Tren wisata alam belakangan menjadi sangat populer dikalangan generasi milenial di Indonesia. Bukan taman bermain seperti Dunia Fantasi atau Disneyland, kini wisatawan justru lebih menyukai kegiatan di sejumlah destinasi wisata alam yang masih asri dengan panorama indah. Tidak mengherankan, menikmati keindahan alam memang dapat memberikan sensasi yang menenangkan pada pikiran-pikiran yang kalut dan tertekan akibat padatnya rutinitas harian.
Seiring dengan perkembangan tren wisata ini, banyak pengelola wisata yang kemudian menghias destinasi wisata alam dengan berbagai tempat foto yang digembar-gemborkan sebagai spot instagramable. Namun, apakah benar demikian? Beberapa orang menganggap spot instagramable semacam ini semakin mempercantik destinasi wisata alam, tidak sedikit juga menganggap hal ini norak dan malah justru merusak dan menciderai prinsip wisata alam itu sendiri.
Menurut mereka yang kontra, spot Instagramable biasanya dibuat dari bahan-bahan material seadanya yang kemudian dibentuk dan dicat dengan warna-warna mencolok mata. Bukannya indah, tempat yang disebut sebagai spot instagramable tersebut malah terlihat kontras dan mengotori pemandangan wisata alam yang sudah terlihat indah.
Proses pembuatannya yang serampangan juga membuat alam disekitarnya menjadi rusak. Bagaimana tidak, paku-paku besi direkatkan begitu saja di batang pohon tinggi yang berusia sangat tua tanpa memperhatikan efeknya pada kesehatan tumbuhan. Penting untuk dipahami, menancapkan besi seperti paku dapat membuat batang pohon mengalami pengeroposan. Sehingga ketika angin bertiup kencang, batang pohon dapat tiba-tiba roboh dan menimpa wisatawan atau bangunan di sekitarnya.
Bahan material seadanya yang tidak diimbangi perawatan rutin membuat spot instagramable tersebut mudah sekali rusak dan termakan usia. Setelah rusak, biasanya hanya akan dibiarkan saja hingga rapuh dan membusuk. Hal ini tentu saja akan membuat destinasi wisata alam menjadi kotor. Wisata alam seharusnya menjadi selayaknya wisata alam yang asri, indah, dan menenangkan tanpa ada hal-hal aneh buatan manusia.
Berikut ini adalah beberapa pendapat orang yang kontra terhadap adanya spot instagramable di destinasi wisatawa alam yang dihimpun dari media sosial twitter.
Maraknya tren wisata alam instagramable semacam ini membuat banyak orang berusaha mengambil keuntungan di tengah peluang ini. Di Malang dan Batu, untuk membangun wisata semacam ini sampai harus menebang pohon-pohon asri. Semua ini bermula dari adanya sosial media Instagram dan Facebook. Berwisata tidak lagi berfokus pada interaksi antara manusia dengan alam atau antara sesama manusia, melainkan hanya tentang aku, aku, dan aku. Sungguh sangat egois!
Bulan Maret 2019 lalu, Travel dan Leisure menerbitkan sebuah artikel yang diberi judul “How Your Instagram Geotag Might be Putting Wild Animals and Natural at Risk Around The World“. Artikel tersebut menyoroti tentang tagging lokasi di media sosial menjadi pemicu rusaknya alam. Tempat yang seharusnya asri dan dihuni berbagai satwa liar bisa tiba-tiba rusak setelah diserbu wisatawan yang menginginkan foto yang serupa gara-gara melihat lokasi tagging dalam suatu nggahan viral di media sosial. Tak heran jika banyak tempat wisata yang rusak setelah viral.
Tidak bisa dipungkiri, memang destinasi wisata dengan spot instagramable memang dapat menggerakkan perekonomian masyarakat lokal. Namun kita juga tidak dapat menutup mata terhadap banyaknya pemandangan alam yang sebenarnya sudah indah, malah rusak agar tercipta spot foto yang digadang-gadang instagramable. Mulai dari latar belakang huruf yang menunjukkan nama tempat, bangunan yang dicat warna-warni, tiruan sarang burung, hingga sayap-sayang raksasa yang norak.
Melihat kondisi saat ini, pemerintah pusat dan daerah sudah saatnya turut mengatur pengelolaan tempat wisata alam yang katanya instagramable tersebut. Jika tidak, masyarakat akan terus berlomba dalam membuat spot instagramable yang sebenarnya tidak instagramable dan malahan merusak alam. Lebih jauh, kawasan yang selama ini menjadi daerah resapan air dapat hilang, tergerus demi membangun tempat-tempat semacam ini.
Pemerintah harus tegas seperti yang dilakukan pada Taman Nasional Komodo yang ditutup untuk memulihkan ekosistem yang rusak karena terlalu banyak dikunjungi wisatawan. Negara lain seperti Peru juga telah belajar dari permasalah ini dengan membatasi kunjungan wisatawan ke situs Machu Picchu maksimal hanya empat jam agar tetap terjaga.