photo from whatsupsemarang.blogspot.com
Kulitku terasa terbakar oleh sengatan matahari, hawa panas seakan telah menjadi bagian dari suhu tubuh. Berkali-kali saya menyeka keringat yang ada di dahi dengan sapu tangan yang selalu kubawa kemanapun aku pergi, sebenarnya baru kali ini saya tidak pernah lupa membawa benda yang satu ini. Sebelumnya, saya tak pernah ingat satu benda ini ketika masih berada di Bogor. Tapi, kini benda ini seakan menjadi sahabat setiaku kemanapun aku pergi.
Sudah sebulan saya menginjakan kaki di ibu kota Jawa Tengah ini. Semarang membuat saya seperti tokoh Alice di film “Alice in Wonderland” produksi Disney. Pikirku, dengan embel-embel ibu kota akan membuat hidup saya lebih mudah seperti mudahnya hidup di Jakarta. Kata ibu kota juga membuat saya berpikir kalau kehidupan di sini tidak jauh berbeda dengan kehidupan saya di Bogor.
Ternyata pikiranku itu salah total, baru sebulan saya sudah mengalami berbagai kejadian, misalnya yang paling sering adalah salah komunikasi. Kalau kamu juga orag asing yang merantau ke Semarang, mungkin kamu juga pernah menemukan istilah-istilah yang saya dengar.
Masyarakat Jabodetabek cenderung memiliki sifat yang praktis dengan penggunaan bahasa yang universal, sehingga akan mudah dipahami karena memang menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa pengantarnya. Hal demikian menyebabkan kecilnya risiko salah komunikasi, mengingat daerah Jabodetabek adalah daerah yang heterogen alias kote dengan sejuta manusia rantauan. Maka, dipilihlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai solusi alternative untuk berkomunikasi.
Lain halnya dengan Semarang, walaupun sebagai Ibu Kota, penggunaan bahasa Jawa masih sangat kental. Singkat cerita, siang itu saya bersama teman saya, Euis, sesama perantau dari Bogor hendak pergi ke suatu tempat, kalau kamu orang Semarang pasti sudah hafal jalan menuju Stasiun Poncol, tapi tentu tidak buat saya dan Euis. Akhirnya kami pun memutuskan untuk aktif bertanya dengan sesama pengendara motor. Saya ingat betul pengendara motor lain mengucapkan kata “bangjo”. Oke, satu klu yang harus saya ingat untuk menuju tempat tujuan. Kata “bang” yang seperti kata “abang”, kalau di daerah saya untuk sebutan laki-laki, kalau di Jawa setara dengan kata “mas” dan “jo” seperti nama panggilan. Berspekulasi seperti itu, akhirnya saya menyimpulkan bahwa “bangjo” adalah kedai makan, spesifiknya adalah kedai makan yang menjual makanan bakso.
Setelah berkeliling cukup lama dan kami pun kelelahan saya bertanya kepada salah satu pedagang kali lima hingga akhirnya terjadilah percakapan singkat;
Saya : “Bu, permisi mau tanya, kalo warung makan Bangjo di sebelah mana ya, Bu?”
Ibu : “Warung Bangjo? Ora ono ik mbak.”
Saya : “Masa, Bu? Tadi saya tanya arah jalan katanya ada, Bu.”
Ibu : (bertanya kepada bapak-bapak pelanggan) “Pak, neng kene ndak ono warung
Bangjo? Orak ono yo pak?”
Bapak : “Mboten enten, Bu. Lha mbake cari apa tho?”
Saya : “Saya mau ke Tugu Muda, Pak. Tadi saya tanya katanya ngelewati Bangjo terus
belok terus bla..bla..bla..intinya Bangjo.”
Bapak : “Mbake orang mana tho?”
Saya : “Bogor, Pak”
Bapak : (Sambil tertawa terbahak-bahak bersama Ibu penjual) “walah.. Bangjo ki lampu merah mbak, boso Jowo kuwi…”
Perasaan pun menjadi campur aduk setelah mengalami kejadian ini, merasa bodoh? Tentu saja. Pengalaman salah komunikasi tidak hanya sekali saya alami, kali ini saya sempat dipermalukan oleh istilah “montor mabur”. Motor di daerah saya artinya adalah kendaraan beroda dua, itu disebut motor, sedangakan mabur menurut spekulasi saya sebagai pendatang amatiran adalah kabur.
Suatu sore saat saya jogging, saya mendengar suara anak-anak sedang meneriakan kata “montor mabur” dengan hebohnya. Saya tidak ambil pusing dan tetap melanjutkan jogging. Setibanya di kost, saya menceritakan apa yang saya dengar, sebagai seorang wanita yang tidak jauh suka menggosip, saya menyimpulkan kembali bahwa telah terjadi pencurian motor, setelah ditanya sumber informasi, saya pun menceritakan bahwa saya mendengarnya dari sekelompok anak-anak yang berteriak-teriak “montor mabur”, belum selesai bercerita, saya pun ditertawai habis-habisan oleh penghuni kost yang mayoritas orang Jawa. Usut punya usut, ternyata “montor mabur” memiliki arti “pesawat terbang”. Untuk kedua kalinya saya pun merasa seperti orang bodoh.
Mungkin dua cerita di atas adalah cerminan kesalahan saya yang terlalu polos untuk menyimpulkan segala sesuatu sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu. Pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman saya adalah berbeda tempat, berbeda pula bahasanya. Saya kemudian sadar bahwa tidak semua tempat itu bisa disama-samakan, apalagi dengan pengaruh embel-embel “kota”. Tidak semua kota itu memiliki iklim yang sama. Buat kamu para perantau, pelajarilah budaya dan bahasa daerah tempatmu merantau, dimana bumi berpijak, disitulah langit dijunjung.