Tubuh saya yang sudah mulai lelah bersandar di bangku kereta kelas bisnis jurusan Banyuwangi – Surabaya yang nampak senggang, malam itu. Saya mencoba mengarahkan pandangan ke luar jendela yang gelap sebelum mata saya terpejam dan berharap besok pagi saya tiba di Surabaya dengan selamat dan tanpa ada halangan dalam perjalanan.
Saya mencoba untuk me-rilekskan pikiran yang sempat awut-awutan lantaran beberapa insiden yang menimpa saya dan Utik teman perjalanan saya. Hingga saya harus marah-marah dengan petugas loket di Stasiun Banyuwangi.
“Huft…..!” saya menghembuskan nafas panjang yang kesekian kalinya untuk menghilangkan emosi yang tidak terkontrol itu.
Panasnya Ubud kala itu memang sangat menyengat, tapi hijaunya dedaunan yang tumbuh di sawah terasa mampu menetralkan rasa panas yang berlebihan itu. Sebelum pulang, ini adalah salah satu treatmentnya. Saya berulang kali mengingatkan Utik untuk memantau waktu agar kami tak terlalu sore untuk mengakhiri perjalanan dan kembali ke Semarang.
Berulang kali Utik pun menenangkan saya, dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Terkadang kita sering lupa waktu ketika kita sedang asyik traveling. Apalagi bila cuaca sedang bagus-bagusnya dan bagus kalo buat foto-foto. Jepret sana, jepret sini tahu-tahu waktu berlalu begitu saja. Itu artinya kami harus segera menyudahi liburan kami, karena kami sudah memesan tiket kereta dari Banyuwangi ke Surabaya pukul 22.00 WIB.
Kalau menurut teori sih, rentang waktunya masih longgar. Jadi, kami masih bisa santai-santai. Rencana yang sudah kami sepakati bersama adalah kami akan meninggalkan Klungkung, tempat kami menginap jam 14.00 WITA. Tapi, kenyataannya kami meninggalkan penginapan jam 15.00 untuk melanjutkan perjalanan ke Terminal Ubung Denpasar.
Kami menuju terminal diantar oleh kakak si Utik yang kebetulan sedang dinas di Klungkung. Setibanya kami di Klungkung bus yang akan kami tumpangi menuju Gilimanuk baru saja berangkat.
“Ke mana mbak? Banyuwangi?” tanya salah satu lelaki separuh baya dengan gaya-gaya orang terminal.
Tanpa berkata, saya hanya membalasnya dengan senyuman. Itu adalah salah satu trik yang saya gunakan untuk tidak terkena calo di terminal. Tapi, entah kenapa lelaki itu terus megikuti kami dan betanya dengan hal yang sama.
“Bagaimana Tik? Kita ke Gilimanuk naik apa?” Tanyaku kepada Utik yang dari tadi mondar-mandir mencari bus.
“Entahlah, ini bus jurusan Gilimanuk yang paling cepet berangkat jam 6 sore,” kata Utik sedikit panik.
“Jika kita terlalu sore berangkat dari Denpasar maka kita akan ketinggalan kereta.Deg.
Saya segera mengihitung awing-awang estimasi perjalanan dari Denpasar menuju ke Banyuwangi, karena Kereta yang akan kami naiki adalah kereta terakhir jam 22.00 WIB dan ada kereta selanjutnya, berangkat besok pagi. Bila meleset, resikonya kami akan bermalam di Banyuwangi.
Saya menghela nafas panjang di sebuah bangku di terminal sambil menjaga barang-barang bawaan kami. Semetara Utik dan kakaknya masih berusaha mencari bus yang berangkat lebih awal. Tak lama saya menyandarkan punggung tiba-tiba ponsel yang sedang saya genggam berbunyi.
Kabar buruk datang dari rumah, bahwa ayah sedang dirawat di rumah sakit. Perasaan saya kala itu berasa tak karuan, hingga air mata pun tak mampu terbendung. Rasa ingin pulang pun semakin tinggi.
“Kita sepertinya bakal ketinggalan kereta!” Kata Utik yang tiba-tiba datang di depan saya.
“Ini aku pesen kereta lagi buat besok pagi.” Lanjutnya sambil menatap layar ponselnya.
Saya tak mampu berkata apa-apa dan hanya bisa memandangi bus satu persatu. Berharap ada yang mau mengangkut kami. Hari itu seraya menjadi mimpi buruk bagi saya.
“Tik, ayo naik ini aja,” suara kakak Utik memecah keheningan di antra saya dan Utik.
Segera kami menengok ke arah sumber suara dan kakak Utik memberikan isyarat kepada kami dengan melambaikan tangannya. Kami pun bergegas menghampirinya. Kabar baik telah kami terima. Akhirnya kami mendapatkan bus untuk menuju Gilimanuk.
Tak lama bus yang kami tumpangi pun melayu dan meninggalkan Terminal Ubung. Saya melihat dari dalam jendela beberpa aktivitas di dalam terminal yang cukup ramai itu. Bus yang saya tumpangi pun sangat nyaman, sejenak dapat mengusir pikiran negatif dan rasa gusar yang telah saya rasakan.
“Mbak, nanti kalau ada penumpang datang pindah ya!” Kata seorang kenek yang tiba-tiba membuyarkan lamunan saya dan saya hanya membalasnya dengan menyipitkan mata tanpa mengerti apa maksud dari perkataannya. Bukannya saya sudah membayar untuk tempat duduk ini?
