Bulan Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang telah digunakan sejak Sultan Agung Hanyokrokusumo memperkenalkannya pada masa Kerajaan Mataram Islam. Penanggalan ini merupakan gabungan dari penanggalan Hijriah, penanggalan yang biasa digunakan oleh umat Muslim, dan penanggalan Saka, penanggalan umat Hindu.
Sejak diperkenalkan pertama kali, malam 1 Suro selalu diperingati oleh masyarakat Jawa guna menyucikan diri dan membuat mawas diri untuk satu tahun ke depan. Walaupun perayaan malam 1 suro identik dengan momen tahun baru Islam yang jatuh pada haru yang sama, masyarakat Katolik Jawa di Semarang juga memeringati hari ini dengan mengadakan Misa Tirakatan Malam 1 Suro 1952, Selasa (10/09) lalu.
Pada dasarnya, tirakatan atau perenungan diri sambil berdoa, merupakan kegiatan yang biasa dilakukan rakyat Jawa pada saat Malam 1 Suro guna memberi syukur kepada Tuhan dan melakukan introspeksi diri demi menjalani satu tahun ke depan. Maka, Misa Tirakatan ini juga merupakan wadah bagi orang Katolik Jawa untuk merenung kepada Tuhan secara bersama-sama.
“Orang-orang Jawa yang Katolik ingin saya Katolik-an lagi. Kenapa? Mereka kan tidak ada wadahnya (untuk merayakan Malam 1 Suro), kan enggak ngerti mau ke mana. Sembahyang di rumah sendirian. Saya sering melihat waktu saya kuliah, di Tugu Suharto itu, banyak orang kungkum (tradisi menyucikan diri dengan berendam di sungai) di sana dan di sana banyak orang Katolik. Kungkum atau membersihkan diri harusnya dengan mengikuti misa (bagi umat Katolik).” Ujar Pak Eddy Sambado, penanggung jawab acara sekaligus pencetus acara Misa Tirakatan 1 Suro ini.
Telah diadakan selama 13 tahun terakhir, kegiatan ini diselenggarakan di Gua Maria Kerep Ambarawa, Semarang. Tak hanya dihadiri oleh masyarakat Semarang maupun Jawa Tengah, ibadah ini juga selalu dihadiri oleh umat Katolik dari berbagai daerah di Indonesia karena unsur Jawa yang kental dalam Misa ini. Bahkan pengunjung yang datang pun selalu meningkat setiap tahunnya.
Perayaan Misa Tirakatan ini memang kental dengan budaya Jawa yang identik dalam perayaan malam 1 Suro. Imam yang memimpin jalannya Misa hingga para petugas Misa hampir seluruhnya mengenakan pakaian adat Jawa, seperti kebaya dan Jawi Jangkep. Bahkan karawitan dan lagu-lagu rohani berbahasa Jawa mengiringi prosesi ibadah. Tak hanya itu, tarian Cucuk Lampah juga mengiringi persembahan yang akan dibawa ke altar. Cucuk Lampah sendiri adalah tarian pembuka jalan yang dilakukan oleh seorang penari pria.
Sebelum pulang, pengunjung yang datang juga diberikan semangkuk bubur suro, bubur yang berisi 7 (tujuh) jenis kacang dan biasa disediakan pada Malam 1 Suro. Bubur ini pun selalu menjadi primadona dalam acara ini karena selalu persediaannya selalu habis dari tahun ke tahun walaupun porsinya selalu ditambah.
Selain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, peringatan Misa Tirakatan Malam 1 Suro juga sebagai cara agar umat Katolik, khususnya keturunan Jawa, untuk tetap mempertahankan budayanya yang kaya makna dan kebaikan. “Sebagai orang Katolik, kita harus benar-benar Katolik seratus persen. Seperti yang dikatakan Monsinyur Soegijapranoto (Red. Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia), seratus persen orang Katolik, seratus persen orang Indonesia, seratus persen orang Jawa.” tutup Pak Eddy.