Saya memulai perjalanan ini pada 18 Juli 2016, bersama travelmate saya, Arinta.
Kami mulai perjalanan dari Lombok, naik bus dari Terminal Mandalika menuju Bima dengan biaya Rp 200.000/orang. Dari Bima, lanjut menuju Pelabuhan Sape menggunakan bus kecil dengan biaya Rp 20.000/orang. Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih 45 menit. Pemandangan yang pertama yang akan terlihat saat sampai di Pelabuhan Sape adalah keriuhan mobil -mobil besar seperti truk yang tengah mengantri jadwal keberangkatan menyeberang menuju Flores dan Sumba. Saya cukup beruntung hari itu ada jadwal keberangkatan menuju Sumba, segera saya membeli tiket menuju Sumba dengan harga Rp 68.000/orang.
Sebelas jam kemudian, saya dan Arinta tiba di Sumba. Kami bergerak menuju Waikabubak menggunakan bus kecil dengan membayar Rp 30.000/orang. Di sini, cobalah mengunjungi Waedabo untuk melihat sunset pertama di Sumba.
Keesokan harinya, kami mengunjungi Air terjun Lappopu dan pergi ke Pantai Lai Liang yang berada di sisi selatan Pulau Sumba. Segarkan dirimu dengan bermain air di sini!
Hari berikutnya, kami mengunjungi daerah Sumba Barat Daya. Kami mengendarai motor dengan jarak tempuh 2 jam dari Sumba Barat. Destinasi yang pertama kami kunjungi adalah Danau Weekuri yang terletak paling ujung di Pulau Sumba. Danau ini terbentuk karena air laut yang terjebak di antara karang karang yang membatasi lautan. Pasang surutnya danau mengikuti pasang surutnya air laut.
Setelah puas menikmati Weekuri, kami berpindah tempat ke Pantai Mandorak yang lokasinya tidak terlalu jauh. Pantai Mandorak adalah salah satu pantai yang cukup unik, pantainya tertutup oleh karang yang membentuk gerbang sebelum memasuki pantai.
Berikutnya, kami beranjak untuk melihat pemakaman orang Sumba dan melihat lapangan yang sering dijadikan perayaan adat Pasola yang berada di Kodi. Kami kembali ke Waikabubak pada sore hari.
Hari berikutnya kami menuju Wanukaka untuk melihat lapangan Pasola lainnya dan berjalan berkeliling melihat kawasan sekitar Sumba Barat. Setelah puas, kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju Sumba Timur menggunakan mobil travel dengan harga Rp 80.000/orang. Perjalanan memakan waktu 3-4 jam.
Ketika di sini, coba deh sempatkan mengunjungi Bukit Wairinding di Sumba Timur. Saat tiba di sana saat itu sudah senja, namun keindahan yang tersisa masih sanggup membuat kami menahan napas saking takjubnya. Dari sana, kami menuju Waingapu untuk menumpang beristirahat di salah satu rumah seorang kenalan.
Keesokan harinya, di pagi hari kami sudah siap menyambangi Air terjun Tanggedu yang berada di Matawai, Sumba Timur. Perjalanan memakan waktu hampir 3 jam, melewati jalan yang kosong hingga menaiki bukit yang indah, kuda kuda liar berlarian bebas tanpa ada beban, dan langit biru seakan berada sangat dekat di atas kepala karena hampir tidak ada satupun awan yang menghiasi.
Sore tiba, menandakan kami harus bergegas meninggalkan air terjun. Kami berada di Sumba Timur hanya 2 hari karena harus melanjutkan perjalanan menuju Ende menggunakan kapal Pelni. Tiket kapal Pelni dari Waingapu menuju Ende adalah Rp 68.000,- per orang. Perjalanan memakan waktu cukup lama kurang lebih 14 jam. Di Ende, kami menginap satu malam di tempat seorang kawan, dan keesokan harinya kami berangkat menuju Moni dengan keberuntungan mendapat tumpangan mobil.
Perjalanan dari Ende menuju Moni kurang lebih 1 jam. Sesampainya kami di Moni, kami mendapatkan penginapan dengan harga cukup murah, yaitu Rp 150.000/ malam. Kami beristirahat sejenak sebelum berangkat menuju Kelimutu pukul 5 pagi.
Menggunakan motor yang kami sewa dari penginapan dengan harga Rp 100.000 per hari. Perjalanan kurang lebih 20 menit dengan jarak 13 km. Kami bergerak pelan karena dingin yang menusuk sampai sampai terasa hingga tulang. Perjalanan dalam gelap melintasi jalanan yang berkelak kelok hingga kami sampai di bagian tiket masuk. Cukup bayar Rp 5.000 untuk motor dan Rp 5.000 per orang di akhir pekan. Untuk menuju lokasi, Kamu perlu trekking kurang lebih 45 menit. Segera kami menuju sunrise point. Setelah puas menikmati danau, kami kembali ke penginapan untuk bersiap siap kembali ke Ende dan melanjutkan perjalanan menuju Ruteng. Perjalanan dari Ende menuju Ruteng menggunakan jasa travel Rp 120.000 per orang dengan jarak tempuh kurang lebih 8 jam. Sesampainya di Ruteng, lagi-lagi kami beruntung bisa menginap di rumah seorang kawan.
Cukup nyenyak tidur saya kemarin, hari ini kami akan mengunjungi Wae Rebo menggunakan motor melewati Iteng. Perjalanan kurang lebih 2 jam. Setelah sampai di Desa Denge, kami memarkir motor lalu trekking kurang lebih 2 jam menuju Wae Rebo. Bayangkan, kamu akan melintasi hutan yang masih rapat. Sampai di desa, ternyata kabut sedang turun! Kami hampir tidak dapat melihat pemandangan di sekitar.
