Cinta Tak Terduga di Semarang, Kota Bising yang Penuh Kehangatan

Dunia ini terbuka untuk siapa saja dan aku bebas melangkah kemana yang aku ingin.

SHARE :

Ditulis Oleh: Umu Umaedah

 

Semua berawal ketika aku memutuskan untuk merantau ke kota lain. Hanya bermodal semangat, aku berangkat ke kota Semarang demi mengejar passion. Apa yang aku mau, aku akan kejar.

Dunia ini terbuka untuk siapa saja dan aku bebas melangkah kemana yang aku ingin.

***

Aku selalu percaya kalimat ini: teman dan cinta akan datang mengiringi mimpi. Dan di kota ini aku bertemu keduanya. Aku bekerja di Semarang, menyusul sahabatku semenjak SMA yang juga kebetulan mendapat pekerjaan di Semarang. Ini dia titik di mulainya babak baru dari sebuah cerita. Bisa bertemu sahabat lama dan bertemu seseorang. Pertemuan yang datang tanpa diduga. Semua mengalir begitu saja. Seorang lelaki berkulit putih berasal dari Bandung. Dia sangat bertolak belakang denganku. Bandung dan Banjarnegara itu kota yang jauh berbeda, dari gaya hidup sampai adat budayanya. Kalau aku adalah seorang yang suka bermain dengan alam, dia adalah seorang yang suka bermain di dalam kotak, mall.

Ini adalah perkenalan yang sangat singkat yang pernah kutemui. Sama-sama menjadi seorang perantau yang baru, kami merasa senasib. Aku mengenal lelaki ini dari sahabatku. Ya setidaknya aku tidak mengenal orang yang terlalu asing di kota yang masih asing ini. Minimal ada orang yang bisa aku minta pertanggungjawaban atas pertemuan ini.

Apakah pertemuanku dengannya adalah pertemuan yang romantis di malam hari dengan iringan musik klasik ditambah setangkai mawar dan sebatang lilin? Tidak. Kami berjumpa di sebuah minimarket saat aku sedang menunggu senja di Kota Lama. Hanya obrolan basa-basi, mirip pengenalan diri saat menulis form pendaftaran mahasiswa baru. Selebihnya adalah obrolan untuk mengakrabkan diri seputar hobi dan lain-lain. Saat kusebut aku memiliki sebuah buku karya sendiri, lelaki itu tiba-tiba sangat antusias ingin membacanya.

Baiklah, sepertinya akan ada pertemuan berikutnya setelah ini,’ pikirku kala itu.

***

Hari Minggu yang cerah. Aku diam jamuran di kos. Pagi itu, aku bergegas keluar rumah dan siap untuk berteman dengan matahari, seorang diri.

Car free day Jalan Pahlawan menjadi sasaran pertama, menikmati suasana kota Semarang yang tenang tanpa kendaraan. Aku bisa joging dengan bebas di sini mengikuti irama senam pagi bersama ibu-ibu tanpa takut tersenggol badan mobil atau motor.

Silakan sarapannya kakak,’ seorang wanita berambut kuncir kuda mendekat. Dia menyodorkan segelas susu dan roti berlapis selai kacang. Vina namanya, dari kumpulan mahasiswa salah satu universitas negeri di Semarang yang sedang mengadakan kampanye sarapan pagi. Lumayan untuk mengganjal perut. ‘Kota ini “hangat”, ujarku tersenyum dalam hati.

Usai Car free day, aku mengikuti rombongan anak kecil yang akan menuju Tugu Muda Semarang. Mereka begitu semangat, dan cukup berisik. Candaan mereka mengingatkan pada masa kecil saat aku sering bermain bersama teman-temanku di lapangan belakang rumah. Bedanya, mereka mungkin tak memiliki lapangan seperti ‘milikku’ dulu karena kota mereka makin padat dengan gedung beton. Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit, kami sampai. Bermain sejenak di bawah air mancur bersama anak-anak kecil ini membuat perjalananku terasa lebih berwarna. Matahari makin terik, saatnya melanjutkan perjalanan. Setelah memberi beberepa permen dan cokelat sebagai tanda persahabatan dengan mereka, aku pamit ke Sam Po Kong, sebuah klenteng yang populer menjadi salah satu ikon wisata di kota lunpia ini.

Kata orang, Semarang tak ramah untuk pejalan kaki, panas teriknya medan yang naik turun khas wilayah perbukitan membuat orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadinya. Kota ini panas, juga bising, namun aku menikmatinya, orang-orang dipinggir jalan yang balas tersenyum saat aku menganggukan kepala padanya, ibu penjual buah dengan rambut ubannya di depan RS Karyadi yang memberi sebuah jeruk gratis karena menurut beliau aku mirip putrinya, juga seorang bapak tukang parkir paruh baya yang sangat sabar menunjukan arah padaku, aku tak berpikir kota ini tak ramah bagi pejalan kaki.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi.

