Terinspirasi dari seorang Anna Foster yang menemukan kebebasan ketika tersesat ketika hendak menuju love prada di Berlin, ia melawan ketakutannya dan mencoba wahana terjun bebas di sebuah jembatan yang menghubungkan sebuah sungai. Dari sanalah ia sadar akan kebebasan yang sulit ia dapat di kehidupannya sebagai seorang putri dari presiden Amerika.
Layakna Anna yang bosan dengan kehidupan serba mewahnya, saya pun pernah merasakan jenuh seperti yang ia rasakan.
Selalu ada masanya setiap rutinitas, kegiatan, bahkan hobi berada dititik jenuh.
Apalagi jika kamu seorang yang moody, perubahan keadaan akan lebih mudah mempengaruhi keadaan emosi. Saya pun termasuk pribadi yang demikian, beberapa hal tertentu bisa mengubah mood hanya dalam hitungan menit.
Tak ada yang salah dari hobi saya, hanya saja saya butuh suasana baru. Bukan berarti traveling adalah hal yang memiliki suatu titik jenuh apabila dilakukan secara konstan.
Hingga akhirnya saya temukan sebuah revolusi traveling untuk membunuh kejenuhan saya.
Selalu ada kejutan di kota pelajar, lagi-lagi inspirasi tentang wisata gondola laut saya dapatkan dari sebuah reality show favorit saya, Running Man.
Secara hati-hati saya masukan anggota tubuh ke sebuah gondola. Tanpa peralatan khusus berstandar internasional, hanya sebuah tali, besi, dan tempat duduk yang terbuat dari kayu saya pasrahkan nasib di wahana ini.
Dua orang bapak setengah baya berkulit sawo matang kompak mendorong gondola yang saya naiki. Perlahan gondola mulai meluncur dan semakin rendah karena adanya beban, perasaan gugup pun mulai menyelimuti.
Luncuran semakin cepat, terpaan angin menambah detak jantung semakin cepat, ditambah lagi seluruh tubuh basah kuyup karena hempasan ombak yang cukup besar.
Di tengah-tengah gondola sempat terhenti, rasa panik semakin menjadi-jadi, entahlah dahi ini dibasahi oleh keringat dingin atau masih karena air laut, yang pasti menjerit adalah hal yang bisa dilakukan.
Tak berapa lama gondola pun bergerak mendekati karang. Sayapun bisa bernapas lega. Masih menjerit, tapi jeritan kali ini adalah jeritan kepuasan telah mentebrangi laut berjarak 100 m dengan ketinggian 50 m di atas laut hanya dengan peralatan manual. “lobster saya datang!” jeritan kepuasan juga kutunjukan untuk para lobster yang siap untuk saya santap setelah lelah menjerit.
Mumpung di Jogja, saya memanfaatkan wahana ekstrim lain yang ada di sini. Jika tadi saya sudah berbasah-basahan dan kenyang dengan 1 porsi lopster rebus, maka saatnya saya menelusuri kegelapan untuk mencari cahaya surga.
Goa Jomblang memang pilihan tepat, menuruni goa vertikal sejauh 20 m dengan tali, ini adalah pengalaman pertama kali memasuki mulut bumi dengan teknik tali tunggal atau single rope technique, sempat memakan waktu 15 menit untuk training.
Saya pikir dalam gua hanya ada bebatuan layaknya di Goa Pindul, tetapi aneka lumut, paku-pakuan, semak belukar, hingga pohon-pohon besar tumbuh dengan lebat. Hutan dengan vegetasi yang jauh berbeda dengan kondisi di atas sana, pemandangan dikenal dengan nama hutan purba oleh masyarakat sekitar.
Adalah orang yang merugi apabila dating jauh-jauh ke Kuta Bali hanya untuk duduk-duduk bersantai menikmati angin dan menjemur diri. Kepenatan dalam pekerjaan kantor, membuat saya ingin lepas dan berteriak puas.
Buat apa hanya duduk menikmati pemandangan jika dapat melakukannya lebih. Saya panjat bukit-bukit yang ada di sana, cukup mudah untuk menemukannya. Seorang bule asal Australi dengan bahasa Indonesia berantakan memberi tahu saya keberadaan wahana ini, “keren sekali!” begitulah katanya dengan logat tak umum.
Wahana ini cukup menenangkan, sebab peralatan keamanan sudah modern dan memenuhi standar internasional. Satu, dua, tiga, dan…. “aaaaarrgh freedom…!” tubuh terasa geli, kepala saya berada di bawah. Untuk pertama kalinya saya tidak berpikir apapun selain ingin berteriak sepuas-puasnya.
Air, adalah salah satu elemen yang saya sukai di film Avatar The Leggen of Aang. Salah satu tokoh bernama Katara adalah pengendali air, “air bisa tenang, tetapi bisa pula menjadi arus deras yang menghanyutkan”.
Bosan memandang genangan air jernih dengan keindahan, kini saatnya menjajal arus air yang bisa membuatku terombang-ambing. Sungai Alas Sumatera Utara, menjadi pilihan untuk menguji adrenalin.
Derasnya arus sudah tak diragukan lagi. Butuh kerja sama tim dan kekompakan untuk menaklukan yang saya tempuh kurang lebih 5 jam. Basah dan benturan adalah seni di sini. Agak sulit memang ketika mengendalikannya, terkadang dayung yang saya pegang terpentok oleh bebatuan.
Mendarat di kota Palu, saya tidak ingin tetap berada di daratan, menikmati keindahan dari jendela pesawat membuatku ingin terus-menerus berada di atas.
Dosa rasanya jika tidak menjajal paralayang yang paling fenomenal di Asia Tenggara ini. Hati kecil saya mengatakan bahwa saya harus merasakannya paling tidak sekali sebelum mati.
Berjalan kecil dan dibantu dengan kekuatan angin, merasakan terbang di udara. Lepas tak ada batasan penghalang. Angin yang begitu kencang mengharuskan lebih berhati-hati agar mata tidak terganggu angin kencang.
Belum afdol jika kamu tidak berteriak sambil tertawa lepas. Mungkin hal itu tidak akan bisa kamu lakukan jika kembali ke rutinitas. Dari atas paralayang, kamu akan mendapatkan bonus menakjubkan dari sekedar terbang, panorama alam pegunungan Gawalise yang menawan dan hamparan lembah Palu lebih dari cukup untuk saya nikmati.
Lagi-lagi saya menikmati terbang selain sekedar di dalam pesawat. Mumpung masih muda, cobalah wisata-wisata yang agak berbelok dari sekedar keindahan dan ketenangan destinasi. Wisata ekstrim akan mengembalikan jiwa mudamu hanya dalam sekali teriak.