Sebagai negara yang multikultural, Indonesia memiliki kekayaan kuliner khas yang sangat beragam. Salah satu yang banyak diminati adalah olahan makanan fermentasi, seperti peuyeum, tape, dadih, dan lainnya. Sama seperti olahan fermentasi di Eropa, makanan fermetasi khas Indonesia juga sebagian besar mengandung alkohol. Pertanyaannya, jika sama-sama mengandung alkohol, kenapa tetap dihalalkan sedangkan bir haram?
Makanan khas Jawa Barat peuyeum mengandung alkohol, begitu pula tape yang berasal dari Jawa Tengah. Kedua makanan ini dibuat dari bahan dasar singkong yang difermentasikan oleh jamur Saccharomyces cerevisiae. Kadar alkohol yang terkandung di dalamnya pun cukup tinggi, yaitu berkisar antara 7-10 persen. Kadar alkohol pada peuyeum dan tape ini jelas jauh lebih tinggi dibandingkan bir yang diharamkan, hanya 0-3 persen.
Kadar alkohol dalam peuyeum atau tape bervariasi, dan akan mengalami peningkatan di hari-hari berikutnya. Fermetasi hari pertama, kadar alkohol hanya 1,76 persen. Hari berikutnya meningkat menjadi 3,3 persen. Analisis Yulianti (2014) menunjukkan bahwa kadar alkohol pada fermentasi hari ke-6 mencapai 6,90 persen. Kadarnya jauh lebih tinggi jika menggunakan bahan dasar lain, tape ketan 8,94 persen dan tape beras 11 persen.
Meskipun kadar alkohol di dalam peuyeum atau tape lebih tinggi dari bir, para ulama muslim tidak memvonis keduanya menjadi makanan haram. Mengapa bisa demikian? Ternyata hukum halal-haram pada alkohol tidak berkaitan dengan jumlah kadarnya, melainkan sifat dan efek khamr alias memabukkan yang ditimbulkannya.
Tidak ada ayat Al-Qur’an atau dalil dalam Hadits Shahih yang menyatakan bahwa alkohol itu haram. Semuanya menjelaskan bahwa yang diharamkan itu khamr karena mampu menutup akal pikiran dengan kata lain membuat mabuk saat dikonsumsi. Istilah ‘Alkohol’ belum dikenal pada zaman Nabi, itulah alasan banyak produk yang mengandung alkohol sangat akrab di kehidupan modern, misalnya cairan pembersih tangan.
Durian, sirsak, nangka, dan cempedak adalah buah-buahan dengan kadar alkohol tinggi, mencapai lebih dari 3 persen. Bahkan buah yang masak dan jatuh dari pohon biasanya akan mengandung kadar etanol atau ethyl alcohol yang berkisar di angka 4,5 persen. Jika memang alkohol haram, tidak mungkin buah-buahan tersebut menjadi konsumsi yang nikmat bagi sebagian besar umat muslim di seluruh dunia.
Para ulama di nusantara menganjurkan jika mengkonsumsi peuyeum atau tape sebaiknya membuang semua cairan di sekitarnya. Untuk cairan yang masih menempel di padatan termasuk rukshah atau keringanan dari Allah SWT dan halal dimakan. Analoginya sama dengan hukum darah yang menempel pada daging atau organ dalam binatang halal yang disembelih dengan cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam.
Alkohol belum tentu haram, namun yang memiliki efek khamr meskipun tidak memiliki kandungan alkohol akan tetap haram. Dalam dunia Islam, terdapat dua jenis khamr, yaitu yang mengandung alkohol seperti bir-bir komersial di pasaran; dan yang tidak mengandung alkohol seperti obat-obat psikotropika berbahaya. Meskipun tidak mengandung alkohol, namun tetap diharamkan karena menimbulkan efek mabuk.
Saat ini banyak beredar produk minuman alkohol nol persen di pasaran. MUI Pusat memberikan hukum haram terhadap produk tersebut karena memenuhi salah satu kaidah fiqih dalam penetapan hukum haram, (1) al hukmu yadluru ma’al illati, kesaksian bahwa konsumsi bir nol persen tetap merasakan mabuk; (2) al washilatu illa haramun haram, pengimitasian pada produk haram menjadikan produk tersebut turut haram.