Ada tren baru di dunia traveling yang merebak sejak tahun 2015. Tren di mana mayoritas pelaku kegiatan traveling adalah para kaum muda, generasi millenial!
Generasi yang lahir antara tahun 1980 dan tahun 2000 (mungkin kamu satu di antaranya) ini telah merajai pergerakan traveling baik di dalam mau pun luar negeri.
Survei yang diadakan Topdeck Travel kepada 31.000 orang dari 134 negara berbeda, sebanyak 88 persen menyatakan telah menjelajah ke luar negeri sampai tiga kali dalam setahun dan 94 persennya merupakan rentang usia 18-30 tahun. Orang-orang muda dikatakan lebih tertarik untuk traveling ke luar negeri dibanding orang yang lebih tua.
PBB bahkan mengatakan bahwa 20 persen dari seluruh wisatawan dunia merupakan mereka yang masih muda, para kaum millennial. Mereka jauh lebih tertarik traveling sebanyak-banyaknya ketimbang generasi yang lebih tua. Tak pelak hal tersebut turut membantu meningkatkan pendapatan negara sebanyak 180 dolar per tahun, dan terus meningkat sejak 2007.
Baca juga: Generasi 2.0, generasi traveler kekinian
Menariknya, para millennial selalu antusias traveling meski terhambat oleh faktor keuangan. Bahkan diperkirakan pengeluaran terbesar generasi millennial adalah untuk travelling.
Dibandingkan generasi sebelumnya, millennial membuat gaya traveling jadi lebih menarik. Mereka bahkan membuat gaya tersendiri. Semisal persoalan keuangan yang pas-pasan, millennial sering mengakali pengeluaran selama traveling. Tiket promo pesawat dan tempat penginapan murah selalu jadi serbuan, pun dengan acara makan yang jauh dari restoran mewah. Tak jarang mereka menginap di rumah warga atau di tempat-tempat umum demi menghemat isi dompet. Mereka juga mencintai tempat yang dinaungi Wi-Fi dengan alasan murah. Ya, siapa sih yang tak suka Wi-Fi?
Untuk berpindah ke suatu tempat, millennial dengan pintarnya menolak transportasi umum jika mampu disiasati dengan berjalan kaki. Semua dilakukan demi menekan biaya yang harus dikeluarkan saat berada di negeri orang. Dengan berjalan kaki, uniknya justru mampu menjadikan Millennial jauh lebih bebas dalam berekspresi dan bersosialisasi. Mereka meresap keindahan alam lebih lama, menjadi familiar dengan destinasi yang dituju, dan tak jarang mendapat teman baru saat perjalanan.
Ditambah, perkembangan teknologi yang semakin cepat juga membuat hubungan para Millennial yang bertemu di perjalanan ini tak lekang oleh jarak dan waktu. Mereka bisa tetap berkomunikasi lewat media sosial.
Tak heran kelompok dan komunitas traveling sering kali terbentuk. Baik di Facebook atau Twitter. Anggotanya bukan hanya yang sudah bertemu. Yang tak pernah bertatap muka namun pernah mengarungi destinasi sama, juga ikut bergabung. Mereka berbagi cerita, pengalaman, serta tips traveling. Seolah tumbuh saling percaya dan rasa kekeluargaan. Bahkan fenomena yang sering terjadi saat ini adalah, jika ada generasi millennial ingin pergi ke satu negara, mereka akan lebih mendengar saran dari komunitas dibanding referensi seperti majalah atau situs resmi perusahaan pariwisata.
Karena perkembangan teknologi yang cepat, millennial juga menciptakan tren open traveling (open trip). Sebuah konsep di mana mereka akan traveling bersama dengan orang yang belum pernah dikenal, namun memiliki semangat dan tujuan destinasi yang sama. Keuntungan dari konsep ini adalah mereka tak perlu repot mengumpulkan teman yang ujung-ujungnya tak jadi berangkat. Mereka juga bisa membagi biaya, dan mendapat pengalaman serta teman baru. Hal itu juga akan membuat mereka lebih antusias karena ada yang “ditunggu” saat traveling nanti.
Percayalah, meski millennial terlihat traveling seorang diri, namun mereka tak pernah benar-benar sendirian. Karena mereka―atau kamu―mengerti, ini adalah era millennial merajai dunia traveling.