‘Minggu yang cerah, lagi ngapain?’ sebuah pesan masuk, dari lelaku itu.

‘Jalan-jalan, mencari Sun Go Kong,’ jawabku asal.

‘Hahaha, sama siapa?’ dia tertawa mendengar jawaban konyolku.

‘Sendiri.’

‘Kenapa sendiri? Aku nggak nolak lho kalau kamu ngajak aku.’

Aku mengernyitkan kening. Kuketik cepat jawabanku.

‘Ada kalanya aku ingin bermain sendiri. Menyenangkan kok. Ada beberapa tempat lagi di listku yang belum sempat aku datengin, mau gabung? Aku sekarang di Sam Poo Kong’ aku pikir tak ada salahnya mengajaknya, lagipula aku punya kesan baik tentang lelaki itu.

‘Oke, tunggu.’ Dia mengakhiri pembicaraan.  

Sebenanrnya, aku sendiri tak menyangka akan menawarkan ajakan padanya semudah itu. Aku ingin mengujinya. Aku berpikiran akan mengenal lebih dalam pribadi seseorang di perjalanan dari pada obrolan via dunia maya atau jalur telepon.

‘Mengenal lebih dalam’ Aku terdiam sejenak. Sejak kapan aku menjadi ingin tahu semua tentangnya? Ada rasa aneh yang muncul saat pertemuan pertama di Kota Lama kala itu, entah apa.

***

Dia benar-benar datang menjemputku ke Sam Poo Kong. Dengan senyum khasnya dia melambaikan tangan dari jauh.

Dengan motor kami memulai perjalanan menuju destinasi-destinasi yang aku susun sehari sebelumnya. Kami mengarah ke Semarang atas, menuju pagoda terbesar di Indonesia, Pagoda Avalokitesvara Watugong. Sesampainya disana suasana cukup ramai, ada beberapa orang tionghoa yang sedang bersembahyang. Aku menengadahkan kepala ke atas, pagoda ini luar biasa tinggi! Melihatnya aku teringat serial “Kera Sakti” di televisi dimana ada salah satu adegan Sun Go Kong di kurung dalam pagoda raksasa karena melakukan kesalahan. Setelah puas berfoto -dengan lelaki itu di Pagoda Watugong, kami lanjut menikmati senja berwarna magenta di dari balik tebing-tebing tinggi Brown Canyon, tempat wisata baru yang sedang populer di Semarang.

Kami sama-sama diam menikmati senja. Aku meliriknya, nampaknya dia memang benar-benar menikmati senja ini. Matanya berbinar. Beda denganku, aku diam karena saking bingungnya apa yang harus kuucapkan saat itu. Bayangkan, aku melihat senja yang luar biasa indah berdua dengan seorang lelaki yang bahkan baru aku kenal beberapa hari, entah kenapa perasaan aneh itu makin kuat. Jantungku berdebar kencang. ‘Mungkin aku sakit,’ alibi yang dibuat pikiranku, untuk menangkal apa yang dirasakan hati.

Hari mulai gelap, kami kembali ke Tugu Muda, bercengkerama di bawah cerahnya langit malam Semarang. Tiba-tiba di dekat kami ada ribut-ribut. Ada dua orang wanita bertengkar.

‘Biarin aja, tak apa,’ dia menenangkan.

Ketika bersamanya, membuatku merasa memiliki tenang. Tapi, aku sangsi dengan rentang waktu yang singkat dua hati bisa bersatu, lagipula aku tak tahu apa dia merasakan hal yang sama denganku.

***

Aku baru saja keluar dari kotak nyaman yang selama ini menjadi tempat bernaungku, rumah. Ketika aku dibiarkan bebas di tempat yang belum aku kenal, aku selalu percaya bahwa aku akan menemukan apa yang aku cari di tempat baru jika aku percaya terhadap sesuatu hal, maka semesta akan mendukungnya.

Setelah melakukan beberapa perjalanan, aku menyadari sesuatu, ada banyak hal tak terduga yang akan kita temui saat kita berani melangkah keluar. Jika kamu mengejar cinta, maka kamu akan mendapatkannya. Jika kamu mengejar mimpi maka percayalah, cinta akan mengiringimu. Jika hari ini lelaki itu ada untuk setia menemaniku, belum tentu esok hari. Yang terpenting saat ini, aku hanya ingin mengikuti jalan yang searah dengan mimpiku, menjadi seorang penulis.

Di persimpangan aku bertemu dengan lelaki itu. Dan ada banyak kemungkinan di persimpangan lain, aku akan berpisah dengannya ketika itu sudah tidak sejalan.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU