malnya makanan. Surganya kebutuhan hidup sehari-hari. Kami tak perlu ke beberapa pasar berbeda. Cukup datangi ke supermarket terpopoler di Aussie ini.
Jika butuh pakaian, saya dan kawan-kawan akan ke Queen Victoria Market. Orang setempat menyebutnya Vicmart.
Ada tiga blok pasar yang saya amati di Vicmart. Satu blok untuk pasar daging dan ikan, satu untuk buah-buahan dan sayur-mayur, dan satu lagi untuk pakaian sehari-hari plus suvenir.
Kami ke sana hanya untuk beli pakaian dan oleh-oleh. Saya menggaet jaket parasut made in China seharga 35 dolar Australia, sekitar 400 ribu rupiah. Juga sepatu double sol seharga 85 dolar Australia, sekitar 900 ribu rupiah.
Tak lupa, segenggam gantungan kunci bermotif kangguru, koala, simbol aborigin, saya beli sekitar 10 dolar Australia per set. Harga ini lebih murah saat saya beli di toko suvenir yang ada di CBD misalnya.
Saya pernah menawar harga suatu kali. Penjual tertawa, saya tahu itu akan terjadi. Sebab semua barang dagangan sudah dilabeli harga yang tak boleh ditambah-kurangi. Saya hanya boleh mencoba pakai barang yang belum tentu saya beli.
Vicmart adalah pasar dengan harga merakyat. Dibangun pada 1869 dan diresmikan pada 1878 sebagai pasar daging dan tempat warga lokal bertemu. Pasar ini kemudian mengalami perkembangan hingga seperti sekarang.
Tapi jangan bayangkan ada bau amis, selokan, dan debu beterbangan seperti di tempat kita. Kamu bisa belanja dengan pakaian ngantor.
“Maaf saya sudah sangat mengantuk, besok malam telfon lebih awal ya.”
“Memang di sana sudah jam berapa?”
“Jam satu dini hari!”
Saya memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman di Indonesia. Seperti video call-nya Line, BBM, hingga Facebook.
Namun saya harus menunggu hingga jam 11 malam waktu Australia. Sebab di saat yang sama, di Indonesia baru masuk jam 8 malam. Jika menelpon sebelumnya, orang di seberang pasti sedang sibuk. Bila menghubungi di atas jam 11 malam, saya mulai tidak tahan kantuk. Dengan jadwal di atas, setidaknya saya punya waktu satu sampai dua jam untuk melepas rindu.
Tak selamanya mudah menemui dan mendatangi restoran Melayu. Saat mengikuti kegiatan, awalnya saya sulit menemukan pengganti nasi untuk makan siang. Satu jam istirahat harus saya bagi dua: menemukan tempat makan dan ke masjid terdekat.
Setelah beberapa hari mencari, saya akhirnya berlangganan ke restoran milik orang Tionghoa. Di sana hanya menjual ayam, ikan, kentang, dengan beragam menu. Tak ada daging babi. Saya biasa pesan chip and fish, yaitu kentang goreng campur ikan goreng.
Kentang berkarbohidrat tinggi, setara nasi. Dan ikan mengandung protein tinggi, cukup membantu energi berpikir bagi otak.
Selain itu, saya juga terkesan dengan penjualnya. Seorang pria paruh baya berkulit putih. Matanya tidak sipit-sipit amat. Posturnya kecil. Rambutnya panjang diikat ke belakang. Berkacamata bening, dengan beberapa lekukan di wajahnya.
“Kamu kenal aktor Jackie Chan?”
“Iya, tahu,” sahut teman asal Pulau Solomon.
“Coba perhatikan lelaki penjual itu.”
“Iya. Ha-ha. Mirip.”
Alasan itu pula yang membuat saya suka makan siang dengan racikan pria yang kemudian saya tahu namanya Tony, meskipun harus berjalan kaki dua blok dari lokasi pelatihan. Terima kasih Jackie “Tony” Chan.
