Mungkin kamu adalah seorang traveler yang tak pernah berheti menapaki satu tempat ke tempat lainnya. Mungkin juga kamu sudah menyatu dengan dunia traveling, yang terlanjur membawamu masuk begitu dalam. Banyak orang yang menganggapmu lebih memilih menikahi kebebasanmu ketimbang pasanganmu. Adakah kamu meragukan kemampuan dirimu untuk membawanya melangkah bersamamu?
Jika traveling adalah bagian dari pekerjaanmu, maka cobalah lihat situasi dan kondisi. Apakah pasanganmu masih mau menantimu di ‘pelabuhan’, ketika kamu terlalu asyik berlayar ke tempat-tempat yang jauh? Jangan-jangan, ada kapal lain yang mau bersandar di pelabuhannya. Relakah kamu terus pergi?
Misalnya kamu adalah travel photographer, kamu mungkin akan lebih sering mengabadikan keindahan sunrise dari puncak gunung atau rela menunggu berjam-jam demi timelapse langit yang sempurna. Bandingkan dengan mengabadikan momen indah bersama dirinya, sudahkah kamu punya memorinya? Atau mungkin kamu adalah seorang pekerja yang diharuskan untuk selalu bepergian, tidakkah kamu memikirkan Ia merindukan keberadaanmu yang mungkin lebih peduli dengan pekerjaan?
Boleh jadi, ada kapal lain yang ingin bersandar di pelabuhannya, relakah kamu terus pergi?
Tak perlulah ratusan purnama kamu menunggu, toh Ia sama bebasnya seperti dirimu, tak terikat apapun kecuali sebuah hubungan yang selalu dianggap picisan. Kapan saja, kalian bisa sama-sama pergi, berhenti saling menunggu dan mencari sosok lain yang mau memahami, lebih dari yang kamu bisa. Saat ratusan purnama telah berlalu, bisa saja kamu dan Ia tak lagi punya rasa, jika kamu masih ragu untuk membawanya bersamamu.
Kamu harus tahu ini: Jangan Ragu Untuk Bertualang Saat Muda, Jodoh Akan Datang Seiring Kita Memantaskan Diri
Tak perlulah kamu repot-repot kembali ke pelabuhan, jika kamu tak juga sadar betapa Ia telah lama sabar menantimu yang egois tak pernah memberi kabar. Traveling yang kamu lalui memang kesempatan sekali seumur hidupmu. Mumpung masih muda dan bergairah, kamu larut dalam dunia yang kamu ciptakan sendiri. Cita-citamu berkelana ke berbagai tempat telah tercapai satu per satu, kamu menyebutnya sebagai mission accomplised. Bukan gunung bukan lautan, bukankah Ia juga dulu adalah misi utamamu menuju bahagia?
Tak perlulah kamu repot-repot kembali ke pelabuhan, jika kamu tak juga sadar betapa Ia telah lama sabar menantimu yang egois tak pernah memberi kabar.
Jarang-jarang saat raga dan jiwamu masih sehat, kamu bisa menyelam bersama hiu paus di Kwatisore Papua, atau berkali-kali melakukan pendakian ke gunung tertinggi senusantara sekalipun untuk berburu foto travelingmu yang harganya jutaan itu. Namun, akan jarang juga, kamu mendapatkan kesempatan mengenal seseorang yang mau melengkapimu bahkan rela menantimu. Kamu masih ragu-ragu?
Terkadang, kamu lupa, bahwa ‘ketidakjelasan’ pekerjaanmu masih membuat keluarganya ragu, kapan kamu mau memberanikan diri meminangnya, sementara sederet lainnya siap memberikan segalanya untuk dirinya. Kamu lupa bahwa Ia punya orang tua dan lingkungan yang selalu menanyakan,”Kapan Nikah?” Haruskah Ia selalu menjawabnya dengan senyuman?
Banyak orang bilang, menunggu adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Nyatanya, Ia telah rela melakukannya sejak lama, hanya untuk menantimu. Kamu dan pekerjaanmu, telah menikah dan melahirkan karya-karya indah yang susah payah didapatkan. Kapan kamu dan Dia segera menikah dan melahirkan kebahagian-kebahagiaan milik berdua?