Orang yang hendak merantau ke Jakarta mungkin tidak akan bingung masalah bahasa, karena bahasa yang digunakan di Ibu Kota Indonesia ini menggunakan bahasa yang universal, bahasa Indonesia, bagi perantau yang berasal dari daerah tidak akan kesulitan dalam berkomunikasi, itu adalah kemudhadan pertama merantau di Jakarta.
Kemudahan yang kedua, kalau kamu tidak membawa kendaraan, jangan khawatir, di Jakarta memiliki berbagai jenis kendaraan, dari mikrolet, kopaja, bus trans, KRL, ojeg, hingga bajaj dengan trayek yang luas dan beragam. Itu dua kelebihannya merantau ke Jakarta, masih banyak kelebihan lain, tapi juga tidak sedikit kekurangannya. Akan berbeda cerita apabila kamu merantau ke daerah lain, misalnya Semarang yang memiliki iklim kota berbeda, lain tempat pasti akan lain cerita.
“Teteh kalau di Semarang ngomongnya pake bahasa apa?”, “di sana rawan gak kayak di Jakarta?”, “Biaya hidup di sana murah apa sama aja mahal kayak di Jakarta, Bandung, Surabaya?”, “Kalo mau kemana-mana gimana?”… selentingan pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering saya dengar ketika saya berbincang dengan teman dan kerabat yang hendak merantau ke ibu kota Jawa Tengah ini.
Banyak bertanya, itulah kunci utama agar kita bisa lebih dekat dengan daerah tempat kita tinggal. Kalau bisa, tanyakan pada orang yang sekiranya dapat dipercaya, ibu pemilik kontrakan atau kost atau teman, bisa teman yang sudah lama merantau ke Semarang atau teman baru. Tenang saja, orang-orang di Semarang terhitung ramah, kalau kalian bertanya paling tidak masih berbumbu senyuman, lain halnya jika dibandingkan di Jakarta, jika kamu sedang apes, kamu akan mendapat ekspresi wajah yang ketus.
Kenapa harus banyak bertanya? Karena di Semarang banyak sekali istilah-istilah kedaerahan yang tidak dijumpai di daerah lain, terutama bagi kamu perantau di luar Jawa Tengah dan luar pulau Jawa. Sebagai perantau yang sudah agak lama di Semarang, saya memiliki beberapa istilah-istilah lokal, seperti; bangjo (lampu merah), montor mabur (pesawat terbang), nyuwun sewu (bukan munta seribu tapi merujuk pada kata permisi), hee, ik, ndes, ra (untuk kata sisipan).
Saya selalu ingat terhadap istilah-istilah tersebut karena pernah memiliki pengalaman khusus dan berkesan ketika pertama kali saya datang ke Kota Semarang seperti artikel yang pernah saya tulis sebelumnya.
“Atlas” maksudnya bukan mengacu pada sebuah benda pencari wilayah, tetapi Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat. Kata tertib dan lancar inilah yang perlu kamu garis bawahi sebagai pendatang. Tidak seperti di Jabodetabek yang cenderung banyak pelanggaran lalu lintas yang lolos dari mata polisi lalu lintas, makanya tidak salah jika banyak ditemukan pengendara motor tanpa helm, berbonceng tiga, dan tanpa knalpot di sana. Jangan harap kamu akan lolos dari kejaran polisi lalu lintas di Semarang jika kamu seperti itu.
Para polisi lalu lintas di semarang sangat jeli memperhatikan berbagai pelanggaran di jalan raya, saya adalah salah satu anak rantau yang pernah tertangkap basah karena telah melanggar lalu lintas, dua kali malahan. Oleh karena itu, patuhi segala rambu-rambu, lengkapi surat-surat, dan lengkapi bagian-bagian standar motor.
