“orang yang paling bisa melindungi diri adalah diri sendiri, orang yang tidak punya kesalahan adalah orang paling sakti, dan orang yang paling sakti adalah orang yang tidak punya musuh. Kami percaya pada alam dan alam percaya pada kita. Kejujuran itu penting, kalau semua jujur, tidak ada yang perlu dirisaukan, karena orang saling percaya…”
Sebaris potongan petuah dari seorang Si Mbah, diperankan oleh W.S. Rendra, pemuka dalam masyarakat Samin di Blora. Sebuah film yang mendalami kisah hidup masyarakat Samin beserta pemikiran-pemikiran yang mendasarinya.
Begitu banyak film-film bertemakan traveling, seperti Eat Pray Love, Cashing Liberty, Into The World yang berhasil menggugah penonton untuk segera mengangkat ransel, maka film Lari Dari Blora pun berhasil menggugah saya untuk mencari tahu tentang kehidupan masyarakat Samin.
Idealisme saya tentang traveling sedikit bergeser, jika dulu destinasi baru dan menantang yang saya cari, kini saatnya melebarkan sayap untuk mencari tahu juga adat dan tradisi berbagai daerah di Indonesia. Bukankah ada pepatah bahwa tak kenal maka tak sayang? Bagaimana mungkin saya tak mau mengenal salah satu identitas bangsa selain bendera, lagu kebangsaan, dan burung garudanya.
Saya lempar bola mata ke arah jendela, baru memasuki stasiun Ngrombo, masih agak jauh untuk menuju Blora. Niat untuk tidur sejenak buyar sudah ketika seorang Bapak tua duduk di sebelah saya dan menyapa dengan ramahnya hingga pembicaraan semakin melebar.
Saya pesan tiket kereta api Blora Jaya, solo traveler menjadi pilihan untuk mengobati rasa penasaran. Masyarakat Samin bukan satu-satunya alasan untuk mengangkat kaki meninggalkan kota Semarang sementara waktu.
Berkunjung ke rumah seorang teman lama di Cepu juga menjadi salah satu agenda.
Pembicaraan yang lumayan panjang antara saya dengan si Bapak akhirnya mengarah pada kisah masyarakat Samin, Blora. Kantuk pun hilang, tinggal perasaan antusias yang ada.
Salah satu desa yang menjadi pencetus munculnya ajaran Samin adalah Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora. Desa ini terbilang cukup maju, sudah ada listrik untuk menerangi, terdapat kendaraan bermotor yang hilir mudik, namun kesan tradisional tidak hilang sepenuhnya. Beberapa rumah masih menggunakan penerangan lampu minyak dan berlantai tanah.
Awalnya, saya pikir Samin merupakan salah satu suku, namun sebutan suku sepertinya kurang tepat, komunitas agaknya lebih cocok. Pasalnya masyarakat Samin tidak hanya terdapat di Blora, tapi juga terdapat di Pati. Tidak terdapat rumah adat, tarian tradisional, hanya memiliki pemikiran dan ajaran yang sama.
“Sejarah masyarakat Samin sendiri berawal dari perlawanan terhadap penjajahan Belanda, namun dengan cara halus dengan cara menyendiri membentuk koloni. Mereka menyebutnya ‘sedulur sikep’”. Ujar si Bapak yang rupanya masyarakat lokal asal Blora.
Komunitas penganut sedulur sikep ini tidak bersekolah, tidak memakai peci, tapi memakai kain yang diikatkan kekepala. Selain itu mereka juga tidak berpoligami dan tidak memakai celana panjang. Biasanya mereka memakai baju lengan panjang tanpa kerah dan celana hitam sebatas lutut atau biasa disebut celana komprang.
Komunitas ini juga pantang berdagang, hal ini merupakan penolakan terhadap kapitalisme. Masyarakat ini cenderung terisolir dan memiliki peraturan adat sendiri. Oleh karena itu, jangan heran apabila hukum ketatanegaraan tidak berlaku bagi mereka.
Ajaran tersebut menurut ajaran lisan warga Tapelan Blora dikenal sebagai ”angger-angger praktikel”, yaitu hukum tindak tanduk, angger-angger pangucap, yakni hukum berbicara, serta angger-angger lakonana, hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan.
“Inti angger-angger praktikel adalah keseimbangan sangat diutamakan, baik itu hubungan antar manusia, alam, ataupun Tuhan”
Sempat ragu dengan penjelasan si Bapak ini terhadap masyarakat Samin. Senatural itukah kehidupan mereka di tengah modernisasi yang tengah merebak, tapi apa yang digambarkan si Bapak serupa dengan apa yang diceritakan di film. Ah, entahlah biar waktu yang menjawab setibanya di sana.
Benar-benar jarang sekali ada komunitas yang masih saklek terhadap sebuah ajaran yang mereka sebut sebagai sedulur sikep. Ajaran yang dilaksanakan tanpa kompromi di tengah kerasnya arus dan pengaruh modernisasi.
Lagi-lagi kereta menjadi ladang pengetahuan baru bagiku. Sebagai orang yang tidak fanatik berburu ilmu di perpustakaan, semakin menguatkan atas keyakinan saya, bahwa pengetahuan tidak hanya datang dari buku-buku di perpustakaan, melainkan di mana saja dan kapan saja.