Per 9 Juni 2018 nanti, turis Indonesia dilarang masuk Israel. Dilansir dari Middle East Monitor, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon mengatakan bahwa langkah yang diambil Israel merupakan tindakan balasan pada Indonesia.
“Israel berupaya untuk mengubah kebijakan Indonesia, tapi langkah yang kami lakukan sepertinya gagal. Hal itu mendorong kami melakukan tindakan balasan,” kata Emmanuel.
Selama ini, Indonesia dan Israel diketahui memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Namun untuk pariwisata, selama ini biro perjalanan kerap menggunakan visa khusus.
Dampak travel ban Israel ini sangat merugikan para pelaku bisnis pariwisata outbound di Indonesia. Melansir dari industri.bisnis.com dalam artikel berjudul ‘Gara-Gara Travel Ban Israel, Pengusaha Biro Travel Indonesia Rugi Besar’, pelarangan wisatawan Indonesia mengunjungi Israel akan menghilangkan potensi pemberangkatan wisatawan nusantara ke daerah wisata religi Israel hingga 5.000 orang pada Juni 2018.
Masih melansir dari sumber yang sama, Ketua Association of Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar menjelaskan, setiap tahunnya terdapat sekitar 40.000 wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Israel. Dengan adanya travel ban ini, maka jumlah kunjungan turis merosot sangat tajam.
Sedangkan dari sisi biro perjalanan, Asita mengaku akan kehilangan target tahunan. Sebelum pengumuman travel ban Israel beberapa hari lalu, Asita menargetkan total 50.000 wisatawan Indonesia bisa berwisata religi ke sana pada akhir tahun nanti. Namun, karena adanya kebijakan baru dari Israel, target tersebut tidak bisa dicapai.
Lebih parahnya lagi, dengan adanya travel ban tersebut berdekatan dengan momentum libur panjang. Momen tersebut harusnya menjadi ladang basah bagi para pemilik biro perjalanan untuk mendapatkan keuntungan melimpah karena saat libur panjang banyak wisatawan non muslim yang berwisata ke luar negeri dan Yerusalem menjadi salah satu negara favorit wisatawan non muslim Indonesia.
Tak hanya wisatawan non muslim saja, wisatawan muslim di sana terdapat Masjid Al-Aqsa yang menjadi kiblat pertama, sekaligus masjid suci ketiga terbesar setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
“Ini menjadi pukulan berat bagi kami. Kami harus menyelesaikan, bagaimana tiket pesawat tidak hangus, apakah customer mau terima hotel dijadwal ulang, sampai pengembalian uang. Apapun kebijakan suatu negara menjadi beban yang berat bagi kami, karena kami menjual service,” terang Asnawi.