Pada dasarnya saya bukan seorang yang suka berkomentar atau mengatur gaya traveler lain.
Apapun yang kamu lakukan untuk mendapatkan kesenangan – berkeliling dunia, menginap di resort mahal di Bali, menjelajah hutan belantara di Papua sana, itu hak setiap orang.
Namun saat kamu berada di daerah lain, ada suatu aturan atau budaya lokal yang harus kamu pahami.
Jika diibaratkan, kamu adalah orang yang sedang bertamu di rumah orang lain. Kesan pertama sangat penting, sekali bertindak buruk, citra daerahmu akan ikut memburuk.
Mungkin kita terbiasa berucap dengan volume keras di kampung halaman, namun itu bukan alasan. Semua orang, pada umumnya, tak suka berbicara dengan seorang – yang baru dikenal dengan nada bicara tinggi dan cenderung memerintah.
Tak masalah jika itu kawan akrabmu, tapi kita tak bisa memperlakukan semua orang dengan sama.
Seorang kawan saya asal Kendari, kampung halamannya adalah wilayah pesisir pantai. Saat saya ajak berkunjung ke Solo, kami tersesat. Dia turun dari motor dan bertanya pada seorang tukang parkir dengan nada bicara sangat lembut, bahkan sembari menunduk-nundukan badan.
Bagi saya yang biasa mendengarnya berbicara dengan volume keras hanya tersenyum geli. Namun saya salut, dia mau berusaha mengerti dan memahami budaya lokal.
Saat berada di Nusa Dua Bali, saya melihat seorang turis membentak pemandunya karena keinginannya tak dituruti. Usut punya usut, semua memang dikarenakan si turis datang terlambat, sehingga tak dapat mencoba wahana parasailing. Hari terlanjur gelap.
Kejadian seperti diatas mungkin cukup sering kita alami. Hal terpenting yang perlu diingat adalah, kita tamu, mereka tuan rumah. Berlakulah sebagai tamu yang baik. Selesaikan permasalahan tanpa sebuah bentakan.
Saat tersesat di Jogja, saya beruntung mendapat tumpangan becak gratis. Alasan si tukang becak simpel. Dia kasihan melihat saya yang berkeliling kesana kemari dengan raut muka bingung, dan saya bertanya dengan sopan pada dirinya.
Jangan pernah lupakan kata “permisi, maaf, terima kasih” saat berada di ‘rumah’ orang. Nampak sepele, namun sebenarnya sangat penting.
Bercerita tentang kekurangan daerah yang sedang dikunjungi, sembari membandingkannya dengan daerah asal di depan warga lokal adalah tindakan bunuh diri.
Seramah apapun, tak ada tuan rumah yang suka rumahnya dihina.
Hal yang sangat sering saya temui di perjalanan. Di Sukowati, Bali, saya berpapasan dengan serombongan anak muda berbicara dengan logat lokal yang dibuat-buat agar teman-temannya tertawa. Sebuah selera humor yang buruk. Apalagi mereka melakukannya di depan warga lokal pengguna logat tersebut.
Tak pernah ada yang suka logat berbicaranya di tirukan untuk bahan bercandaan, bahkan oleh seorang yang cukup akrab sekalipun.
Saya berjumpa dengan beberapa rombongan abg tanggung, mengobrol dan tertawa keras di tempat Makam Raja Imogiri Bantul. Mereka berfoto selfie sembari berteriak-teriak histeris layaknya abg masa kini.
Seorang tua menegur mereka. Setelah si orang tua pergi, mereka melanjutkan aktivitas alay mereka. Bukan karena foto selfie saya menyebut mereka alay, tingkah mereka yang tak bisa menempatkan dirilah yang alay.
Melihat tingkah mereka saya teringat kisah seorang kawan yang sakit keras setelah tak sengaja memecahkan sebuah kendi di depan rumah di Bali.
Saya bukan seorang penggila kisah mistik, namun saya termasuk orang yang yakin bahwa tiap tindakan kita akan selalu ada balasannya.
***
Traveling adalah salah satu jembatan budaya. Citra daerahmu dipertaruhkan di pundakmu.