Sehari Menyepi di Lembah Cikujang

Jika dinikmati dengan cara yang tepat, destinasi manapun bisa jadi istimewa. Sehari menyepi di Lembah Cikujang memberi banyak pengalaman berharga.

SHARE :

Ditulis Oleh: Agung Ristiana

Foto oleh Agung Ristiana

Kawan saya Hendrik masih meringkuk malas di dalam kantong tidur, saya sudah duduk manis di teras depan gubuk kayu sederhana tempat kami menginap semalam. Sambil menyeruput kopi hangat yang terhidang dalam gelas, saya mengamati kedamaian pagi di lembah yang indah ini.

Deretan awan yang tertiup angin berarak perlahan melewati puncak gunung bongkok yang berdiri gagah di atas sana. Suara burung dudut (Burung alang-alang – Centropus bengalensis) yang terdengar seperti jeritan monyet, melengking nyaring dari dalam hutan.

Di tengah sawah yang belum ditanami, sekelompok capung terbang ringan mengikuti aliran angin dengan kepakan sayapnya, dan di kejauhan, seekor anjing kurus berjalan menyusuri pematang sambil mengendus-endus mencari apapun yang bisa dimakan. Di tempat ini, ragam kehidupan alam berjalan berdampingan dengan kehidupan masyarakat petani, menciptakan harmoni keseimbangan hidup yang damai sekaligus indah.

Mak Momon -istri dari pemilik gubuk kayu- kemudian menyapa dan menawarkan sepiring rengginang  hangat yang baru ia masak. Sambil tersenyum malu, saya menerima dengan senang hati suguhan mewah ini, rengginang hangat yang renyah berpadu dengan secangkir kopi tentu menjadi sarapan sempurna di pagi yang cukup dingin ini.

Ada banyak hal spesial di lembah subur ini, yang sukses membuat saya betah berkunjung kemari. Suasana alamnya, hewan-hewannya, dan yang paling special tentu keramahan para penduduknya, semua berkolaborasi menciptakan suasana damai dalam kesederhanaan yang menyejukkan.

Lembah subur bekas tambang timah

Foto oleh Agung Ristiana

Sejak awal perjalanan, pemandangan hutan belantara di kiri kanan jalan berbatu telah akrab kami jumpai, semakin jauh berjalan, hutan semakin terlihat liar, meski di beberapa tempat telah diselingi ladang pertanian milik penduduk desa.

Anehnya, semakin masuk ke kawasan hutan hingga mendekat ke lokasi tujuan, ladang pertanian bukannya semakin jarang, tapi malah semakin sering kami jumpai. Hingga puncaknya di lembah yang kami tuju, berhektar-hektar sawah dan ladang terhampar cukup luas hingga bata hutan di kejauhan. Kawasan pertanian di tengah belantara tentu menjadi pemandangan yang sedikit janggal, pikiran saya langsung terbayang ladang ganja yang sering dibuat sembunyi-sembunyi di tengah hutan. Tapi ini bukan ladang ganja, ini hanya kawasan pertanian biasa, berisi sawah yang ditanami padi, dan kebun-kebun dengan tanaman palawija.

Menurut cerita beberapa penduduk yang berladang di tempat ini, sejak dulu lembah di tengah hutan Gunung Sawal ini ternyata memang tidak termasuk kawasan hutan lindung. Sejarahnya, sejak masa penjajahan Belanda, kemudian Jepang, berlanjut masa awal kemerdekaan, hingga jaman kepemimpinan Presiden Soeharto, kawasan ini merupakan area tambang timah yang cukup produktif. Pantas saja hingga kini masih banyak masyarakat yang menyebut kawasan ini dengan nama Lobang Timah.

Kemudian, sejak reformasi berhasil meruntuhkan kekuasaan Soeharto, kawasan ini kemudian menjadi tak terurus. Akhirnya, dengan alasan ingin memanfaatkan kawasan yang terabaikan ini, pada tahun 1999, kelompok masyarakat sekitar dibantu sebuah organisasi mulai membuka kawasan ini menjadi area pertanian. Kini, setelah lebih dari 15 tahun berjalan, kawasan ini semakin ramai digunakan tempat meladang warga desa sekitar.