Ketika tak tahu ke mana di malam hari, saya akan naik tram menuju alun-alun Kota Melbourne, Federation Square. Dari balik kaca jendela tram, tampak seniman jalanan menggelar lapak di beberapa sudut CBD (Central Business District/Kawasan Pusat Bisnis). Memainkan biola, gitar. Menunjukkan breakdance, botol api. Dan lain-lain.
Melewati CBD, terlihat Gedung Flinders Railway Station menyalakan tubuhnya yang kuning tua. Saya suka mendengar suara-suara roda kereta listrik menyeret rel.
Sorot lampu kendaraan menambahkan keindahan malam, begitu saya keluar dari tram. Di ujung seberang jembatan sana, tower gedung Arts Centre dengan nyala biru menjulang seperti Menara Eiffel.
Saya jalan kaki di antara Melbourne Visitor Centre. Di bawah lampu-lampu yang menggayut di langit-langit Federation Square.
Sebuah bola raksasa dengan tiga penyangga, berputar-putar mengeluarkan suara menggema. Menghasilkan sejumlah titik cahaya, soroti ke berbagai penjuru. Beragam warna. Molecule of Light namanya.
Seni cahaya karya Chris Levine, seniman Inggris, itu menandai musim dingin telah tiba. Ia dipamerkan mulai 1 – 21 Juni. Dimulai setiap jam 5.30 sore waktu setempat.
Saya datang di malam kelima pameran Molecule of Light, dengan suhu 7 derajat celcius. Menyaksikan kumpulan spektrum cahaya itu, membuat saya teringat piring terbang UFO dan karakter “Jadoo” dalam film Bollywood, Koi Mil Gaya.
“Melbourne selalu menyambut musim dingin dengan pameran karya seni cahaya. Setiap tahun, dengan karya berbeda,” kata Sri Dean, seorang Indonesia yang sudah 20-an tahun bekerja di Melbourne.
Seorang perempuan menderek koper di taman, dikerubungi sekelompok camar perak. Semakin perempuan itu jalan, semakin kawanan silver gull itu mengepungnya. Burung-burung itu berhenti saat perempuan tersebut meninggalkan taman.
Sebaliknya, saya mengejar burung-burung itu suatu kali. Kemudian mendekati mereka. Mengeluarkan wafer coklat, melemparkannya ke mereka. Semenjak itulah saya tahu kalau camar laut di Melbourne bisa dijadikan teman.
Artikel terkait: Kawanan Camar Perak, Teman Setia Selama 5 Minggu di Australia
Namun burung pemakan makanan manusia itu juga nakal. Tiba-tiba, sesuatu jatuh menimpa kepala teman saya yang berkerudung. Ada dua tumpuk kecil kotoran warna abu-abu putih. Tahi silver gull yang baru saja terbang di atas kami rupanya. Kebetulan entah sengaja.
Pastinya, saya rindu kicau dan tingkah burung-burung camar laut yang menanti dilempar makanan itu.
Tak ada ruang kosong yang sia-sia di Melbourne. Di beberapa sudut kota saya jelajahi, gang-gang tak terpakai dipenuhi graviti. Ruang kreativitas bagi seniman jalanan. Menghindari vandalisme.
Saya paling terkesan di Gang Hosier La. Tak jauh dari Federation Square. Gang selebar 3 meter, dipenuhi ekspresi dalam bentuk mural, lukisan, dan coretan- coretan pada dinding bangunan.
Di langit-langit gang, beragam model sepatu digantung pada tali-temali. Ada juga sepeda ontel tua ditempel di dinding. Saya mengambil pose di sana. Teman saya mematung dengan menelentangkan payung ungu di antara lukisan kepala burung dan panda yang menatap nanar.
Pejalan kaki pun berekspresi ria di lorong seni itu. Ada yang selfie, groufie, hingga stasiun televisi menjadikannya lokasi syuting. Pantas, selama di Victoria saya tak melihat coret-coretan di fasilitas publik.
Orang Australia awalnya saya golongkan mereka sebagai orang Barat. Kulit mereka. Gaya hidup mereka. Sama seperti orang Eropa sana. Meskipun mereka berada di benua sendiri. Saya sempat khawatir akan mendapat perlakuan cuek.
Setiap berpapasan di fasilitas umum, orang Australia maupun orang luar yang tinggal di sana, selalu menyapa “Hai” dengan senyum. Tak jarang, mereka menawarkan bantuan ketika kami kesulitan melakukan suatu hal yang baru.
Suatu kali dalam bus saat ke Kota Ballarat, sopir malah bercengkerama dengan kami. Ia dengan hati-hati ikut bergaya ketika kami welfie. Ia juga menjelaskan beberapa objek bagus yang perlu kami lihat sepanjang perjalanan.
“Ada yang perlu saya bantu?”
Seorang nenek menawarkan jasanya begitu kami tampak bingung saat melihat peta di Kawasan Pantai Saint Kilda suatu sore. Tapi kami ucapkan “No, thanks” seperti mereka lakukan jika menolak bantuan.
Kawan saya asal Papua Barat ingin menghadiri acara penggalangan dana untuk mendukung Papua Barat Merdeka. Acaranya di Moreland Street, Footscray. Saat itu kami di Kawasan CBD.
“Footscray agak jauh dari kota dan sedikit complicated kalau yang belum kenal Melbourne. Mungkin sebaiknya kalian enjoy CBD aja dan lihat jalanan Melbourne di Jumat malam. Banyak live music di jalan atau nongkrong di cafe saja,” pesan pendek seorang kenalan kami asal Indonesia, Mbak Titien.
Tawarannya bagus. Tapi kawan saya tetap pada keinginan semula.
“Iya, Mbak. Tapi kami tetap coba ke sana. Ini lagi di tram route 8 ke Moreland Road.”
“Moreland St di Footscray, bukan Moreland Rd tram 8!”
Saya tunjukkan pesan itu ke kawan-kawan. Kami hanya tertawa. Untungnya, tram yang kami tumpangi sedang melaju ke arah tempat kami tinggal. Turun saja sudah. Saya sadar. Misal, Saint Kilda St berbeda dengan Saint Kilda Rd. Pertama adalah jalan yang berada di sisi Pantai Saint Kilda, satu jam dari CBD. Kedua, Saint Kilda Road berada di sebelah Sungai Yarra, bersebelahan dengan Federation Square. Cuma sepuluh menit jalan kaki dari CBD.
Hal yang saya khawatirkan begitu pesawat dari Jakarta membawa kami ke Melbourne. Semenjak dalam kabin, saya hanya ingin menonton film Indonesia dengan subtitle English atau sebaliknya.
“Bagaimana kursus Bahasa Inggrisnya?” tanya seorang panitia keturunan Sumatra-Australia.
“Tiga bulan belajar tidak cukup bagi saya,” saya jujur aja.
“Tenang saja, kalian akan belajar banyak di sini. Jangan malu-malu untuk berbicara Bahasa Inggris,” pesan Natalia Gould.
Saya awalnya sulit sekali memahami pronunciation (pengucapan) Bahasa Inggris-nya Australia. Minggu pertama di sana sedikit terkendala komunikasi.
Baru setelah itu, saya terbiasa dan paham dengan bahasa Australia yang menyeret kata-katanya.
Saya mendengar ucapan “wif” untuk kata “with”, bukan “wis”. Ada lafal “nof” untuk “north” bukan “nors”. Ada langgam “soy” untuk “so” buka “sow”. Mereka juga sering pakai kata “particularly” untuk “generally”.
Begitu para native ngomongnya cepat, kami akan meminta mereka untuk pelan-pelan. Ini cara terbaik biar tidak salah paham. Dan jika omongan kami tak dimengerti, orang Australia akan bilang, “sorry?”. Maka kami harus mencari kalimat yang mudah dengan menambah sedikit bahasa Tarzan.
Enaknya itu ketika belanja atau dalam transportasi umum. Ada banyak imigran atau pelajar asing saya jumpai. Termasuk orang Indonesia. Orang-orang ini berbicara Inggris lebih enak direspons. Lama-lama, semakin mudah saja. Tapi sayangnya, harus cabut dari Aussie di minggu kelima. Padahal ingin lebih lama untuk memperdalam Bahasa Inggris.[]