Waktu menunjukkan pukul 8 malam.
Tak terasa hampir seharian, saya melanglang buana menyusuri Jogja. Tentu belum semua tempat bisa saya kunjungi. Mungkin saya perlu waktu satu bulan, bahkan lebih untuk berkeliling keseluruhan wisata yang ada di kota ini.
Tujuan selanjutnya adalah Taman Lampion di kawasan Monjali. Saya bersama teman, menepi di sebuah minimarket yang berada di jalan Magelang untuk membeli minum dan sejenak meluruskan kaki.
Kami duduk di cafetarian bagian luar minimarket. Sesekali berbincang, obrolan kami berhenti manakala menatap layar televisi.
‘Mbak, seikhlasnya mbak.’
Seorang anak perempuan menyenggol siku saya. Gadis kecil berusia kira-kira 6-7 tahun itu berdiri di depan saya. Membawa kotak sebesar 2 kali kotak tissue memandang saya dengan kepolosan. Kepala lucunya tertutup jilbab.
‘Adek sekolah nggak?’ saya lebih tertarik untuk mengintrogasinya.
‘Sekolah mbak.’
‘Kelas berapa sekarang?’
‘Kelas 3.’
‘Adek laper nggak?’
Ia hanya menganggukkan kepala. Saya menyodorkan sebatang cokelat yang belum sempat saya makan. Ia mengambil dan memakannya.
‘Makasih mbak.’ Ia tersenyum kecil
‘Sini duduk dulu.’ Ia duduk tepat di kursi sebelah saya. ‘Adek sama siapa malem-malem?’
‘Sama ibu.’
Ia seperti bocah kecil pada umumnya. Bersuara ketika ditanya oleh orang asing.
‘Ibunya mana?’
‘Itu di sana.’ Ia menjawab dengan logat Jogja medhoknya.
Mata saya mengikuti telunjuk anak kecil itu. Tapi saya tak mendapatinya. Saya yakin ibunya jauh sengaja menjaga jarak.
‘Ibunya ngapain?’
‘Ibu nemenin aku.’
‘Bilang sama Ibu ya. Seperti ini: Bu, besok aku nggak mau lagi minta-minta. Aku mau sekolah aja, belajar yang pinter biar jadi orang sukses.’
Ia kembali mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Giginya terlihat ternoda oleh sisa-sisa cokelat.
‘Bapak ibu kerja apa, Dek?’ saya semakin penasaran tentang perempuan kecil yang ada di samping saya malam ini.
Ia tetap tersenyum dan enggan menjawab pertanyaan saya. Saya tahu dia mulai gusar dan ingin segera pergi. Pasti ibunya menunggu.
‘Rumahnya dimana?’
‘Di Jombor sana.’ Ia kembali memainkan telunjuknya untuk menunjukkan arah.
Ia terlihat semakin gusar.
‘Jangan lupa bilang sama Ibu seperti tadi ya? Simpan uang ini di saku. Jangan taruh di kotak. Dan jangan bilang sama ibumu. Mengerti?’
‘Iya mbak. Terima kasih.’
Ia berlalu. Berpindah ke warung samping dan kembali menyodorkan kotaknya. Ia akan menyusuri jalan magelang sampai ia merasa lelah.
Saya pun harus segera bergegas melanjutkan perjalanan ke Taman Lampion yang hanya di buka sampai pukul 10 malam. Ransel kembali saya gantung ke punggung. Hanya butuh 5 menit dari minimarket maka kami akan sampai.
Ada amarah yang ingin aku luapkan kepada ibu dari anak tersebut. Apa pun alasannya, anak kecil tidak sepatutnya dijadikan alat pencari uang. Banyak memang anak-anak dipekerjakan untuk mengemis.
Tapi, apa saya berhak marah? Saya menggerutu.
Setibanya di taman lampion yang indah dengan lampu-lampu cantik beragam bentuk, saya tidak tertarik lagi. Bayangan senyum gadis kecil itu masih mengganggu saya.
Setelah mengitari museum Jogja yang dikelilingi lampion-lampion cantik dengan berbagai bentuk. Saya duduk di kursi pinggir kolam. Menikmati alunan live musik di sudut taman.
Secangkir cokelat panas dan irama musik sedikit menenangkan saya.
Perjalanan kali ini saya kembali mendapat pelajaran berharga. Pelajaran untuk lebih peka pada sekitar dan bersyukur pada hal sekecil apapun yang kita miliki.