Gelombang tinggi diprediksi akan terjadi di perairan Indonesia selama 23 hingga 28 Juli 2018 oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika).
Pihak BMKG menyebutkan bahwa puncak gelombang tinggi akan terjadi pada 24-25 Juli 2018.
“Puncak gelombang tinggi 24 hingga 25 Juli itu puncaknya, yang mencapai 6 meter lebih di daerah-daerah tadi, pantai yang ada di Selatan Indonesia,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati pada Minggu (22/7/2018), dilansir Detik.
Fenomena gelombang tinggi ini rupanya disebabkan oleh beberapa hal yang mendasari.
Adanya tekanan udara dari arah Madagaskar yang mengarah ke arah timur namun berbelok ke arah Indonesia, jadi salah satu penyebabnya.
“Karena sebetulanya sangat dipengaruhi oleh fenomena global yang terjadi di sebelah timur, jadi semuanya di Samudera Hindia, sebelah timur Pulau Madagaskar di situ ada tekanan udara yang tinggi, sementara itu Australia, ke arah Australia, tekanan udara relatif rendah. Sehingga terjadi aliran udara yang gambarannya berupa dengan kecepatan tinggi dari arah barat di sebelah timur Madagaskar,” lanjut Dwikorita.
Tekanan udara itu berbelok ke arah Indonesia karena tertabrak oleh benua Australia. Akhirnya udara itu masuk ke perairan selatan Indonesia.
“Sebenarnya larinya mau sampai ke timur sampai pasifik, sebetulnya, tetapi karena tertabrak oleh benua Australia, kecepatan yang tinggi tadi, tertabrak oleh benua Australia sehingga membelok, menikung masuk ke arah sebelah selatan Indonesia,” tambahnya.
Fenomena ini juga disebabkan oleh adanya angin yang datang dari Australia.
“Juga ada fenomena lain arah angin dengan kecepatan tinggi dari arah Australia yang dingin ke arah Indonesia. Jadi ada dua serangan istilahnya, serangan dari Afrika membelok ke Indonesia, ada dari Australia langsung ke Indonesia. Sehingga semuanya berkumpul di sebelah selatan atau di pantai selatan laut Jawa hingga Nusa Tenggara bahkan tadi di sebelah barat Pulau Sumatera,” tutur Dwikorita.
Selain dua penyebab di atas, fenomena ini disebabkan pula oleh faktor lokal. Pantai di Indonesia mengalami fenomena yang disebut rip current (arus pecah) yang menimbulkan arus di bagian teluk berbalik ke arah laut.
“Selain itu juga di pantai-pantai biasanya ada teluk, biasanya itu ada bahaya Rip Current, pada teluk ini biasanya akan bertemu dua arus dari dua arah yang berbeda dari arah kanan dan arah kiri, jadi dua arus ini akan menimbulkan Rip Current sehungga arus tadi mentok menabrak teluk, menabrak daratan dengan efek dia balik ke laut sehingga kapal yang sudah akan merapat ke teluk kalau terkena Rip Current akan terseret ke laut,” ungkap Dwikorita mengakhiri.