Sudah terhitung dua hari selama perjalanan saya di Bali dan mata saya sepertinya sudah khatam dengan jejeran pura-pura indah yang berdiri kokoh di tiap sudut. Tapi hasrat saya untuk melihat sesuatu yang lebih dari apa yang biasa di sini saya lihat belum terpenuhi. Setelah saya menjamah wisata pantai, seperti; Pantai Kuta, Pantai Legian, Pantai Sanur, Pantai Dreamland, dan Joger, kini saatnya saya menjamah wisata budaya dan religi.
Uluwatu adalah tempat tujuan saya kali ini, setelah mendapat rekomendasi dari sesama teman travelling, akhirnya saya putuskan untuk pergi ke sana. Perjalanan dari lokasi penginapan saya menuju Uluwatu memakan waktu sekitar 40 menit. Waktu yang berjalan saya gunakan untuk membaca novel karangan Pramoedya Ananta Toer, “Bumi Manusia” sambil mendengarkan beberapa musik favorit saya, dan sesekali melemparkan senda gurau bersama teman seperjalanan saya.
Setelah membunuh waktu, akhirnya saya pun menginjakan tanah di pura suci itu. Seorang petugas wanita pun memakaikan saya kain berwarna kuning khusus untuk saya, karena pada waktu itu saya mengenakan celana pendek selutut, ini memang sudah menjadi sebuah aturan, sebagai wujud penghargaan, saya pun menurut. Menurut beliau, kain sarung dan selendang berwarna kuning bernama salempot tersebut menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura, serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa. Itu aturan pertama yang harus dipatuhi.
Semakin jauh saya melangkah, satuan, belasan, sampai puluhan bahkan mungkin saja hingga mencapai ratusan kera pun menyambut saya. Awalnya saya tenag-tenang saja, tetapi semakin lama saya merasa agak khawatir karena semakin bertambah banyak, saya semakin merasa diperhatikan oleh komplotan kera-kera itu. Terang saja saya agak takut, coba kamu bayangkan! enam orang manusia diantara ratusan ekor kera yang diantaranya sedang memperhatikan gerak-gerikmu.
Sebelum memasuki kawasan Pura Luhur Uluwatu, kami sudah diperingatkan oleh petugas, bahwa kalian akan disambut oleh ratusan kera-kera yang terkadang jahil terhadap pengunjung, walaupun kera-kera tersebut jahil, petugas juga memperingatkan bahwa kami tidak boleh menyakiti kera-kera tersebut, hewan penghuni pura tersebut diyakini sebagai penjaga kesucian pura dan menjaga pura dari pengaruh buruk.
Aturan kedua yang harus kalian ketahui adalah, bahwa kera-kera di sini sangatlah jahil dan agresif, jadi kalian dilarang menunjukan gerak-gerik yang mencolok perhatian kera-kera tersebut. Biasanya, kera-kera tersebut juga tak segan-segan meminta makanan, jadi usahakan kalian tidak mengepalkan tangan karena kera-kera tersebut akan langsung menghampiri sebab mereka mengira di dalam kepalan terdapat makanan.
Saya sempat tergelitik ketika salah satu teman saya, Canang, melakukan keisengannya dengan cara berjalan sambil menenteng alas kaki yang baru saja ia beli di pusat oleh-oleh khas Bali, Joger. Dua ekor kera dengan gesit merebut salah satu alas kaki yang ia genggam, karena takut tercakar akhirnya Canang pun dengan pasrah melepaskannya. Dengan muka kecut, ia tetap berusaha mencari akal untuk mendapatkan alas kaki barunya, akhirnya ia berusaha memancing kera dengan menggerak-gerakan ranting, tetapi sepertinya kera-kera itu tidak tertarik, malahan kera-kera itu berebut alas kaki sembari menggigit-gigitnya, alhasil alas kaki baru pun setengah hancur.
Setelah dipancing dengan umpan kacang olehku, akhirnya kera itu pun rela menukarnya, tak disangka kera di sini pandai bernegosiasi. Tapi apalah artinya, nasi telah menjadi bubur, alas kaki baru telah hancur lebur. Harus diingat, jangan sepelekan aturan kedua ini buat kamu yang hendak datang kemari.
Pura adalah tempat suci untuk melakukan ibadah dan dianggap sebagai tempat yang sakral. Oleh karena itu, pengunjung yang datang juga harus dalam keadaan suci. Nah, aturan terpenting ke tiga dalam wisata budaya dan religi ini adalah seorang wanita yang sedang dalam masa menstruasi dilarang masuk ke dalam area pura. Kebetulan saat itu saya juga sedang dalam siklus mentruasi, jadi saya hanya bisa menikmati dan berfoto di dekitar pelataran. Memang agak disayangkan sekali karena tidak bisa puas memenuhi hasrat mata saya untuk melihat keindahan pura, tapi saya harus tetap mematuhi dan menjaga aturan-aturan yang berlaku karena aturan-aturan adat adalah bagian dari kebudayaan, kebudayaan yang harus kita jaga agar tidak rapuh ditelan keadaan.