Sejak awal tahun 2020 hingga kini, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia tercatat beberapa kali mengalami musibah banjir yang cukup parah. Banjir di Jakarta sudah seperti agenda tahunan yang rutin melanda ibukota. Banyak yang belum memahami, musibah banjir ini sebenarnya erat kaitannya dengan kondisi geografi wilayah Jakarta.
Sebelum menjadi pemukiman padat penduduk, dahulu wilayah Jakarta merupakan rawa-rawa yang memiliki permukaan tanah cenderung lebih rendah dari permukaan laut disekitarnya. Serentetan musibah banjir telah terjadi sejak Jakarta masih bernama Batavia pada 1600-an. Saat itu Batavia berada dibawah pemerintahan VOC, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jendral VOC.
Berbagai usaha diupayakan oleh pemerintahan saat itu untuk mengatasi banjir di Batavia. Coen sempat membuat sejumlah kanal dan sodetan di Kali Ciliwung namun belum juga berhasil. Pada 1920 dibawah Johan Paul van Limburg Stirum sebagai Gubernur Jenderal VOC, dibangun Kanal Banjir Barat yang dimulai dari Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke.
Penanggulangan banjir di Batavia menjadi salah satu program kerja utama pada masa Pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Keseriusan ini terbukti dengan pembentukan Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW) pada 1918 yang berubah menjadi Departmenet van Verkeer en Waterstaat (Departemen Perhubungan dan Perairan) pada 1933.
Batavia adalah pusat pemerintahan dan perekonomian pada masa Hindia Belanda di nusantara. Demi kelancarannya, musibah banjir tahunan harus diatasi sesegera mungkin. Tahun 1910 dianggarkan sebanyak 25ribu gulden untuk mengatasi banjir di beberapa wilayah Batavia seperti Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng. Pada 1927 sebanyak 288.292 gulden dikucurkan untuk pembangunan delapan proyek untuk mengatasi banjir.
Seorang insinyur hindrologi, Herman van Breen, ditunjuk untuk membuat perencanaan pengairan di Batavia. Puncak pengendalian banjir terjadi pada 1913-1930. Pada akhir 1913, Pemerintah Hindia Belanda dibawah arahan Herman van Breen mulai menejarkan proyek pintu air Matraman, pintu air Gusti, normalisasi Sunter, kanal banjir, dan saluran Cideng. Pemerintah berupaya melakukan usaha preventif untuk mencegah banjir, keterbatasannya hanya satu yakni dana.
Sebelum semua proyek rampung, Pemerintah Hindia Belanda kalah oleh Jepang dan terusir dari nusantara. Proyek-proyek yang telah direncanakan akhirnya terbengkalai. Setelah merdeka, Pemerintah Indonesia terlalu fokus dalam mempertahankan kemerdekaan sehingga banjir di Jakarta hanya ditanggulangi masyarakat dengan cara seadanya yang bersifat lokal.
Awal tahun 2020 pada rentang waktu Januari hingga Februari, DKI Jakarta tercatat terendam banjir lebih dari enam kali. Masyarakat mengkritik banjir yang hampir terjadi setiap seminggu sekali menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam mencegah musibah banjir tahunan. Banyak proyek yang tidak dijalankan, malah terlalu sibuk mempersiapkan hal-hal lain yang kurang penting.
Banjir tidak sepenuhnya salah pemerintah. Selain karena faktor alam, kebiasaan masyarakat yang merusak lingkungan juga menjadi penyebab utamanya. Berhenti untuk membuang sampah ke sungai, tidak mendirikan bangunan di bantaran sungai, dan tidak menebang pohon dapat menjadi langkah kecil untuk menanggulangi banjir Jakarta. Mulai dari diri sendiri.