Bila Anda bermalam di hotel, guling menjadi perlengkapan tidur yang jarang dijumpai. Anda yang terbiasa tidur dengan guling harus puas memeluk bolster atau bantal yang berukuran lebih panjang. Lantas, mengapa tidak ada guling di kamar hotel?
Sebelum membahas mengapa jarang dijumpai guling di hotel. Mari kita ulik asal muasal guling.
Guling yang biasa ditemui di Indonesia merupakan hasil dari perpaduan budaya Belanda, Indonesia, dan China yang lahir pada abad 18-19.
Kala itu, orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia tak membawa serta istri atau pun pasangannya. Sebagai pemenuh hasrat sexualnya, mereka membayar gundik. Namun, konon, orang-orang Belanda ini terkenal sebagai sosok yang pelit. Sehingga, alih-alih menggundik, mereka memilih membuat guling yang setia menemani sepanjang malam. Dan, tentunya tanpa upah atau bayaran sepeser pun.
Munculnya ide penggunaan guling sebagai teman tidur orang Belanda ini pun dipengaruhi budaya Asia Timur seperti China dan Jepang yang masuk ke wilayah Nusantara. Di China, guling disebut dengan nama ‘zhufuren’. Di Korea, guling dikenal dengan nama ‘jukbuin’. Lalu, di Jepang, guling bernama ‘chikufujin’. Semuanya mengacu pada guling dengan bentuk memanjang hanya saja terbuat dari bambu.
Orang-orang Belanda tak menyebutnya dengan guling, tapi diberinama “Dutch Wife”. Menariknya, istilah tersebut dicetuskan oleh Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Raffles. Sebutan “Dutch Wife” ini pun lebih pada sebuah ejekan dari Inggris yang tak suka pada Belanda. Apalagi kata “Dutch” sering diidentikkan dengan sesuatu yang bernada ejekan dan merendahkan.
Dalam kamus Oxford English Dictionary yang disusun dari tahun 1879 hingga 1927, istilah “Dutch Wife” punya definisi sendiri, yaitu sebuah kerangka berlubang-lubang dari rotan yang digunakan di Hindia Belanda dan lain-lain untuk sandaran anggota badan di tempat tidur.
Sejak saat itu, guling pun akhirnya menjadi gaya hidup golongan-golongan atas–orang Belanda, saudagar kaya. Lalu, kaum-kaum priyayi pribumi hanya ikut-ikutan dengan gaya hidup Belanda. Seperti yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam novel berjudul ‘Jejak Langkah’.
“Mereka hanya meniru-niru orang Belanda. Yang datang dari Belanda serta-merta ditiru orang, terutama para priyayi berkepala kapuk itu. Inggris mengetawakan kebiasaan berguling.”
Hal ini disebabkan karena mayoritas hotel di Indonesia menganut kiblat negara barat yang tak mengenal istilah guling. Meski demikian, ada juga hotel yang menyediakan guling sebagai fasilitas. Salah satunya Hotel Sahid Jayapura.
Dikutip dari Tribun, Public Relation Innside Hotel by Melia, Maria Periwita Sari, mengungkapkan bila tidak ada guling di kamar hotel merupakan kebijakan masing-masing hotel. Namun, rata-rata hotel memang hanya sediakan bantal saja.