Saya bukan warga asli Semarang, hanya saja 4 tahun tinggal di Semarang membuat saya memiliki kesan mendalam tentang Taman Budaya Raden Saleh.
Pertama kali saya mengenal tempat ini kesan pertama saya adalah klasik, dan juga seram. Banyaknya pohon besar membuat pikiran membayangkan nuansa film-film horor Thailand yang sering saya tonton.
Saat itu adalah malam penganugrahan Festival Film Lawang Sewu. Saya dan beberapa kawan yang tergabung dalam “11 Jari Production” kala itu membuat sebuah film bertema lingkungan untuk festival ini, dan berhasil masuk 10 besar.
Anak muda kreatif pecinta film dari berbagai daerah berkumpul jadi satu, didalam gedung. Satu persatu film yang berhasil masuk nominasi diputar. Saat film berjudul “Aku” diputar di layar utama, ada rasa bangga dan haru terselip. orang-orang yang ada didalam gedung saat itu adalah para pembuat film, pengamat, serta sutradara-sutradara film senior Indonesia, dan film kami diputar didepan mereka!
‘Ini nggak bercanda kan? Itu film kita diputar di depan, Aditya Gumay nonton film kita!’
Titan, satu-satunya wanita di tim kami masih tak percaya. Dia masih terus bertanya sambil menangis.
Tentu saja, kami semua amatir, “Aku” adalah film pertama kami. Sebuah film tentang perjalanan sampah, dari mulai “tercipta” hingga kembali terbuang. Film yang di ambil hanya menggunakan handycam seadanya.
Pada akhirnya kami tak mendapat penghargaan apapun, namun tak ada rasa sesal di hati. Kami bertatap muka dengan tokoh-tokoh film nasional, bertemu pembuat dilm seumuran dari berbagai daerah, dan sebuah wejangan berharga dari Aditya Gumay, sutradara kawakan Indonesia yang menjadi salah satu juri.
Saat kalian memberanikan diri membuat film, kalian telah membuat sejarah. Setelah mati, manusia hanya diingat atas apa yang pernah dihasilkannya selama didunia. Terus tinggalkan jejak kalian di bumi
Seluruh orang dalam gedung memberi applause saat kalimat usai diucapkan. Wejangan yang sangat menancap di hati masing-masing orang kala itu.
Taman Budaya Raden Saleh menjadi saksi, terciptanya impian calon-calon sutradara masa depan Indonesia
Sore itu cukup mendung. Saya khawatir hujan akan mengacaukan pertunjukan malam ini, pertunjukan pertama saya bersama kelompok Gambang Semarang Art Company di acara pembukaan Future Leader Summit (FLS) 2014.
Acara bertempat di panggung pertunjukan bagian belakang kawasan Taman Budaya Raden Saleh.
Saya duduk di bangku penonton, memandang tata panggung yang telah disiapkan panitia. Simpel, namun sangat unik. Kami akan tampil di bawah pohon besar dengan akar-akar besar menggantung.
Saya berdebar membayangkan nanti para penonton yang merupakan anak-anak muda peserta FLS akan duduk disini.
Saya bergabung bersama Gambang Semarang Art Company karena ajakan Mas Bayu, salah seorang dosen saya yang juga tim pelawak dari Gambang Semarang Art Company. Saya tak memiliki dasar musik tradisional sedikitpun, namun mereka mempercayakan gong pada saya. Saya bertekad membayar kepercayaan yang telah diberikan.
Cuaca cerah. Akhirnya pertunjukan dimulai. Kami membuka acara dengan lantunan lagu Gambang Semarang. Saya tahu saya sempat melakukan kesalahan di beberapa bagian, namun lagu akhirnya berhasil diselesaikan dengan diakhiri tepuk tangan meriah penonton.
Pertunjukan berjalan lancar hingga lagu-lagu berikutnya. Gambang Semarang Art Company terdiri dari tim pelawak dan pemusik. Tim pelawak benar-benar sukses melaksanakan tugasnya. Suasana hidup dan meriah. Begitupun tim pemusik yang dibentuk dengan sangat mendadak dan persiapan minim berhasil membuat para peserta FLS yang datang dari berbagai penjuru Indonesia menikmati musik Jawa yang kami bawakan.
Tangan ini yang awalnya kaku karena grogi, mulai luwes memainkan gong. Saya menikmati malam ini. Mereka semua -penonton, panitia dan rekan-rekan Gambang Semarang Art Company begitu luar biasa.
Viva la vida dari band mancanegara Coldplay yang kami mainkan menggunakan gamelan menjadi penutup acara ini. Saya memandang bangku penonton.
Suasana benar-benar heboh!
Kembang api, pendar lampu sorot berwarna-warni yang menerobos lewat dry ice panggung, Mas Umam -salah satu tim pelawak kami, bergelantungan di akar pohon, penonton ikut bernyanyi, benar-benar akhir yang sempurna.
Tanpa sadar mata saya memanas. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya dapat tampil di acara seperti ini, di tempat sakral dimana para musisi dan budayawan veteran pernah tampil disini.
Rasa lelah karena jadwal latihan yang sangat padat mendapat ganjaran setimpal.
Bangku penonton telah sepi. Acara usai, pertunjukan sukses. Anggota Gambang Semarang Art Company saling berangkulan dan bersalaman. Saling berucap terima kasih dengan mata basah.
Taman Budaya Raden Saleh menjadi saksi kebangkitan kembali Gambang Semarang Art Company, setelah berbulan – bulan lamanya vakum, memberi sinyal siap meramaikan kembali dunia seni Semarang.
***
Taman Budaya Raden Saleh, berisi kenangan banyak orang. Tempat lahirnya seniman-seniman muda, yang mungkin kelak akan menggebrak dunia. Saya benar-benar berharap, tempat ini akan terus ada, untuk selamanya.