Baca ini: 7 Hal yang Harus Disiapkan Sebelum Menuju Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur
Kami bergegas turun menuju rumah gendang (rumah utama) untuk mengikuti upacara penyambutan kedatangan sebelum berpindah ke rumah yang lain atau rumah tamu untuk kemudian melakukan aktivitas di Wae Rebo. Di rumah tamu, kami diberi sajian makanan, kopi dan teh. Di sini, pengunjung perlu melakukan registrasi sebesar Rp 200.000 per orang (jika tidak menginap) dan Rp 325.000 (jika menginap). Kami memutuskan tidak menginap karena kami sedang menghemat biaya.
Setelah makan dan melakukan registrasi, kami menikmati segelas kopi hangat khas Wae Rebo dan bercengkrama bersama pengunjung lain. Tak terasa waktu sudah mulai sore dan kami pun bergegas pulang, dengan melintasi jalan becek karena hujan yang tak kunjung berhenti. Perjalanan pulang hampir sama, sekitar 2 jam dan kami sampai di bawah jam 8 malam. Buru-buru kami kembali menuju Ruteng.
Karena suhu udara yang sangat dingin di Ruteng, ditambah kondisi badan lelah kemarin, hari ini kami bangun siang. Dan segera lanjut menuju Labuan Bajo menggunakan jasa travel biaya Rp 80.000 per orang dengan jarak tempuh kurang lebih 4 jam. Hari telah gelap saat kami sampai di Labuan Bajo. Segera kami menuju ke Kampung Ujung, di sana terdapat tempat kuliner yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari lokal maupun luar. Sekadar untuk menikmati makanan atau hanya menikmati segelas kopi dengan pemandangan pesisir. Setelahnya, kami mencari tempat penginapan murah yaitu di Pelangi dengan harga Rp 60.000 per orang.
Pagi jam 9, kami pergi ke pelabuhan untuk segera berlayar. Tempat yang pertama dikunjungi adalah Pulau Kanawa dan tentu saja di sini kami tak ingin melewatkan keindahan bawah lautnya. Lalu lanjut ke Pulau Sembilang atau Pulau Ubur-ubur. Di sana terdapat ubur-ubur yang tak menyengat. Selanjutnya, kami menuju Manta Point untuk melihat manta yang katanya sangat besar! Namun, setelah lumayan lama kami mencari manta, kami belum bisa menemukannya. Cukup mengecewakan memang, tapi apa boleh buat.
Kami tidak pergi ke Pink Beach karena di sana sedang banyak sekali pengunjung. Kami memilih menuju pantai yang tak kalah cantiknya, pantai itu bernama Kalaki. Sedikit kecil memang tapi di sana kami bisa menikmati Pantai (yang juga berwarna pink) yang masih sepi, jadi kami merasakan seperti mempunyai pantai pribadi. Perjalanan pertama berlayar kami saat itu ditutup di Pulau Kalong sambil menikmati sunset dan melihat kalong beterbangan keluar yang jumlahnya sangat banyak. Setelah sunset, kami menuju Kampung Komodo untuk beristirahat di rumah teman sebelum melanjutkan perjalanan esok hari.
Keesokan harinya kami berangkat menuju Pulau Padar untuk menikmati keindahan 3 pantai yang posisinya saling berpunggungan. Puas rasanya bisa menikmati keindahan Pulau Padar karena waktu kami datang sedang tidak ada pengunjung lain.
Kami kembali turun untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Pulau Komodo untuk trekking dan melihat komodo. Kami sampai di pintu Taman Nasional Komodo dan segera melakukan registrasi sebesar Rp 55.000/orang dan Rp.80.000 untuk jasa ranger (untuk ranger kita share cost) yang menemani sekaligus menjadi tour guide selama trekking di Taman Nasional Komodo. Kami memilih short trekking karena kami hanya memiliki sedikit waktu. Kami sempat bertemu beberapa ekor komodo yang sedang bermalas malasan.
Berikutnya, kami berpindah menuju Pulau Kelor untuk menikmati sunset. Perjalanan lumayan lama hampir 3 jam lamanya. Sampai di Kelor, langit nampak sangat cantik. Semburat oranye, terasa hangat. Setelah puas menyesap keindahan senja hari itu, kami kembali menuju Labuan bajo untuk beristirahat.
Keesokan paginya kami berpisah saya dan Arinta kembali menuju Sape menggunakan kapal ferry jam 4 sore dengan biaya Rp 50.000 per orang. Perjalanan kurang lebih 7 jam. Kami berdua menikmati sunset terakhir penjelajahan NTB-NTT ini di atas kapal ferry.
Tepat jam 11 malam kami sampai di Sape, dan sangat beruntung mendapat tumpangan kendaraan bak terbuka menuju Bima dengan hanya membayar Rp 50.000 untuk berdua. Dengam kondisi mobil bak terbuka seperti ini, kami bisa menikmati pemandangan langit malam dengan jelas dan cerah. Setibanya di Bima, kami menginap di rumah seorang teman.
Keesokan harinya, kami berkesempatan mengunjungi rumah adat Bima yang berada di Wawo. Rumah adat bernama Uma Lengge, yang masih berdiri sampai sekarang.
Perjalanan ini sangat memuaskan. Setelah menuju Lombok, kemudian menyeberang ke Bali hingga Banyuwangi (sempat mampir ke Ijen dan Baluran juga), dan terakhir Malang, Saya dan Arinta akhirnya berpisah. Sebuah pengalaman luar biasa jelajah NTB-NTT dalam 30 hari.