Pada sebuah obrolan dengan seorang kawan di depan sebuah pondok pendakian, saya menemukan satu pembahasan yang cukup menarik untuk ditulis. Sedang asyik berbincang ngalor ngidul tentang banyak hal, tiba-tiba kawan saya bertutur seperti ini.
“Buatku, belakangan ini mendaki gunung udah ngga seasik dulu, Gung. Kebanyakan pendaki sekarang yang aku temui di perjalanan, kalo ngobrol biasanya cuma sibuk membangga-banggakan daftar gunung mana saja yang sudah dia taklukkan.”
Sebuah rentetan kalimat sederhana tersebut berhasil mencuri atensi saya. Yang menarik perhatian bukan tentang dunia pendakian yang menurut dia sudah tak menyenangkan lagi, melainkan tentang para pendaki yang sering membanggakan diri atas pencapaian-pencapaian yang ia anggap sebuah prestasi setelah berhasil menapakkan kaki di gunung-gunung tertinggi.
Jika begitu pola yang kita pilih, saya pikir pendakian yang dilakukan akan sedikit kurang bermakna dan malah memunculkan efek negatif berbentuk tambahan kesombongan dalam diri.
Seperti halnya manusia biasa yang sulit untuk langsung melihat cacat yang ada pada dirinya sendiri, saat itu yang pertama terlintas di kepala saya malah tentang pemikiran serupa dari banyak teman dan beberapa pendaki yang yang pernah saya temui di perjalanan. Dari daftar tersebut, cukup banyak juga yang sering bercerita dan membangga-banggakan daftar gunung yang mereka anggap sudah mereka taklukkan.
Namun kemudian, setelah dipikir dan lebih jauh melihat pada diri sendiri, ternyata tak jarang pula saya mempunyai pikiran yang sama konyolnya seperti mereka, dan sialnya baru saya sadari ketakbergunaan-nya pada saat ini. Jadi malu sendiri, deh, sudah berani nge-judge orang lain dengan seenaknya, ternyata diri ini juga sama saja. Bodoh.
Berdasar pada beberapa pengalaman pribadi, saya pikir segala sesuatu yang terjadi dalam hidup tak pernah ada yang sia-sia, baik itu pengalaman yang berharga atau sesuatu yang kita anggap tak berguna sekalipun adalah bagian dari sebuah rangkai proses yang akan membangun diri kita menuju pribadi yang lebih baik dari masa lalu, dalam konteks ini mungkin bisa dianggap bagian dari proses pendewasaan diri. Dan semua itu tentu saja bergantung pada kemampuan diri kita dalam menyerap makna, dan sejauh mana dengan rendah hati kita mau memetik pelajaran.
***
Sebuah pertanyaan klise yang jawaban pastinya tak satu setan pun tahu. Kenapa saya sebut klise, karena pertanyaan ini sudah terlalu sering dibahas dan pastinya memunculkan jawaban yang tak sama dari setiap orang. Sebuah jawaban bisa memuaskan beberapa orang, namun belum tentu bagi yang lainnya.
Jika tak akan memberikan jawaban, kenapa saya membahas pertanyaan tersebut? Di sini saya sedang membahas tentang nilai dan manfaat yang didapat dari sebuah perjalanan pendakian, apakah positif atau malah negatif. Karena semua akibat pasti berasal dari sebuah sebab, pelajaran dan hasil yang kita dapatkan dari sebuah perjalanan pendakian pada awalnya pasti berangkat dari sebab mengapa kita pergi mendaki yang kemudian pada prosesnya akan menghasilkan sebuah tujuan yang ingin dicapai. Lalu, pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam perjalanan yang dipengaruhi tujuan awal yang sudah kita tetapkan akan memproses dan merangkai hasil yang akan kita dapat di akhir perjalanan.
Secara sederhananya, seorang yang pergi mendaki dengan niat untuk bersenang-senang dan banyak melakukan swafoto untuk dokumentasi diri yang kemudian akan dipublikasikan di sosial media pribadinya mungkin hanya akan mendapatkan hasil yang tak jauh dari niatan yang telah ia tekadkan di awal perjalanan. Di sepanjang perjalanan, ia pastinya akan fokus mencari spot yang menarik untuk dijadikan latar berswafoto, hingga melewatkan banyak momen-momen kecil yang bisa saja mengandung nilai pejalaran yang lebih berharga dari sekadar foto diri. Memang, ada peluang juga ia akan mendapat nilai tambah berupa pelajaran dan pengalaman dari kejadian-kejadian dalam perjalanan tersebut, namun kemungkinan besar, nilainya tak akan sebanyak jumlah foto yang sudah ia dokumentasikan di gawai pribadinya.
