Banyak orang di luar sana -mungkin termasuk saya sendiri- seringkali lupa bagaimana cara menghargai dan memberi apresiasi pada orang lain
‘Saya bisa duduk di sini berjam-jam sampai lupa waktu ketika membahas hal positif. Namun untuk sesuatu yang negatif, waktu menjadi sangat singkat dan membuat bosan!’ ucap lelaki paruh baya sembari membetulkan posisi kacamata yang menjadi ciri khasnya. Muhammad Isa Ismail, General Manager di MesaStila Resort & Spa. MesaStila, tempat ini (lagi-lagi) jadi pilihan saya dan 2 orang teman lain untuk kabur sejenak dari rutinitas.
Saat itu, Pak Isa menemani saya dan 2 orang teman -Desti dan Jefri- sarapan sembari berbincang santai. Mengobrol dengan Pak Isa selalu menyenangkan. Ia selalu dapat memilih kata yang tepat dan ‘ringan’ untuk menjelaskan sesuatu.
‘Orang sering terbalik menyebut cinta sebagai kata pertama yang ditunjukkan kepada orang. Padahal sebelum cinta, ada beberapa tahapan sebelumnya. Apa hal pertama itu?’ dengan mimik jenaka Pak Isa melempar pertanyaan pada kami bertiga.
Saya dan Desti berpandangan sembari mengangkat bahu.
‘Suka?’ jawab Jefri singkat sambil menelan sarapannya dengan tenang.
‘Ya, benar. Hal pertama adalah suka. Dan yang tak kalah penting adalah menghargai. Suka dan menghargai, dari keduanya barulah akan timbul rasa cinta.’ Pak Isa menjawab lugas.
‘Banyak orang berkata suka, cinta, namun tidak banyak yang bisa konsisten memberikan penghargaan pada sesama. Bentuk penghargaan itu, dapat menumbuhkan dan mempertahankan keharmonisan.’ Pak Isa melanjutkan sembari membetulkan posisi kacamatanya, lagi.
“Menghargai”, mudah diucapkan, namun banyak orang terkadang “lupa” melakukannya. “Menghargai” menjadi kata yang saya garis bawahi. Saya tercenung mendengar kata-kata Pak Isa. Kalimat yang diucapkan dengan begitu ringan namun cukup menohok hati.
Dari sini, meja restoran MesaStila Resort & Spa yang menghadap langsung ke kolam renang dengan latar 3 gunung sekaligus, Telomoyo, Merbabu, dan Andong, obrolan mengalir begitu saja. Waktu begitu cepat berlalu. Matahari mulai merangkak semakin tinggi dan menyilaukan mata. Pukul 9 pagi saat hidangan di meja makan habis, kami mengakhiri obrolan. Pak Isa pamit karena ada yang harus dikerjakan.
***
‘Selamat pagi,’ sapa seorang wanita paruh baya dan laki-laki muda sambil tersenyum. Saya yang sedang asyik mengutak-atik kamera pinjaman dari Jefri, terkejut.
‘Pagi,’ saya tersenyum dan balas menyapa. Mereka berdua berlalu sambil menenteng bak besar berisi fasilitas kamar.
Tidak hanya mereka, tukang kebun, pramusaji restoran, dan bahkan semua pegawai saya amati melakukan hal yang sama kepada para pengunjung. Sapaan hangat dan senyum ramah yang mulai jarang saya temui di perkotaan. Terdengar sepele? Justru hal-hal kecil yang mungkin sering terabaikan banyak orang inilah yang lebih berkesan di hati. Mungkin orang akan berkata, ‘memang seperti itu standar pelayanan hotel dimanapun.’ Tapi tahukah, kita memiliki kemampuan untuk merasakan senyum palsu dan senyum tulus? Senyum palsu yang muncul karena faktor “standar layanan hotel” itu seperti wajah yang dibasuh menggunakan sabun muka abal-abal, kaku. Tak membuat hati tenang.
Begitupun saat sesi coffee plantation tour –salah satu sesi favorit saya di Mesastila, jalan-jalan keliling resort sambil dipandu seorang petugas. Kamu tahu, ini mengingatkan saya pada masa kecil di desa, berjalan di tengah rerimbunan pepohonan yang sejuk dan segar.
Dalam tur tersebut, selain saya, Desti dan Jefri, ada empat wisatawan asing yang turut serta. Berjalan-jalan di tengah nuansa alam seperti ini bagi saya yang lahir dan besar di desa mungkin sudah biasa, namun belum tentu dengan orang lain. Seperti ke-4 wisatawan asing tersebut. Mereka terlihat begitu bersemangat, keingintahuannya tinggi. Kekaguman mereka tergambar jelas melalui mimik muka, beberapa kali ucapan wow, atau thank you saat petugas pemandu coffee plantation tour menjelaskan tanaman-tanaman yang belum pernah mereka lihat seperti tanaman sente, durian, atau kecombrang.
Saya pikir mereka, para wisatawan asing itu betul-betul tahu cara mengapresiasi usaha orang, dalam hal ini yang saya bicarakan adalah petugas pemandu coffee plantation tour. Oke memang tugasnya memberi penjelasan bagi para tamu. Namun sekadar ucapan terima kasih akan membuat harinya lebih baik, setidaknya ia akan merasa usahanya diapresiasi para tamu.
Tak hanya itu yang mengena di ingatan saya saat coffee plantation tour. Berjalan di tengah kebun dengan jalanan setapak, membuat kami harus berjalan berbanjar. Karena hal itu saya hampir bertabrakan dengan seorang wisatawan asing . ‘Oh, sorry!‘ ia berseru dengan mimik cemas karena telah menabrak saya, lalu tangannya memberi isyarat agar saya berjalan terlebih dulu. Saya tersenyum dan berkata agar ia tak perlu mengkhawatirkan hal itu.
Cukup miris teringat perlakuan baik ini saya dapatkan justru dari seorang dengan latar dan kebangsaan berbeda. Saya teringat kejadian beberapa bulan lalu ketika saya berada di toilet sebuah mal. Saat hendak membuka pintu, seseorang wanita dari luar berjalan dengan terburu-buru dan menabrak saya. Tanpa sepatah kata, ia berlalu dengan pandangan sinis.
***
Pagi itu, Pak Isa berdiri tegap mengantar kepulangan kami. Lagi-lagi, sebuah tindakan “kecil” yang mengena di hati. Mengantar kepulangan tamu, berkata sampai jumpa dan hati-hati di jalan. Terdengar sangat simpel, namun sukses membuat saya tersenyum lebar.
Berbagai fasilitas berkelas dapat dengan mudah saya dapatkan di banyak hotel atau resort lain. Namun tak banyak yang bisa memberi kenangan mengena di hati, seperti tempat ini. Tempat hanya sekadar tempat, yang membuat sebuah tempat berkesan adalah cerita mengenai orang-orang didalamnya. Tak salah bukan jika saya sering berkata “Perjalanan adalah pembelajaran”. Di sini saya mendapat pembelajaran tentang hidup yang memaksa saya untuk kembali berkaca, sudahkah saya memberi apresiasi yang layak pada orang-orang di sekitar saya?