Masjid Istiqlal Jakarta, Simbol Kebhinekaan di Indonesia

Tak hanya sekadar simbol kebhinekaan, Masjid Istiqlal Jakarta pun menjadi saksi terjalinnya hubungan yang harmonis antar umat beragama di Indonesia.

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Masjid Istiqlal Jakarta, tempat ibadah umat muslim yang terletak di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat ini bukan hanya tempat peribadatan biasa seperti pada umumnya. Dengan segala keistimewaan, keunikan dan kemegahannya, Masjid Istiqlal menjadi salah satu obyek wisata religi yang selalu ramai dikunjungi.

Gereja Katedral dengan latar rancangan kubah Masjid Istiqlal Jakarta. Sumber foto

Banyak wisatawan yang menyempatkan datang ke masjid ini untuk beribadah sambil beristirahat. Tak sedikit juga yang melakukan sesi foto selfie.

Masjid Istiqlal Jakarta berdiri di atas lahan seluas 9,5 hektar, diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang. Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan “tauhid” dibangun di barat daya.

Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 umat. Hingga saat ini, Masjid Istiqlal menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara.
Sebagai tempat wisata religi, Masjid Istiqlal tidak hanya memberikan keindahan dan kemegahan arsitektur yang memesona, tapi juga menyimpan cerita sejarah yang menggetarkan hati.

Baca juga: foto illegal masjid di Iran  yang masha Allah cantiknya

Masjid Istiqlal Jakarta ini seharusnya bukan hanya jadi kebanggaan rakyat Jakarta, tapi rakyat Indonesia seluruhnya. Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945, saat itu jugalah cita-cita membangun masjid nasional nan megah sudah mengendap di hati. Namun, pembangunan masjid berskala nasional barulah terealisasikan pada 22 Februari 1978 di Jakarta Pusat.

Ide pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta ini pertama kali dicetuskan oleh Menteri Agama kala itu, KH. Abdul Wahid Hasyim (bapak dari Gus Dur) beberapa bulan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Belanda tepatnya pada tahun 1950.

Gagasan yang disampaikan KH. Abdul Wahid Hasyim ini mendapat dukungan banyak ulama Indonesia seperti H. Agus Salim, H. Anwar Tjokroaminoto (putra HOS Tjokroaminoto), dan Ir. Sofwan. Karena memperoleh respons yang positif, akhirnya ide pembangunan masjid berskala nasional ini pun ditindaklanjuti dengan mengadakan rapat akbar di Gedung Deca Park, Jakarta. Di bawah pimpinan KH. Taufiqurrahman, sebanyak 300 ulama membahas ide pembangunan masjid ini.

Kemudian, pada tahun 1953, rencana pembangunan masjid ini pun sampai juga di telinga Presiden Soekarno. Mendengar kabar ini, Presiden pertama Republik Indonesia menyambutnya dengan suka cita.

Awalnya, rencana pembangunan Masjid Istiqlal tak berjalan begitu mulus. Presiden Soekarno dan wakilnya Moh. Hatta bahkan sempat berdebat sengit saat menentukan lokasi pembangunan masjid. Keduanya memiliki ide yang berbeda terkait pemilihan lokasi.

Moh. Hatta mengusulkan untuk membangun masjid di sekitar Bundaran HI, sedangkan di sisi lain Presiden Soekarno menginginkan pembangunan masjid di depan Gereja Katedral.

Salah satu alasan yang mendasari Moh. Hatta mendirikan masjid di kawasan Bundaran HI karena di sana terdapat perkampungan muslim dan akan dibangun tanah lapang. Jadi, warga muslim yang tinggal di sekitaran Bundaran HI bisa memakmurkan masjid. Selain itu, pembangunan di atas tanah lapang jauh lebih murah jika dibandingkan memilih lokasi yang masih terdapat bangunan di atasnya.