Atau contoh lain seorang petualang yang pergi dengan niat awal untuk menaklukkan gunung dalam rangka melengkapi daftar kebanggaan dan prestasi dirinya. Sepanjang perjalanan, ia akan mengabaikan banyak hal dan hanya terfokus untuk secepat mungkin bisa segera mencapai puncak. Akhirnya perjalanan jadi tak dinikmati sebagaimana adanya.
Namun, tetap ada golongan orang-orang yang pergi mendaki dengan niat untuk sepenuhnya menikmati perjalanan secara apa adanya dan berusaha untuk menyerap sebanyak mungkin pelajaran dari setiap detil yang ia alami dalam perjalanan tersebut. Setiap momen perjalanan dari sejak berangkat dari rumah, mulai menapaki jalur pendakian, hingga menjajal tanjakan-tanjakan terjal menuju puncak akan ia nikmati dengan sederhana dan apa adanya, sambil memetik makna dan pelajaran yang terselip dalam setiap momen tersebut.
Pelajaran berharga yang ia dapat mungkin akan jauh lebih besar dan akan dapat merubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Tak instan memang, tapi berproses.
Jika kita ingin mendapatkan ‘hasil’ lebih dari sekadar mencapai puncak saat melakukan pendakian, sepertinya kita perlu merevisi alasan dan tujuan awal kenapa kita pergi mendaki. Kita perlu mencari jawaban yang paling selaras dan sesuai untuk diri kita sendiri atas pertanyaan “mengapa kita mendaki gunung?” yang saya bahas di atas.
Jikapun Kamu tak ingin merubah alasan utama mengapa melakukan pendakian karena hal itu sudah menempel dan menjadi bagian diri dan hobimu (misal Kamu sangat hobi dan senang berswafoto), saran saya jangan terlalu fokus pada tujuan tersebut, nikmati juga momen-momen lain dalam perjalanan yang mungkin akan dapat memberi nilai pelajaran lebih.
***
Seperti banyak petualang bijak bilang : “Bukan alam yang harus kita taklukkan, namun ego dan kesombongan yang berkuasa dalam diri.”
Setelah melewati proses panjang dan perenungan, saya rasa, mendaki gunung adalah sebuah kesempatan berharga untuk sarana kontemplasi dan refleksi diri dalam rangka proses pendewasaan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan sekadar ajang untuk mengagungkan eksistensi dan kebanggaan semata.
Sayang, kan, jika bayaran atas segala usaha dan waktu yang kita korbankan untuk bisa pergi mendaki hanyalah berupa sejumlah gambar swafoto bukti eksistensi dan secuil tambahan kesombongan dalam hati atas sebuah pencapaian yang kita anggap penaklukan saja. Ingat, sejatinya alam takkan mungkin bisa kita taklukkan. Seperti banyak petualang bijak bilang : “Bukan alam yang harus kita taklukkan, namun ego dan kesombongan yang berkuasa dalam diri.”
Jika kita mau menggali dan sedikit lebih menikmati perjalanan dengan cara yang berbeda, saya yakin akan banyak sekali hal yang bisa kita pelajari, entah itu dari orang-orang yang kita temui di pinggiran jalur pendakian, dari dedaunan yang berjatuhan dari pepohonan, dari perjuangan kita melewati terjalnya tanjakan, dari gumpalan awan yang menghampar bagai lautan, dari warga lokal di sekitar dan lain sebagainya. Cukup buka mata dan hati kita selebar-lebarnya, agar makna dan nilai pelajaran dari perjalanan bisa lebih mudah masuk dan mengalir ke dalam jiwa kita.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi bahwa mereka yang pergi mendaki untuk sebuah pencapaian kebanggaan diri atau untuk sekadar bersenang-senang merekam dokumentasi pribadi adalah salah. Kamu berhak memilih apapun yang Kamu suka, karena toh itu hidupmu sendiri juga.
Tulisan ini hanya sebentuk refleksi diri saya atas apa yang saya rasakan, renungkan, dan pelajari dari pengalaman perjalanan yang pernah saya dapat. Jika kawan-kawan tidak setuju dengan semua itu, tidak mengapa, dan silahkan acuhkan saja tulisan ini. Sedangkan jika ada kawan-kawan yang merasa setuju dan sejalan dengan pemikiran yang saya tuangkan, mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi sarana pembelajaran yang berharga untuk kita semua.
Salam Rimba!