Ambon merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki budaya dan bahasa dengan ciri khas tersendiri. Ciri khas berbahasanya yang unik sepertinya sudah sering didengar di televisi ataupun di media cetak.
Walau demikian familiar, bukan berarti saat pertama kali tinggal di Ambon kamu langsung dapat beradaptasi dengan masyarakat dan kebiasaannya.
Ada beberapa hal yang saya pelajari selama tinggal di Ambon, ini dia;
“Pi(pergi) ke kota deng (dengan) Oto”. Oto adalah sebutan nama angkutan umum di Ambon. Oto juga nama lain dari mobil. Tarif Rp3.000,- s/d Rp5.000,-.
Untuk mengatakan berhenti kepada supir Oto bukan “kiri” tapi “minggir”. Ketika sampai tujuan katakan “minggir bung”, Oto pasti langsung berhenti.
Perumahan penduduk di Ambon menyebar di pinggiran Teluk Ambon. Untuk menuju pusat kota dari Desa Poka misalnya, kita harus memutar teluk dan pastinya butuh waktu yang lama pula. Tetapi dengan kapal Ferry Poka-Galala tidak butuh waktu lama. Hanya hitungan 10-15 menit sudah sampai di Galala. Per orang bayar Rp5.000,- dan mahasiswa Rp3.000,-. Kalau membawa motor bayar Rp7.000,- dan Mobil Rp29.000,-
Ada cara cepat lagi menuju pusat Kota Ambon. Naik speedboat dari Kota Jawa atau Wayame ke Pasar Mardika. Cukup membayar Rp. 5.000,-/Orang, 7 menit sudah sampai di Pasar Mardika. Dari Pasar Mardika hanya beberapa kilometer berjalan kaki sudah sampai di Lapangan Merdeka (pusat kota). Jika ingin naik oto, di Pasar Mardika-lah terminal oto-nya.
Selain kapal ferry dan speedboat ada juga perahu untuk menyeberangi Teluk Ambon. Menyeberangi Teluk Ambon dengan perahu dayung tentunya punya sensasi tersendiri. Perahu kecil hanya bisa memuat penumpang 2 orang saja. Dari Desa Poka ke lorong perahu daerah Halong dikenakan tarif hanya Rp5.000,-/orang. Begitu juga rute sebaliknya.
“Kendaraan di Ambon ni laju-laju bung hati-hati kalau menyeberang jalan!”, kata seorang teman sewaktu kami ingin menyeberang jalan. Memang betul rata-rata mereka mengendarai mobil atau sepeda motor sangat “laju” (kencang). Usahakan berlari atau setidaknya jalan cepat agar bisa mengimbangi laju para pengemudi saat menyeberang.
“Kaka dari sini jalan rata-rata baru ke kiri”, jelas seorang mahasiswa saat saya menanyakan letak perpustakaan kampus. Saya tidak mengerti arti “rata-rata”, tetapi karena ia menunjukkan sebuah jalan lurus, akhirnya saya memahami arti “rata-rata” adalah “jalan lurus”.
“Beta Z pi ke kampus bung”, isi sms teman saya saat itu. Karena tidak mengerti arti huruf “Z” pada kalimat sms itu, akhirnya saya menanyakan kepada teman, ternyata “Z” itu “seng” sesuai dengan simbol unsur kimia, Z adalah seng.
Namun ada versi lain singkatan “seng” yaitu “sg”. Saya mendapat sms lagi “sg ada bu”, lalu saya balas dengan “sg?”, maksud saya untuk menanyakan arti “sg” dan ia menjawab “seng”.
Yang saya amati, prang-orang Ambon kalau bicara suka singkat-singkat. Misalnya kata “mau” disingkat “mo”, kata “pergi” disingkat menjadi “pi”, lalu kemana “mana”, jadinya “mo pi mana?”. Bukan hanya kata atau kalimat yang sering disingkat. Nama daerah juga terkadang disingkat. “Desa Poka” Menjadi “Depok”, Batu Merah (Batmer), Karang Panjang (Karpan) dan masih banyak lagi.
“Kamong (kamu orang) hanya berdua sa (saja)?”, tanya seorang Ibu kepada saya saat bersama seorang teman duduk di ruangan. Lalu teman saya menjawab “Iyo ibu Katong (Kita Orang) sa!”.
Kalau “Ikan” disebut “Ikang”.
“Kecil berapa kawan?”, tanya seorang teman di kantor. “Satu,” saya menjawabnya dengan mengartikan “kecil” yang kawan saya tanyakan itu berarti “anak yang kecil”. Tapi ternyata di lain hari seorang teman yang lain mengatakan ia baru saja mengantar “kecil ke kampus. Jadi pengertian awal saya tentang kata kecil tidak salah tapi melenceng.
Kalau di Medan ada istilah “Intel (Indomie Telur)”, kalau di Jakarta dengan “Internet (Indomie Telur Kornet)”, nah kalau di Ambon istilahnya “Sarmento (Sarimie Telur)”. Istilah-istilah ini sepertinya populer di kalangan mahasiswa.
Penganan di Ambon teksturnya kebanyakan keras dan berbahan dari sagu, contohnya “bagea”. Karena penasaran, saya membelinya dari seorang mama penjual di pinggir Kolam Murea di Negeri Waai. Setelah membuka plastik pembungkus dan ukurannya juga pas di mulut, saya tak sabar untuk menggigitnya.
Gigitan pertama gigi saya tidak mampu memecahkan bagea. Saya berusaha menggigitnya lagi tetapi tidak bisa karena sangkin kerasnya. Akhirnya saya membiarkan di dalam mulut agar air liur bisa melembekkan kue itu dan berhasillah saya memecahkannya. Melihat cara saya memakan bagea, Mama penjual berkata “Nyong masih muda jadi, gigi karas (keras)!”, saya mendengarkannya sambil tersipu-sipu malu. “Toki dulu nyong, setelah pica baru makan” kata mama menambahkan.
Kata “bu” merupakan singkatan dari kata “bung” (kakak laki-laki), bukan Ibu. Masyarakat Ambon sangat menghormati lawan berbicaranya, entah itu lebih tua atau muda, kalau dia laki-laki kita menyapanya dengan “bu”.
Untuk perempuan biasa disebut Usi (kakak perempuan). Kalau namanya “Nona” jadi dipanggil Usi Nona (kakak perempuan nona).
Struktur pemerintahan di Ambon agak berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Untuk sebutan pemimpin desa ada dua, yaitu Kepala Desa dan Kepala Negeri atau Raja. Misalnya di Depok (Desa Poka) pemimpinnya Kepala Desa, sedangkan di Rumah Tiga disebut Raja. Sebutan Raja diperuntukkan kepada Negeri Adat. Karena banyaknya Negeri Adat di Ambon maka tidak heran kalau banyak “raja”-nya.