Perjalanan melelahkan di Kawah Ijen tak menyurutkan hasrat berkunjung ke tempat ini. Sebagai seorang pecinta kopi -instan-, tempat ini telah lama kubidik.
Dan kini, saya tengah duduk di joglo Sanggar Genjah Arum Banyuwangi bersama seorang kawan -dengan muka kuyu karena baru saja turun dari Ijen- mau tidak mau menemani saya ke sangggar ini karena saya yang pegan kunci motor. Selain kami ada 4 turis asing asal Jepang yang berkunjung. Salah seorang dari mereka yang lancar berbahasa Indonesia mengaku, mereka adalah penggemar berat kopi. Kabar tentang Sanggar Genjah Arum ternyata telah sampai ke negeri sakura.
Mereka datang ke Indonesia memang sengaja ingin berkunjung ke sanggar ini. Berbeda dengan kami. Pada dasarnya kami memang bukan penggemar berat kopi. Kami hanya penggemar “sesuatu yang unik di penjuru Indonesia”. Saat kami menemukan sesuatu yang menurut kami menarik dan unik, kami akan segera menyusun rencana menuju tempat tersebut.
Pak Iwan, sang tuan rumah sangat ramah dalam menyambut kami. Saat kami semua datang, tabuhan suara angklung mengiringi dengan merdunya. Suara angklung tersebut berasal dari sepasang angklung, yaitu angklung lanang atau angklung lelaki, serta angklung wadon atau angklung perempuan. Angklung dimainkan di puncak paglak.
Paglak adalah gubug tanpa dinding yang terbuat dari bambu. Tingginya sekitar 15 meter. Biasanya terdapat di tengah persawahan. Dulunya paglak merupakan tempat untuk mengusir burung yang hendak memakan padi. Sekarang ini paglak mengalami pergeseran fungsi. Paglak di Banyuwangi biasa digunakan untuk memainkan angklung. Karena dimainkan di atas paglak itulah angklung tersebut dinamakan angklung paglak.
Para penabuh yang sudah berusia uzur sesekali membetulkan posisi susur yang bertengger di mulut mereka.
Alunan musik terus mengiringi saat kami menikmati secangkir kopi yang disangrai dan diblender sendiri oleh Pak Iwan, seorang tester kopi yang cukup dikenal ditingkat dunia.
Saat sesapan kopi masuk memenuhi langit-langit mulut, rasa asam menyeruak. Meninggalkan jejak rasa kuat di rongga mulut. Saya yang sebelumnya hanya pernah meminum kopi instan benar-benar merasakan perbedaan yang sangat jauh. Ini kopi terenak yang pernah saya cicipi!
Rasanya ringan dan tak ada bau gosong.
Teman saya sempat ragu menyicipi karena memiliki riwayat asam lambung. Pak Iwan yang menangkap raut cemas dari wajahnya menjelaskan bahwa kopi tidak menyebabkan sakit lambung atau maag. Bahkan jika mengerti prosesnya dan diolah dengan benar, kopi dapat menyehatkan tubuh.
Mata Pak Iwan begitu berbinar saat bercerita mengenai kopi. Gairahnya menyebar. Dia orang penuh semangat dan energi.
Pak Iwan mengajak kami ke dapurnya. Dia memberitahu kami cara mengolah kopi yang baik dan benar. Di dapur, ada 2 buah tungku besar lengkap dengan kayu dan gerabahnya. Panas gerabah harus berkisar 200-300 derajat celcius. Setelah panas dirasa pas, Pak Iwan memasukan setengah kilogram biji kopi. Setelah disangrai, kopi digiling lalu diseduh. Turis-turis asal Jepang tadi segera mengeluarkan kameranya. Mereka tak ingin kehilangan momen untuk mengabadikan seorang master kopi dunia meracik kopi.
Menikmati kopi pun ada seninya. Hidung harus didekatkan pada bibir cangkir. Saat aromanya sudah merasuk ke hidung, baru disruput. Saat menyruput kopi harus sampai berbunyi “sruuut”.
Hal tersebut bisa membuat kopi yang kita nikmati semakin enak. Menikmati kopi disarankan dalam kondisi santai dan tidak terburu-buru. Menikmati kopi di Sanggar Genjah Arum juga menikmati keindahan rumah-rumah tradisional Osing, suku asli Banyuwangi.
Pak Iwan memang sengaja menjadikan tempatnya sebagai konservasi rumah Osing. Ada sembilan rumah khas orang Osing berbahan kayu bendo dan tanjang. Setiap rumah memiliki fungsi berbeda. Ada yang dibuat sebagai gudang penyimpan kopi, tempat istirahat, tempat makan, dan tempat pertunjukan.
Pak Iwan begitu giat memperkenalkan kopi Banyuwangi atau Kopi Osing, ke berbagai negara. Nama Osing diambil dari subkultur terbesar yang hidup di Banyuwangi. Orang Osing adalah sebutan bagi masyarakat asli Banyuwangi. Kopi yang ditanam di pegunungan Ijen dan Raung sekitar Banyuwangi dan Bondowoso, sudah diekspor ke berbagai mancanegara. Kalau kita pergi ke Eropa dan minta disajikan Java Coffee, maka hampir dipastikan bahwa kopi itu berasal dari daerah sekitar Banyuwangi, Jawa Timur. Keunikan rasanya, menjadikan Kopi Banyuwangi digemari dunia.
Sembari menikmati kopi, kami berbincang santai dengan Pak Iwan. Ada cerita menarik, dulu seorang penulis tentang kopi dari salah satu majalah di Amerika berkunjung ke sanggar. Dirinya kaget mendapati Pak Iwan masih megolah kopi dengan cara tradisional. Namun, setelah merasakan sendiri hasil olahan kopi Pak Iwan, dia langsung membeli 2 gerabah. Saking sayangnya pada gerabahnya, dia tak memasukan gerabahnya ke bagasi tapi dipangku di dalam pesawat sepanjang perjalanan menuju ke Amerika.
***
Kopi memang spesial. Kopi dapat mendekatkan jarak dan menghilangkan kecanggungan. Semua tamu yang berkunjung ke sanggar dan menikmati kopi Pak Iwan pasti akan merasa lebih akrab, layaknya bertemu dengan teman lama. Kedua temanku yang awalnya enggan, saat kuajak kini justru begitu bersemangat mengobrol dengan Pak Iwan.
One brew, We bro, Sekali Seduh, Kita Bersaudara
Artikel ini merupakan bagian dari program Bingkai Negeri #1 yang membahas perjalanan dan kopi. Cerita lain tentang kopi dalam program ini dapat kamu lihat dihalaman Serangkai Cerita Tentang Kopi.