Cerita dari Pulau Ndana, Pulau Terluar di Selatan Indonesia

Sebuah cerita dari alam dan manusia di Pulau Ndana, pulau terluar di selatan Indonesia

SHARE :

Ditulis Oleh: Dea Sihotang

Sebelum mengunjungi Pulau Ndana di Rote, beribu kecemasan dan keengganan muncul dalam benak saya. Pasalnya, Pulau Ndana yang menjadi pulau terluar di bagian selatan Indonesia ini memang terkenal sebagai tempat latihannya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dan juga membayangkan proses izin dan ribetnya administrasi untuk mencapai pulau tersebut. Tapi rasa penasaran yang membuncah mengalahkan semuanya.

Ucapan Selamat Datang di Pulau Ndana. Foto oleh Dea Sihotang

Semua ketakutan saya diawal tidak beralasan, karena ternyata untuk mengunjungi pulau ini tak susah samasekali. Tentunya memang harus melapor terlebih dahulu, namun kita hanya perlu memberitahukan apa maksud kedatangan kita ke tempat tersebut beserta data diri kita.

Untuk menuju Pulau Ndana, cara satu-satunya adalah melalui Oeseli. Desa Oeseli terletak sekitar 1 jam dari Kota Baa, atau setengah jam dari Desa Nemberala, sebuah area dimana biasa terdapat penginapan untuk para turis. Di Desa Oeseli terdapat pos Satuan Petugas (Satgas) dari TNI dimana kita bisa meminta izin untuk berkunjung ke Pulau Ndana.

 

Kami menuju Pulau Ndana. Foto oleh Dea Sihotang

Saat hendak menuju Pulau Ndana dengan menggunakan perahu kayu bermotor, ternyata air laut sedang surut, sehingga kami perlu menunggu laut pasang agar perahu bisa mencapai pinggir pantai Oeseli.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya rombongan kami berangkat. Tiga puluh menit terombang ambing di lautan lepas, kapal kemudian menepi di sebuah pesisir pantai beralaskan pasir putih. Gelombang tenang air berwarna biru toska pantulan awan dari langit, terlihat begitu bening transparan dan mengundang kami untuk langsung menceburkan diri kedalamnya.

Sangkar-sangkar burung milik para anggota satgas. Foto oleh Dea Sihotang

Pak Kris, seorang satgas TNI menyambut kedatangan kami. Jauh dari bayangan saya tentang TNI, ternyata mereka ramah dan lucu-lucu. Segera saja kami memiliki banyak topik pembicaraan dan mereka pun menyambut baik ketika saya menceritakan tentang promosi tempat-tempat pariwisata di Indonesia melalui tulisan para blogger.

Para anggota satgas yang ternyata ramah dan lucu-lucu. Foto oleh Dea Sihotang

Mengunjungi Panglima Besar Jenderal Sudirman

Setelah berbincang-bincang, kami pun menuju destinasi pertama kami di Pulau Ndana,  menengok patung Panglima Besar Jenderal Sudirman yang ramai dibicarakan orang dan tempat eksis para pelancong yang telah mampir ke Pulau Ndana.

Jalan yang harus kami lalui untuk melihat patung Panglima Besar Jenderal Sudirman. Foto oleh Dea Sihotang

Patung Panglima Besar Jenderal Sudirman terletak tidak jauh dari tempat kami mengobrol. Terlihat sosoknya menjulang tinggi dari kejauhan. Untuk melihat patung dari dekat, kami harus berjalan sekitar 500 meter. Cuaca terik menyengat membuat perjalanan terasa melelahkan, namun padang savanah yang membentang luas menjadi pemandangan tersendiri saat kami berjalan. Hanya kami perlu berhati-hati agar rumput-rumput kering tidak melukai telapak kaki kami.

Patung Panglima Besar Jenderal Sudirman yang ada di Pulau Ndana. Foto oleh Dea Sihotang

Mengapa figur Panglima Besar Jenderal Sudirman yang ada di Pulau Ndana?

Jawabannya mungkin terlihat dari amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dituliskan dalam sebuah lempengan yang terekat dekat patung.

Melihat Langsung Ribuan Bela si Bebek Laut

Selepas berfoto di depan patung Panglima Besar Jenderal Sudirman, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai di sisi selatan Pulau Ndana. Terlihat pantai surut saat itu, sehingga memungkinkan kami untuk menyusurinya dan bergerak menuju tanjung karang KRI. Dinamakan begitu oleh para satgas karena bentuknya yang seperti kapal Republik Indonesia (KRI) yang biasa mereka naiki.

