Tetesan-tetesan air menjatuhiku, terasa dingin dan mengalir di dahi dan mengalir ke sela-sela hidung lalu ke pipi. Tak kuhiraukan tetesan-tetesan itu, aku masih memandang langit-langit goa sambil menggenggam telapak tangan temanku, Jeje dan Putri.
Aku tak menyangka Jogja menyembunyikan surga semegah ini. Aliran sungai di dalam goa. Goa Pindul, begitulah masyarakat Desa Bejiharjo, Karangmojo menyebutnya.
Bersama tujuh orang teman, kami berkunjung ke tempat ini secara spontan dengan persiapan yang tak lebih dari tiga jam. Kami langsung jatuh cinta begitu mendapat informasi tentang keindahan Goa Pindul. Tanpa banyak kompromi, kami langsung tancap gas dari Kabupaten Kendal menuju Jogja.
Kami memang belum lama mengenal satu sama lain, perkenalan kami pun hanya karena sebuah tuntutan dari kampus. Tapi untuk masalah traveling, kami sama-sama memiliki satu visi dan misi yang akhirnya mengantarkan kami pada sebuah lorong bebatuan yang begitu indah.
Umumnya sebuah goa ditelusuri dengan berjalan kaki dengan menggunakan sepatu boot, tapi untuk berpetualang ke dalam perut bumi satu ini, pemandu mengharuskan kami untuk memakai pelampung dan ban karet karena menurut pemandu kami, sungai yang ada di dalam goa memiliki kedalaman yang lumayan, hingga 12 meter.
Sebenarnya saya tidak suka dan agak takut bermain-main di air yang sangat dalam, terlebih saya tidak terlalu mahir berenang. Tapi apa daya, rasa penasaranku terhadap suasana di dalam goa dan bantuan pelampung mengalahkan semuanya. Setelah siap dengan peralatan, kamipun siap untuk melakukan cave tubing, istilah untuk menelusuri sudai di dalam goa dengan ban karet.
Di tengah-tengah goa tak bercahaya, Mas Jono, pemandu kami menjelaskan bahwa bagian goa ini tersusun atas beberapa batuan yang terdiri dari batu kristal, moonmilk, serta stalaktit dan stalakmit.
Ada mitos menarik yang diungkapkan oleh Mas Jono. Konon jika wajah kita terkena tetesan air dari batu ini, wajah kita akan terlihat awet muda. Tak mau kalah dengan yang lain, saya pun mendongakan wajah menghadap langit-langit goa.
Klimaks dari keindahan goa adalah ketika keluar dari tengah-tengah goa yang minim cahaya. Perlahan-lahan cahaya matahari memasuki celah-celah dari lubang di langit-langit goa membentuk sebuah tirai dengan berbagai macam kolaborasi warna.
Kolaborasi warna tersebut dihasilkan dari cahaya matahari yang dipantulkan oleh air. Cahaya yang menembus hingga permukaan air ini seakan-akan seperti cahaya surga, begitulah mas Joko menyebutnya.
Tantangan lain yang sudah menunggu saya adalah melompat dari dinding bebatuan goa. Satu persatu di antara kami pun bergantian melompat. Hingga pada akhirnya giliran saya pun tiba. Ah, rasanya saya ingin kabur. Saya benci jika harus terjun dari ketinggian 5 meter dan berenang di kedalaman.
Beberapa antrian dari traveler lain sepertinya sudah gelisah menunggu saya yang tak kunjung melompat. Di suhu yang dingin pun tangan saya berkeringat, ingin mundur, tapi saya pun gengsi. Beberapa teman di bawah sana bahkan menawarkan untuk menangkap saya.
Kupejamkan mata saya. Satu, dua, tiga, dan hap! Akhirnya saya melompat. Badan serasa mati rasa, ketika membuka mata saya sudah di permukaan air dan Wendy sedang menarik pelampung milikku sambil berenang.
“Tuh kan nggak apa-apa, kamu mikirnya lebay sih” ledek wendi sambil tertawa puas. Ternyata memang tidak seburuk itu, ada perasaan ingin mencoba lagi malah, tapi kami harus segera bergegas untuk tujuan wisata selanjutnya.
Sembari berenang, sesekali saya pun menengok ke belakang, perut goa beserta cahaya surga yang barangkali tidak akan kutemukan setelah kembali ke tempat asal. Menjauh dan semakin menjauh akhirnya kurelakan cahaya itu lepas dari pandangan mata kepala.