Curhatan seorang warga yang peduli kelestarian alam

Di tengah perjalanan, saat tengah beristirahat di sekitar pos milik BKSDA, sesosok bapak paruh baya tiba-tiba datang menghampiri. Sambil tersenyum ramah, beliau menyalami kami satu-persatu dengan akrab, kemudian menawarkan rokok kretek yang ia punya. Namanya Pak Undang, lelaki ramah berperawakan sedang yang saya perkirakan berusia sekitar 40-an.

Melihat logo perhutani di baju oranye yang ia kenakan, saya sempat mengira beliau adalah petugas pengurus kawasan suaka margasatwa Gunung Sawal, namun ternyata bukan, ia merupakan salah satu dari sekian banyak warga desa setempat yang sehari-harinya mengerjakan ladang di sekitar lembah.

Duduk-duduk sambil merokok bersama, ia kemudian menerangkan kalau baju berlogo Perhutani tersebut didapat saat ikut menjadi relawan peduli kebakaran. Bersama dengan beberapa rekannya, ia turut aktif membantu pemerintah memerangi kebakaran hutan yang belakangan sedang rawan terjadi di sekitar kaki gunung.

Pak Undang yang nampak senang mengobrol kemudian bercerita tentang banyak hal lainnya, mulai dari rasa kepeduliannya pada kelestarian alam sekitar kawasan suaka margasatwa, tentang perburuan illegal yang masih sering terjadi, hingga rasa kesalnya terhadap dalang-dalang dibalik aksi pembalakan liar.

Dari berbagai cerita yang ia tuturkan, saya menangkap adanya rasa kepedulian yang besar pada upaya pelestarian alam yang ia miliki. Sayangnya, karena kurang bisa mengorganisasi masyarakat sekitar, ia menuturkan kadang rasa peduli tersebut hanya bisa dipendam dalam hati, tanpa membuat aksi-aksi yang nyata.

Pengalaman baru saat menginap di gubuk kayu sederhana

Foto oleh Agung Ristiana

Sepetak tanah lapang di pinggiran sungai itu kini telah berubah menjadi jadi sepetak sawah yang belum ditanami. Beberapa tahun lalu, tempat itu adalah lokasi favorit yang biasa dijadikan tempat untuk berkemah.

Karena tak mungkin berkemah di atas sawah yang basah, mau tak mau kami harus mencari alternatif tempat lain untuk mendirikan tenda. Sialnya, tak ada lagi tanah kosong yang tersedia, semua telah dirubah menjadi sawah dan ladang oleh penduduk sekitar.

Ditengah kebingungan mencari tempat berkemah, muncul lah ide untuk coba menyambangi gubuk kayu yang banyak berdiri di lembah ini. Siapa tahu ada penduduk ramah yang sudi menampung kami malam ini.

Di kejauhan, di depan sebuah gubuk kayu sederhana , terlihat seorang bapak tua yang nampak masih sangat bertenaga sedang memotong bambu dengan sangat cekatan. Kami pun coba menghampiri dan menyapa bapak tersebut, kemudian berkenalan dilanjut ngobrol-ngobrol ba bi bu so’ akrab.

Hayu atuh ka lebet ,jang! Sok we bilih bade ngawarengi mah mening di dieu, di saung Aki, tapi wayahna we sakieu ayana. –Ayo masuk ke dalam! Kalau mau bermalam, mending di sini saja, di gubuk kakek, tapi ya harap maklum, mau ngga mau cuma begini keaadanya.’ Ujar kakek tua baik hati bernama Ki Momon ini.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba, hihi! Belum meminta, kami sudah ditawari untuk menginap, keramahan dan kebaikan orang desa memang sangat luar biasa, mereka selalu siap membantu sesama, sekalipun terhadap orang asing yang baru mereka kenal. Dewasa ini, sikap mulia seperti ini rasanya sudah sangat jarang bisa ditemukan di kehidupan masyarakat kota.