Mengetahui saya sedang kebingunangan, kernet tua tersebut mengulangi perkataannya “Mbak, nanti kalau ada penumpang naik mbaknya peindah tempat duduk, karena ini sudah dipesan orang sebelumnya.”
“Lhoo? Saya kan sudah bayar, kok disuruh pindah?” Katas saya heran.
Pak kenek tersebut kemudian menjelaskan kronologi kejadian sebenarnya. Rupanya, kakak Utik telah melakukan negosiasi terhadap awak bus, agar mau mengangkut kami sampai Gilimanuk.
Bus yang kami tumpangi ini adalah bus patas jurusan Bali-Madura, yang semua penumpangnya mengakhiri perjalanan di Madura dan tidak menaikkan penumpang di jalan. Artinya, semua seat sudah dipesan oleh penumpang dan bus hanya berhenti ketika menjemput penumpang di titik poin yang sudah ditentukan.
Jadi, mau gimana lagi? Semua sudah terlanjur dan saya hanya bisa mengambil hikmahnya saja. Kalau nggak gini, kami harus menunggu bus sampai jam 18.00 dan itu adalah hal yang mustahil untuk mengejar waktu keberangkatan kereta.
Bus melakukan pemberhentian di beberapa titik untuk menaikkan penumpang dan terpaksa saya harus berpindah tempat dan harus duduk di kabin bersama kenek bus dan sopir. Seketika itu, saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan ini adalah tidak benar dan dapat mengancam keselamatan saya. Bagaimana tidak, saya duduk di kabin bus, dekat sekali dengan kaca bus, sementara sang sopir dengan lihainya memacu bus dengan keceapatan tinggi sepanjang jalan Denpasar-Gilimanuk dengan kondisi jalan sempit dan berkelok-kelok.
Selama saya duduk di kabin bus, sudah dua kali bus yang saya tumpangi melakukan rem dadakan yang membuat penumpang bus teriak histeris. Terlebih saya yang berada paling depan.
Selama hampir 4 jam saya uji nyali di dalam bus akhirnya bus memasuki halaman pelabuhan. Dalam hati saya merasa lega dan kami bergegas turun dari bus dengan dalih kami akan menyebrang tanpa bus, agar tidak kelamaan mengantre.
Setelah sampai pintu kapal saya baru sadar bahwa kami turun setelah melewati peron.
“Astaga, tiket kapal?”
Penumpang menggunakan kendaraan dan tidak menggunakan kendaraan memang melalui jalur yang berbeda, tiket yang dibeli pun berbeda. Sementara, kami sudah berada di dalam pelabuhan tanpa tiket perorangan, karena sebelumnya kami menumpang bus, dan aturannya memang kami harus melakukan penyebrangan bersama bus tersebut. Tapi, kami tak punya banyak waktu untuk ikut menyebrang bersama bus, karena harus antri untuk kendaraan.
Mau gak mau, kita harus jadi penumpang gelap lagi di kapal. Namun, sebelum masuk ke dalam kapal, kami sudah ketahuan oleh petugas, sedangkan kami tak punya tiket. Saya mencoba menjelaskan kepada petugas tentang kronologi yang sesungguhnya namun, sang petugas tetap menyuruh kami membeli tiket di loket. Padahal, untuk menuju loket jaraknya lumayan jauh.
Dengan muka memelas saya memberanikan diri untuk melakukan negosiasi. Kami minta tolong kepada petugas untuk meloloskan kami. Mungkin karena iba melihat kami, akhirnya petugas meloloskan kami dengan syarat kami harus membayar pada beliau seharga tiket kapal. Tak masalah, yang penting kami bisa naik.
Saya melirik jam tangan saya dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 20,30 WITA. Dalam hati udah mulai deg degan Karena waktu udah mepet banget. Tapi kami masih optimis untuk bisa ngejar jadwal keberangkatan kereta.
Jantung berdebar ketika kapal sudah mulai merapat ke dermaga. Saya kembali melirik jam yang menempel di tangan 21.50. Duh, harus gerak cepat nih, karena hanya tersisa 10 menit saja untuk menuju stasiun Banyuwangi.
“Heh, ngapain buru-buru?” Kata Utik tiba-tiba menghentikan langkah saya.
“Keburu keretanya berangkat.” Jawab saya gusar.
“Hahahahaha…..” Utik terkekeh sabil menunjukkan ponselnya ke arah saya. “Santai aja! Liat lagi jam di Hpmu!” lanjut Utik.
Dengan agak sedikit bingung, saya pun menuruti perintah Utik.
Astaga! Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 20.50. Ternyata jam pada ponsel mengalami penyesuaian waktu dari WITA ke WIB sedangkan jam tangan masih menunjukkan WITA dan tidak mengalami penyesuaian waktu sebelum kita merubahnya secara manual. Melihat kelucuan itu saya pun ikut terkekeh bersama Utik.
Akhirnya, kami tak jadi ketinggalan kereta. Lega rasanya, meskipun harus lari-larian dan sempat pontang panting. Melihat waktu yang cukup, Utik pun segera melakukan refund tiket yang sudah terlanjur dia pesan untuk besok pagi di loket. Tapi, karena petugas loket terlalu banyak tanya lantaran kode booking yang tidak sama dan print out tiket yang tidak rapi, saya pun terpaksa berkata agak tinggi kepada petugas, karena merasa dipersulit. Huft!
***