Namun, di sisi yang berbeda, Presiden Soekarno masih bersikeras untuk membangun Masjid Istiqlal Jakarta di atas Taman Wihelmina yang berada persis di depan Gereja Katedral yang sudah dibangun terlebih dahulu pada tahun 1901. Alasannya, dengan membangun masjid di seberang gereja akan mampu mengobarkan semangat persaudaraan, persatuan, toleransi antar umat beragama sesuai dengan cita-cita Pancasila.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya diputuskan untuk membangun masjid berseberangan dengan Gereja Katedral. Dari awal direncanakan, Masjid Istiqlal Jakarta memang dimaksudkan sebagai simbol pemersatu bangsa dari keberagamanan agama dan kepercayaan. Lokasi masjid sengaja dipilih berseberangan dengan gereja Katredal dan dari sisi arsitektur sendiri, Presiden Soekarno memilih karya dari tangan arsitek non-muslim.

Friedrich Silaban dan Ir. Soekarno. Sumber foto

Desain arsitektur masjid termegah di Asia Tenggara ini dirancang oleh seorang anak pendeta bernama Friedrich Silaban. Sebelum terpilih sebagai arsitek Masjid Istiqlal, Friedrich Silaban harus mengikuti sayembara untuk membuat desain Masjid Isiqlal Jakarta yang diadakan Presiden Soekarno.

Friedrich Silaban bukan satu-satunya arsitek, dia harus bersaing dengan 30 arsitek lainnya sebelum akhirnya dipilih sebagai pemenangnya. Presiden Soekarno sebagai ketua Dewan Juri perancangan arsitektur Masjid Istiqlal memilih karya Friedrich berjudul “Ketuhanan”.

Pembangunan Masjid Istiqlal sempat terhenti akibat terjadi pergolakan politik dalam masa orde lama. Kemudian, barulah pada 22 Februari 1978, Masjid Istiqlal Jakarta diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Tak hanya sekadar simbol kebhinekaan, Masjid Istiqlal pun menjadi saksi terjalinnya hubungan yang harmonis antar umat beragama di Indonesia. Kisah tersebut pernah diterbitkan di Harian Kompas, pada 26 Desember 1999.

Baca juga: Foto liburan Habib Rizieq dan keluarga di Turki

Hari itu, Jumat malam, 24 Desember 1999, jalan di antara Masjid Istiqlal Jakarta dan Gereja Katedral, dipadati ribuan warga. Orang-orang berpakaian putih, berpeci dan menenteng Al Quran berjalan memasuki masjid. Saat itu ada peringatan Nuzulul Quran.

Pada waktu yang hampir bersamaan, pelataran parkir Gereja Katedral tak bisa menampung kendaraan seluruh umatnya sehingga area parkir Istiqlal pun digunakan. Orang-orang berpakaian rapi terlihat menenteng Injil berjalan dari kawasan masjid menyeberang jalan masuk ke gereja. Malam itu juga digelar perayaan malam Natal.

Anak muda jemaat Masjid Jami Malang dan Gereja GPIB tengah persiapkan hiasan untuk rayakan natal. Sumber foto

Sesungguhnya, momen seperti itu masih sering dijumpai di Istiqlal dan di daerah-daerah lainnya. Di Malang misalnya. Melansir dari BBC dalam artikel berjudul “Umat Islam dan Kristen tunjukkan toleransi di Hari Raya” menyebutkan bahwa umat GPIB Immanuel Malang dan Masjid Jami Malang yang terletak berdampingan sama-sama bergotong royong siapkan hari raya keagamaan.

Ada kedamaian antara kedua pemeluk agama saat mereka saling berinteraksi dan saling membantu satu sama lain. Momen tersebut juga menunjukkan adanya harmonisasi kehidupan. Semua berjalan berdampingan, saling menghargai dan menghormati.

Selamat Hari Istiqlal 22 Februari 2018. Kalau saling menyayangi bisa membahagiakan hati kenapa harus menyimpan benci.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU