Niat untuk makan di tepi Jalan Malioboro saat itu terpaksa batal.
Menjelang senja, saya dan Karen sudah merasa cukup lapar setelah seharian mengelilingi kota Jogjakarta, namun Dana menyarankan untuk menahan diri sebentar lagi hingga waktu makan malam tiba.
‘Tahan sebentar ya, nanti malam saya mau bawa kalian ke suatu tempat yang asyik. Di sana kalian bisa bebas pilih makanan apapun sesuka kalian.’ Mendengar penjelasan Dana, kami sepakat untuk langsung kembali ke penginapan untuk mandi dan bersiap-siap.
Saya cukup penasaran tempat seperti apa yang akan ditunjukan oleh Dana nanti malam.
Setelah beristirahat dan bermain gitar sebentar di penginapan, akhirnya malam pun tiba. Kami segera menuju ke Taman Budaya.
Hal pertama yang menarik perhatian kami adalah gapura sederhana yang terbuat dari bambu dengan tulisan ‘Pasar Kangen Jogja 2014’ nama yang cukup ikonik dan mudah diingat.
Dana menjelaskan bahwa Pasar Kangen merupakan event tahunan yang diselenggarakan pemerintah kota Jogja.
‘Nah, kalau di sini banyak jajanan khas yang asli, karena semua pesertanya sudah lolos seleksi.’
Tanpa menghabiskan banyak waktu kami pun mulai berkeliling mencari makanan yang sekiranya unik. Ada banyak sekali pilihan dan sepertinya semuanya memang menggoda iman. Terutama sate klathak -aromanya benar-benar membuat perut keroncongan dan penganan pasar seperti tiwul, lopis dan teman temannya. Puluhan orang,tua-muda, berbagai ukuran, berbagai aroma, memenuhi kedua stand ini.
Sepiring mie lethek khas Bantul dan segelas es tebu yang menyegarkan -saya suka manis alaminya, tak membuat tenggorokan sakit seperti pemanis buatan, menjadi kudapan andalan malam ini.
Kami segera menuju jajaran kursi yang terletak tepat di depan panggung kecil dengan satu set gamelan di dalamnya.
Saya mencoba akrab dengan menyapa pengunjung lain yang duduk di sebelah, seorang pria paruh baya. Dari beliaulah saya mengetahui bahwa setiap daerah yang berpartisipasi dalam Pasar Kangen diwajibkan menonjolkan budaya daerahnya masing-masing mulai dari mengenakan pakaian adat, menghias stand, hingga menampilkan minimal satu pertunjukan budaya secara bergantian di panggung.
Menikmati penganan khas dengan ditemani alunan musik tradisional membuat malam itu terasa ‘sangat Jogja‘.
Kini tubuh telah mendapatkan haknya, haripun belum terlalu malam.
Kami mengitari bagian dalam gedung.
Dilantai dasar kami menemukan banyak penjual cindera mata, barang yang mereka jual pun beragam, mulai dari piringan hitam kuno hingga keris pusaka -mengingatkan saya pada film-film kolosal di televisi, yang menurut si empu yang penjaganya memiliki suatu kekuatan mistis.
Di lantai dua, saya asyik memperhatikan penjelasan seorang penjual wayang kulit tentang teknik pembuatan dan pemilihan bahan baku hingga siap pentas. Wajah dan gerak tubuhnya begitu ekspresif, begitu bersemangat memberi penjelasan.
***
Malam itu terasa sangat menyenangkan, saya menemukan banyak keseruan dan pengetahuan baru mengenai seluk beluk kota Jogjakarta dalam satu lokasi.
Pasar Kangen memang membuat kangen, bahkan saat inipun saya sudah merasakan rindu untuk kembali berada dalam suasana kehangatan khas Jogja kala itu.
Saya tidak sabar untuk kembali mengunjungi Jogja pada perhelatan Pasar Kangen selanjutnya.