Peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang di perairan Tanjung Karawang pada Senin (29/10/2018) pagi, mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan keselamatan dalam penerbangan, termasuk saat momen Critical Eleven.
Critical Eleven adalah suatu istilah dalam dunia penerbangan yang menggambarkan dua waktu kritis dalam pesawat terbang, tiga menit setelah lepas landas dan delapan menit menjelang mendarat.
Statistik Worldwice Commercial Jet Fleet menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat saat dan setelah lepas landas seperti yang menimpa Lion Air JT 610, tercatat sebagai waktu kecelakaan nomor dua paling sering terjadi di dunia penerbangan.
Masa-masa pesawat lepas landas hingga mencapai ketinggian jelajah maksimal merupakan periode krusial dalam penerbangan.
Dilansir Forbes, tantangan terbesar saat lepas landas adalah mengatur kecepatan untuk berakselerasi. Sering kali, butuh waktu lama menyesuaikan kecepatan yang ditentukan pilot untuk lepas landas dengan (kecepatan) untuk pesawat bisa mendaki di udara.
Setelah lepas landas atau jelang mendarat, pesawat banyak bermanuver menuju titik yang dituju. Gerakan tersebut juga riskan membuat pesawat mengalami insiden.
Pilot harus tanggap mengambil keputusan cepat saat menghadapi masalah, seperti mesin rusak atau cuaca ekstrem menjelang lepas landas. Terlambat atau salah mengambil keputusan bakal berakibat fatal.
Seperti yang dikutip dari Flight Safety, 80 persen kasus kecelakaan pesawat terjadi pada Critical Eleven atau 11 menit krusial ini.
Dalam periode waktu tersebut, pesawat dalam kondisi rentan sehingga gangguan sekecil apapun akan berdampak besar terhadap keselamatan penerbangan.
Maka menjadi penting bagi kita, saat menaiki pesawat, untuk mengikuti prosedur dan petunjuk yang berlaku maupun yang diarahkan oleh petugas pesawat.
Biasanya ketika pesawat take off atau lepas landas, pramugari di dalam kabin menyampaikan petunjuk penggunaan seat belt atau sabuk pengaman dan mematikan telepon genggam. Selain itu, penumpang yang duduk dekat pintu darurat juga harus terbebas dari semua barang bawaan.
Alasannya cukup jelas karena memang tidak boleh ada satupun barang bawaan yang menghalangi jalan keluar di pintu darurat saat peristiwa buruk terjadi.
Lalu sebelum mendarat, pramugari juga mengingatkan semua penumpang untuk membuka penutup jendela, menegakkan sandaran kursi dan menutup meja.
Selain itu penting memang untuk mematikan ponsel. Etika ini mesti dipatuhi untuk membantu pilot berkomunikasi secara baik dengan pihak ATC. Karena frekuensi sinyal ponsel dapat mengganggu frekuensi radio komunikasi pilot.
Lalu seat belt sendiri digunakan untuk menjaga kestabilan penumpang agar tidak mengganggu keseimbangan pesawat saat terbang. Sementara melipat meja dan menegakkan sandaran kursi dilakukan agar apabila penumpang mesti melakukan emergency landing, seluruh penumpang bisa selamat.
Selain itu, untuk penerbangan malam hari, lampu kabin pasti diredupkan. Alasannya pun sama yakni dalam waktu 90 detik, semua penumpang harus keluar dari pesawat karena di saat mata terbiasa melihat terang kemudian lampu mati, butuh beberapa saat agar mata bisa beradaptasi dengan pencahayaan yang gelap.
Lalu, kenapa jendela harus dibuka? Kondisi itu agar penumpang bisa melihat keadaan di luar. Jika sayap pesawat membeku karena es, penumpang bisa melihatnya untuk kemudian memberitahu kepada pramugari yang nantinya akan melanjutkan informasi tersebut ke pilot.
Tak hanya itu saja, penting juga untuk memahami tentang lokasi baju pelampung, masker, dan pintu evakuasi serta cara menggunakannya.
Sehingga para penumpang bisa melakukan pertolongan pertama untuk dirinya sendiri tanpa dibantu awak kabin. Hal penting lainnya adalah penumpang disarankan untuk tidak tidur, melepas alas kaki, atau mendengarkan musik saat memasuki rentang waktu critical eleven.