“Berapa bu? Murah mbae, tiga potong Rp 60.000 wes”, bagaimana kalimat tersebut menurut kalian? Untuk membeli jilbab pashmina tiga potong termasuk murah bukan? Bila dibandingkan di Jakarta dan sekitarnya. Tapi, percayalah kawan, kamu bisa mendapatkan harga lebih miring lagi apabila kamu tidak menunjukan kalau kalian anak rantau. Bersikaplah seolah-olah kamu warga asli Semarang, jika kamu tidak bisa berbahasa Jawa, berusahalah berbiaca semedok mungkin, dan tawar harga dengan wajar, hal itu tepat kalau kamu terapkan di Pasar Johar, salah satu pasar yang paling terkenal di Semarang.
Awal mula saya ke Semarang, saya benar-benar merasa sangat kesulitan karena belum memiliki kendaraan pribadi, kemanapun saya pergi saya menggunakan kendaraan angkot kuning sebagai sarana transportasi. Lumayan boros juga di ongkos, setelah beberapa bulan, akhirnya saya menemukan transportasi alternatif yang ramah di kantong. Untuk kalian para pendatang, jangan ragu untuk menjajal bus trans Semarang. Memangnya ada? Tentu saja ada, memang tidak seeksis bus trans Jakarta, tapi memang benar-benar ada dan lebih nyaman. Selama di Jakarta, untuk bisa duduk di salam bus trans itu dapat dihitung dengan jari karena penuh sesak dan harus mengalah terhadap ibu-ibu. Lain halnya di Semarang, bus trasnnya sangat sepi penumpang, jadi kamu bisa duduk manis tanpa harus berdesakan dan mencium bau keringat tak sedap.
jika kamu sudah terbiasa naik trans Jakarta yang di setiap koridornya sudah memiliki jadwal kedatangan bus yang terstruktur sehingga kamu bisa menyesuaikan estimasi perjalanan, hal tersebut tidak berlaku di halte-halte trans semarang. pasalnya, kedatangan bus trans di kota ini tidak terjadwal dan belum terstruktur dengan tepat, sehingga jika kamu memilih transportasi yang ramah di kantong ini, maka kamu harus siapkan ekstra kesabaran, mungkin koran dan gadged mu bisa membantu untuk membunuh waktu.
beberapa kali saya keluar dari stasiun kereta api, baik di Stasiun Poncol maupun Tawang, saya selalu mendapati berbagai macam rayuan dari supir-supir taksi yang menawarkan harga murah dengan embel-embel tanpa agro. Ingat! jangan sekalipun tergiur dengan rayuan seperti itu, tetap mintalah tarif agro sebagai bukti pembayaran yang resmi karena para supir nakal itu sudah paham tarif harga setiap tempat tujuan yang akan di datangi, sehingga mereka dengan mudah sudah menaikan harga taxi apalagi bagi pelanggan yang terlihat tidak paham trayek di Semarang, untuk itu, selektiflah memilih taxi, pilih taxi normal dengan tarif agro dan jangan tunjukan kalau kamu pendatang yang belum paham trayek semarang, sebaiknya kamu cek lokasi via google maps, GPS, atau bertanya kepada petugas stasiun tentang arah tujuan.
Jika sebutan atau penggilan “bang” atau “abang” sangat familiar dan biasa digunakan di daerah Jakarta dan sekitarnya, maka jangan harap pedagang yang kamu panggil akan menoleh jika kamu panggil dengan sebutan itu. Saya sempat kesal ketika saya memanggil salah satu pedagang keliling yang berjualan mie ayam dan si pedagang tidak menoleh, padahal saya rasa suara saya sudah cukup kencang. Ternyata setelah diberi tahu oleh tetangga kost, di sini tidak ada debutan “abang” untuk memanggil pedagang keliling, yang ada adalah “pak…” atau “mas…”. Maka dari itu, jika kamu sudah menginjakan kaki di Semarang, kamu harus menghilangkan panggilan itu.
Memang benar adanya peribahasa “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, berbeda tempat, berbeda pula bahasa, tradisi, dan kebiasaan. Sebagai pendatang, kamulah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan daerah setempat. Ibarat seekor kecoa, kitalah harus bisa beradaptasi dengan lingkungan sehingga akan mudah untuk bertahan hidup di daerah orang.