Tulisan ini terinspirasi dari obrolan santai dengan Ade Kurniawan, seorang yang dibesarkan di Bima, NTB dan kini tengah merantau di Semarang.
***
Salah satu alasan kenapa saya harus meninggalkan kota kelahiran saya, adalah ketika saya harus memperjuangkan pendidikan. Bima, NTB memang bukan kota yang berkembang pesat dengan segala macam teknologi canggih, bahkan di sana masih banyak lahan-lahan kosong ‘alas’ tak berpenghuni. Tapi hebatnya, orang-orang Bima memiliki pemikiran maju. Anak-anak Bima harus memiliki pendidikan tinggi, itulah yang selalu dicamkan orang-orang tua di sini.
Setelah 7 tahun meninggalkan Bima, rasa rindu yang teramat sangat pada kampung halaman terkadang muncul.
Makanan Semarang yang manis, membuat nafsu makan saya berkurang sewaktu pertama berada di sini. Karena di Bima, rasa gurih adalah ciri khas yang sering ada di segala jenis masakan. Salah satunya adalah Mangge mada. Masakan khas Bima ini terbuat dari jantung pisang yang digulai. Makanan ini selalu tersaji di meja makan sewaktu saya pulang sekolah dulu. Rasa gurih, asin, dan pedasnya membuat saya dapat tambah nasi berkali-kali.
Saat berbicara dengan orang asli Bima, kami selalu menggunakan bahasa daerah, dimanapun itu. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap penggunaan bahasa Indonesia akan dinilai bahwa orang itu sombong, tak mau menggunakan bahasa asli daerah.
Saat berbincang dengan orang yang telah akrab, bahasa kami mungkin terdengar sangat kasar, seperti memanggil orang dengan sebutan a**ing di tepi jalan. Bahasa dalam persahabatan kami mungkin terdengar jorok, tapi itulah sapaan yang membuat kami akrab. Sapaan yang terkesan kasar itu menandakan dekatnya hubungan kami.
Pernah mendengar istilah ombak kidal? Di Pantai Hu’u inilah, kamu bisa temukan ombak yang cocok untuk berselancar. Banyak dari peselancar di pantai sini adalah turis asing. Seperti dari Australia, Amerika Selatan, Amerika Serikat, dan negara lainnya. Mereka cukup ramah, sering mengajak kami mengobrol -meski terkadang nggak nyambung, bahkan beberapa kali mengajari kami selancar.
Ketika musim liburan tiba, saya dan teman-teman pasti akan berkunjung ke sini untuk berburu ombak kidal. Semarang tak punya pantai seindah ombak di Hu’u.
Inilah yang membuat saya benar-benar rindu Bima karena hanya di pantai sana kita bisa bebakaran dengan bebas bersama teman-teman. Di sana banyak penjual seafood yang berkeliling menjajakan hasil laut yang masih segar. Tentunya dengan harga murah. Biasanya saya membawa arang, panggangan, dan perlengkapan sendiri untuk memasak. Selanjutnya, kami pesta ikan hingga hari gelap.
Perjuangan memeras susu terasa lebih asyik bagi saya. Tentu saja saya tidak sendiri. Kami sering mendatangi tempat perahan susu kuda liar di Bima.
Memeras susu harus sangat hati-hati karena kuda liar begitu sensitif kepada orang asing. Biasanya si empu kuda mengelus-elusnya sehingga kuda itu diam. Saya tinggal menyaringnya ke dalam gelas dan meminumnya langsung tanpa mencampurkan apa pun. Satu ember kecil bisa untuk mengisi 4 gelas besar. Rasanya ringan, tidak ada bau amis seperti susu sapi.