Imlek di Solo selalu dinanti. Pada momen tersebut, Solo terlihat lebih meriah dari bulan-bulan lainnya. Sejak beberapa waktu lalu, Jumat (9/2), sebanyak 5.000 lampion telah dipasang menghiasi sudut kota Solo tepatnya di kompleks Pasar Gede, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo.
Melansir dari artikel Kompas.com berjudul ‘5.000 Lampion Kembali Warnai Kota Solo Selama Perayaan Imlek’ yang terbit pada Minggu, (11/2), Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Kota Solo, Kristina mengatakan perayaan Imlek tak hanya dimeriahkan dengan lampion-lampion berwarna merah, tapi juga akan ada gapura megah untuk sambut perayaan Imlek di Balai Kota dan Pasar Gede.
Tak hanya itu saja, Jalan Jenderal Sudirman Solo pun makin meriah dengan dipasangnya 12 shio, 12 neon nox sho, lima lampion shio anjing, lampion dewa rezeki, dan lampion werkudoro. Sebagai puncak acara yang jatuh pada 2 Maret 2018, Grebeg Sudiro, lomba perahu dayung, hingga Festival Jenang akan ramaikan kota Solo.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, tahun ini perayaan Imlek di Solo tak dimeriahkan dengan suara letupan kembang api dan percikan api di langit. Sebagai gantinya, nantinya akan ada pertunjukkan warna-warni lampu sorot dalam berbagai bentuk.
Jika menarik jauh ke belakang, sejarah perkembangan perayaan imlek di Solo tak bisa dijauhkan dari persebaran kaum Tiongkok yang datang ke Indonesia untuk tujuan berdagang pada abad ke-16.
Melansir dari Wikipedia dalam artikel berjudul ‘Tahun Baru Imlek’, kedatangan etnis Tionghoa di Solo berawal dari peristiwa kerusuhan yang terjadi di Batavia.
Kerusuhan besar-besaran di Batavia antara etnis Tionghoa dan VOC pada tahun 1740 mengakibatkan gelombang migrasi besar-besaran yang dilakukan etnis Tionghoa ke daerah lain di luar Batavia, salah satunya Surakarta.
Banyak etnis Tionghoa yang melarikan diri ke Surakarta khususnya Kartasura di mana saat itu menjadi pusat kerajaan. Sunan Paku Buwana II yang kala itu berkuasa menerima kedatangan etnis tionghoa dengan sangat baik ke dalam wilayahnya.
Berawal dari situlah keberadaan etnis Tionghoa di Solo berkembang pesat. Awal kedatangannya ke Solo, etnis Tionghoa tinggal di daerah Sudiraprajan. Meski berbeda keyakinan dan kepercayaan, etnis Tionghoa yang tinggal di Sudiroprajan hidup harmonis dengan warga asli Solo dan keturunan Arab yang tinggal di Pasar Kliwon tak jauh dari Pecinan Sudiraprajan.
Etnis Tionghoa pun mampu membaur dan berasimilasi dengan Suku Jawa. Dengan berasimilasi, mereka membentuk komunitas lebih besar. Di Solo, peranakan etnis Tionghoa yang kawin campur dengan Suku Jawa disebut ‘ampyang’. Mereka bermata sipit tetapi berkulit gelap.
Sempat mengalami diskriminasi pada rentang tahun 1958 – 1998, prosesi perayaan Imlek mulai dilakukan secara terbuka di Solo semenjak diresmikannya Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2003. Sejak saat itulah perayaan Imlek di Solo yang meriah dilakukan kaum keturunan Tionghoa.
Uniknya, perayaan Imlek di Solo, sudah tak murni lagi hanya ritual kepercayaan kaum Konghucu. Imlek di Solo sudah menjadi bagian dari selebrasi kultural yang tak jauh beda dengan perayaan Sekaten atau pun Tahun Baru Masehi.
Sekarang ini, Imlek di Solo sudah terasimilasi dengan kebudayaan Jawa. Sebagai buktinya, setiap kali perayaan Imlek, Solo selalu menyelenggarakan Grebeg Sudiro. Grebeg Sudiro merupakan kirab budaya yang dilakukan saat Imlek tiba. Warga setempat berbaur membuat gunungan yang terbuat dari kue keranjang. Mereka berjalan mengambil rute mengelilingi Kelurahaan Sudiroprajan, kampung pecinan di Solo.
Dengan terus terjaganya tradisi Grebeg Sudiro dalam perayaan Imlek ini menjadi bukti bahwa masyarakat Solo sangat menerima unsur-unsur budaya dan nilai-nilai pluralitas.