Perburuan paus (whaling) dipercaya sebagai salah satu tradisi kuno yang sudah berlangsung secara turun-temurun sejak tahun 3000 SM. Biasanya perburuan paus dimaksudkan untuk memperoleh daging, minyak, dan lemak yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Beberapa negara seperti Jepang, Norwegia, dan Indonesia memiliki sejarah panjang terkait kegiatan ini sebagai tradisi nenek moyang yang harus dilestarikan.
Berdasarkan data dari IUCN 2018, hampir semua spesies paus masuk dalam daftar merah yang berstatus rentan karena populasinya terus menurun di alam. Saat ini, perburuan paus menjadi perdebatan yang sengit. Kelompok pegiat lingkungan hidup sangat mengecam kegiatan perburuan paus yang dilakukan oleh Jepang, Norwegia, dan Islandia.
Belum lama ini, publik dunia digegerkan dengan keputusan Jepang yang mencabut moratorium perburuan paus yang sudah berjalan selama 30 tahun untuk kepentingan komersil. Pemerintah Jepang berdalih bahwa pencabutan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa alasan tersebut tidak relevan mengingat Jepang adalah negara maju dan anggota dari OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang bisa mencukupi kebutuhan protein dengan komoditas pangan lainnya.
Tidak banyak yang tahu, Indonesia juga memiliki tradisi perburuan paus yang sudah berlangsung selama lebih dari 500 tahun di Desa Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan jejak sejarah diketahui bahwa masyarakat Lamalera merupakan keturunan pelaut tiba dari Pulau Sulawesi bagian selatan sejak tahun 1500 M.
Saat tiba di Lamalera, mereka turut serta membawa tradisi perburuan yang dimodifikasi untuk menangkap paus di perairan selatan Pulau Lembata. Para pemburu menggunakan kapal layar yang disebut sebagai paledang beramai-ramai ke tengah laut. Jika ada paus yang melintas, maka juru tombak yang dikenal dengan lama fa akan melemparkan tombak ke arah paus dari haluan kapal.
Jenis paus yang biasanya ditangkap oleh masyarakat Lamalera adalah paus sperma (Physeter macrocephalus) atau dikenal dengan koteklema. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga memburu lumba-lumba spinner (Stenella longirostris), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), paus pembunuh (Orcinus orca), dan beberapa spesies blackfish seperti paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) untuk keperluan konsumsi.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan sebagian besar spesies buruan masyarakat Lamalera sebagai satwa yang dilindungi dan terlarang untuk diburu. Namun demikian, pelarangan ini tidak efektif karena masyarakat Lamalera tetap saja memburu paus karena telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya turun-temurun. Bahkan tradisi berburu paus menjadi salah satu atraksi favorit wisatawan yang berkunjung ke NTT.
Berbagai LSM yang bergerak di bidang pelestarian alam, World Wide Fund for Nature (WWF), dan Greenpeace pada mulanya menentang kegiatan ini. Namun setelah menyaksikannya sendiri, perburuan paus yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera ternyata tidak dilakukan secara serampangan dan bukan untuk tujuan komersil, tentangan maupun kecaman itupun tidak terdengar lagi.
Komisi Perburuan Paus Internasional (International Whaling Comission) telah mengkategorisasikan perburuan paus di Lamalera termasuk sebagai perburuan tradisional yang masih diperbolehkan. Namun demikian, sangat disayangkan Indonesia belum memiliki regulasi peraturan yang memberi definisi tentang perburuan tradisional terhadap spesies yang terancam punah, baik secara hukum legal maupun hukum adat.
Perburuan tradisional paus di Lamalera harus dilakukan secara lestari dengan melihat aspek sains hingga sosial budaya yang memastikan bahwa kegiatan perburuan ini adalah kearifan lokal. Perburuan lestari dilakukan dengan jumlah dibawah potensi penghapusan biologis (Potential Biological Removal) atau PBR, yaitu angka ambang batas jumlah hewan yang boleh ditangkap agar tidak merusak keseimbangan populasi hewan tersebut.
Saat ini Indonesia belum memiliki perhitungan potensi PBR. Mengetahui nilai PBR harus melalui survei jumlah populasi paus atau lumba-luma yang berada di jalur migrasi Lamalera. Tidak hanya itu, monitoring rutin juga diperlukan setiap tahunnya baik jumlah populasi di lautan maupun jumlah yang ditangkap agar memastikan data selalu akurat dan terpercaya.