Takn lama berselang, Istri beliau yang kebetulan sedang memasak air di dapur, kemudian ikut menyambut kami dengan sangat ramah, beliau datang dengan membawa teko berisi air hangat dan satu sikat pisang emas yang kemudian disusul sepiring singkong rebus yang masih hangat. Subhanallah sekali pokoknya ini kebaikan The Momon’s couple, hihi.

Setelah mengobrol ngalor ngidul cukup lama dengan ki Momon, beliau bertutur kalau gubuk ini memang sudah sering jadi tempat bermalam orang-orang yang sering datang bermain ke lembah ini.

Tidak terhubung dengan gadget-gadget canggih ternyata memberi kedamaian yang sudah sangat jarang dirasakan

Foto dari Agung Ristiana

Tak ada hingar bingar suara dari layar canggih bernama televisi, tak ada suara tat-tit-tut bunyi notifikasi di ponsel pintar yang telah saya nonaktifkan, dan lebih hebatnya tak ada polusi cahaya dari lampu listrik saat bermalam di gubuk ini. Semua digantikan dengan nyanyian burung yang merdu, suara air yang mengalir dengan tenang, suara desau angin malam yang berhembus menerpa dedaunan, serta setitik cahaya dari lilin di tengah pekat gelap malam.

Anehnya, tanpa berbagai teknologi yang biasa dinikmati sehari-hari tersebut, bukannya merasa resah dan gelisah, saya malah merasakan suasana yang lebih damai dan tentram.

Ternyata, sesekali mencoba kembali merasakan kesederhanaan hidup ala manusia jaman dahulu adalah cara ampuh yang bisa mendatangkan rasa tenang dan damai di dalam hati.

Jika dinikmati dengan cara yang tepat, destinasi manapun bisa jadi istimewa

Foto oleh Agung Ristiana

Di tengah semakin berkembangnya teknologi, semakin mudahnya akses transportasi dan informasi, kini traveling sedang menjadi tren yang naik daun, terkhusus di kalangan anak muda yang katanya gaul. Destinasi-destinasi menarik banyak muncul dan menjadi buah bibir. Berkunjung ke tempat-tempat yang sedang nge-hits menjadi impian para travelers masa kini. Dan sekarang, saya malah terdampar di tempat asing yang jika dilihat dari kacamata wisatawan adalah tempat yang sangat tidak menarik.

Tak ada pemandangan alam yang mengagumkan di sini, hanya ada sawah, ladang, sungai, hutan liar, dan penduduk sekitar yang hampir semuanya adalah petani

Namun apa yang saya temukan disini ternyata jauh lebih berharga dari apa yang dapat saya dapatkan di destinasi-destinasi favorit yang pernah dikunjungi.

Interaksi dengan penduduk yang sangat ramah, menonton aktivitas para petani, serta menikmati kedamaian yang ada di tempat sederhana ini ternyata jauh lebih bermakna dari sekedar mengunjungi lokasi idaman untuk kemudian menghabiskan waktu dengan berfoto selfie berlatar pemandangan mengagumkan, lalu segera diunggah di media sosial untuk dibanggakan kepada teman.

Menikmati sebuah kesederhanaan ternyata jauh lebih indah dan bermakna.

Dari sini, saya kemudian sadar, ternyata jika kita tahu cara terbaik untuk menikmati perjalanan, destinasi manapun akan menjadi sebuah tempat yang sangat istimewa untuk dijelajahi.

Ada banyak cerita yang bisa ditelusuri, ada beragam sudut pandang yang bisa dilihat, dan ada banyak pelajaran yang bisa digali lewat interaksi dengan masyarakat sekitar. Inilah sebenarnya yang menjadi inti sebuah perjalanan, yaitu bertemu orang-orang baru dan mengambil pelajaran berharga dari cerita-cerita tentang kehidupan mereka.

***

Sayang, waktu yang saya punya sungguh terlalu singkat untuk bisa benar-benar menikmati kedamaian yang muncul di tempat tempat ini. Saya tak punya banyak kesempatan untuk menggali lebih dalam nilai-nilai luhur dari kehidupan masyarakat penghuni lembah ini. Meski begitu, dari waktu yang singkat ini, saya sangat senang karena masih bisa mendapat pelajaran baru tentang arti kesederhanaan hidup.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU