Paralayang sebagai salah satu cabang olahraga ekstrim mulai masuk di Indonesia tahun 1990. Saat itu, paralayang lebih populer dengan sebutan terjun gunung. Meski sempat mengalami masa kelam pada tahun 1993, karena meninggalnya seorang pegiat paralayang bernama Dudy Arief Wahyudi, Indonesia ternyata mampu bangkit dan menunjukkan prestasinya di kancah internasional.
Beberapa kali mengikuti pertandingan tingkat internasional, Indonesia setidaknya pernah mengantongi juara dunia empat kali, berurutan tahun 2010 (Ifa Kurniawati), 2011 (Sirin Milawati), 2012 dan 2013 (Lis Andriana). Di antara ketiga atlet paralayang tersebut, ada Lis Andriana yang memiliki kisah perjalanan inspiratif selama melakoni peran sebagai atlet.
Kamu mungkin nggak menyangka bahwa atlet wanita Indonesia yang satu ini memiliki phobia ketinggian. Awalnya, Lis menolak paksaan ayahnya yang meminta dia menjadi atlet paralayang. Alasannya, karena dia memang takut dengan ketinggian.
Namun, takdir sepertinya berkata lain. Pada tahun 2006, pemerintah Kutai Barat sangat kesulitan mendapatkan atlet untuk cabang olahraga ekstrim paralayang. Saat itulah jiwa nasionalis Lis Andriana terpanggil dan akhirnya mau belajar paralayang.
Dengan tekad yang kuat, Lis melawan phobia ketinggian. Dia memberanikan diri mengikuti latihan perdana di Malang. Hingga pada akhirnya, dia menemukan bahwa paralayang adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bahkan sangat aman. Saat berhasil memenangkan perlombaan paralayang di PON tahun 2006, dia bertekad bahwa hidupnya akan selalu dipenuhi dengan paralayang.
Meski diawali dengan paksaan dan juga phobia ketinggian, Lis membuktikan bahwa dirinya mampu berprestasi, bukan hanya di tingkat nasional, namun juga internasional. Beberapa prestasi yang pernah dikantongi Lis Andriana antara lain:
Paralayang sepertinya memang memberikan banyak cerita untuk Lis Andriana. Saat perlombaan di Turki, ia pernah tersangkut di sebuah tiang listrik. Beruntung sistem listrik di sana otomatis akan padam apabila ada kerusakan. Hal ini mengakibatkan terjadi pemadaman total se-kota.
Bukan hanya itu saja, saat berlatih ia juga sempat tersangkut di pohon dan butuh waktu berjam-jam untuk menurunkannya.
Salah satu hal berat yang harus ditanggung Lis selama menjadi atlet nasional paralayang adalah meninggalkan anak dan juga keluarganya hingga berbulan-bulan. Terkadang dia harus rela melewatkan hal-hal istimewa dalam tumbuh kembang anaknya.
Meskipun demikian, Lis Andriana tetap teguh pada pendiriannya, bahwa ia ingin membesarkan nama Indonesia lewat ajang perlombaan paralayang. Dia bahkan punya mimpi suatu saat ingin mengembangkan paralayang di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
***
Sosok Lis Andriana tentu memberikanmu semangat baru, bahwa keterbatasan dan kekurangan bukan menjadi halangan untuk berprestasi. Kalau Kamu memang menyukai paralayang atau olahraga ekstrim lainnya, Kamu hanya perlu terus berlatih dengan keras. Seperti yang pernah disampaikan Lis, bahwa untuk menjadi seorang juara dunia perlu kerja keras yang lebih dari orang lain dan juga harus berlatih tak kenal lelah.
Semangat ini wajib kita tiru sebagai generasi muda. Semangat berkarya untuk nama Indonesia menjadi PR untuk kita semua, para generasi muda yang saat ini menjadi pilar utama. Tak masalah berprestasi lewat pendakian, diving, paragliding, biking, trail running, atau pun lainnya. Yang terpenting bisa memberikan sumbangsih terbaik untuk negeri tercinta ini.