Batu karang yang dinamai Tanjung Karang KRI oleh para Satgas, setiap Sunset terdapat fenomena berkumpulnya Bebek Laut di tempat ini. Foto oleh Dea Sihotang

Tujuan kami bukan tanjung karang KRI tersebut, namun bukit karang yang terletak di depannya. Karena dari tempat itu, kami akan bisa melihat ribuan bebek laut yang melayang rendah di atas tanjung karang KRI saat matahari terbenam. Kami penasaran seperti apa pemandangan yang akan disajikan oleh alam untuk kami. Namun menuju view point cukup membutuhkan keberanian karena jalannya yang berbatu-batu karang tajam. Senja pun sudah mulai turun, sehingga pada awalnya saya cukup khawatir jika nanti kami terjebak dalam gelap di antara batu-batu karang tersebut, rasanya pasti akan sulit untuk berjalan kembali ke bangunan utama tempat kami tinggal malam itu. Sudah kepalang tanggung rasanya jika langsung berjalan pulang.

 

Tanda yang telah disediakan agar pengunjung tidak nyasar. Foto oleh Dea Sihotang

Raungan suara para bebek laut mengagetkan saya. Dengan kepak sayapnya yang kuat, ribuan dari mereka terbang mengelilingi tanjung karang tersebut. Pemandangan semakin terlihat fantastis karena latar belakang senja yang merah membara. Untunglah kami memutuskan untuk ke tempat ini, sehingga pemandangan luar biasa tersebut dapat kami saksikan sendiri.

Danau Merah

Tanda selamat datang di Danau Merah. Foto oleh Dea Sihotang

Keesokan paginya, kami ditemani Pak Kusman dan Juli dari satgas untuk mengunjungi Danau Merah, sebuah danau yang terletak di tengah hutan. Yang menarik dari danau merah ini adalah legendanya tentang air yang selalu memerah di danau tersebut. Konon, ketika Pulau Ndana masih terdapat kerajaan-kerajaan, sering terjadi perang dan biasanya mereka akan membersihkan parang mereka yang bersimbah darah di danau tersebut, sehingga air tersebut menjadi merah, sampai hari ini. Kebayang kan jika itu betul, berapa banyak darah yang sudah masuk ke air danau? Hiii…

Untuk menuju Danau Merah diperlukan trekking selama kurang lebih satu jam dengan jalur yang cukup sulit, lagi-lagi karena terik mentari dan juga jalanan yang tandus, rumput berduri, serta bebatuan karang. Namun sebelum melewati itu semua, kami disegarkan dengan pemandangan pantai selatan Pulau Ndana yang amat cantik. Di sini sebaiknya kamu gunakan sepatu trekking agar telapak kaki tidak terbaret-baret rumput kering berduri.

Jalur trekking menuju Danau Merah. Foto oleh Dea Sihotang

Danau Merah yang misterius dan penuh dengan legenda. Foto oleh Dea Sihotang

Keindahan Pantai Pulau Ndana

Salah satu pantai di Pulau Ndana. Foto oleh Dea Sihotang

Setelah kembali dari Danau Merah, kami lanjut menuju pantai di sebelah utara Pulau Ndana. Lagi-lagi kami harus melewati padang savanah yang tandus. Walau sudah bulan Desember, namun sehari-harinya Rote masih tercurah kuat dengan panas matahari. Apalagi Pulau Ndana yang hanya memiliki dua bangunan, yang lainnya hanya padang luas dan juga hutan.

Tidak ada ruginya berjalan kaki lagi di tengah siang bolong, karena pantai-pantai di Pulau Ndana luar biasa indah! Garis pantainya yang panjang dapat berlama-lama dieksplor. Namun, harus tabah jika berjalan di pantai karena pasirnya yang putih empuk, maka setiap kali kita berjalan, tapak kaki kita akan melesak masuk ke dalam pasir dan meninggalkan jejak yang cukup dalam. Hal ini lah yang membuat langkah kita terasa berat dan berjalan seperti tidak ada habis-habisnya.

Tepat di belakang saya, terlihat Pulau Heliana. Foto oleh Dea Sihotang

Mengunjungi Pulau Ndana rasanya tidak cukup dalam waktu sehari saja. Keramahan para satgas serta keindahan alam di Pulau Ndana membuat waktu berlalu dengan cepat. Kapal kayu yang menjemput kami untuk kembali ke Desa Oeseli telah tiba di pantai. Kami pun bergegas untuk pergi dan berharap suatu saat kami bisa kembali ke pulau kecil yang indah ini. Terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada bapak-bapak satgas yang telah menemani kami mengobrol dengan berbagai ragam topik ngalor ngidul dan terima kasih karena telah menerima kami dengan tangan terbuka.

Indahnya sunset di Pulau Ndana. Foto oleh Dea Sihotang

 

Cheers,

Dea Sihotang

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU