Provinsi DKI Jakarta hingga saat ini masih menyandang predikat sebagai ibukota Indonesia yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat pereknomian negara. DKI Jakarta sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda, tak mengherankan jika banyak peninggalan bangunan kuno dengan arsitektur eropa yang khas.
Dibalik sisi artistik bangunan-bangunan kuno tersebut, tersimpan kisah kelam yang masih sering menghantui hingga hari ini. Berikut disajikan beberapa destinasi wisata angker di DKI Jakarta yang menyimpan kisah kelam dibaliknya.
Museum Wayang berlokasi di kawasan Kota Tua, letaknya tidak jauh dari Museum Fatahillah. Berbagai jenis koleksi wayang dari dalam hingga mancanegara tersimpan rapi di Museum Wayang. Bangunan Museum Wayang awalnya merupakan sebuah gereja yang dibangun pada tahun 1640. Pada 1808, bangunan gereja runtuh karena gempa bumi yang melanda Indonesia. Reruntuhan gereja kemudian dibangun kembali dan difungsikan sebagai Museum Wayang.
Lahan Museum Wayang menggunakan lahan bekas kompleks pemakaman Belanda. Salah satu tokoh terkenal yang pernah dimakamkan di tempat ini salah satunya adalah Jan Pieterszon Coen, salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Masa kepemimpinan Jan Pieterzon Coen dikenal sebagai masa yang kejam, karena pada saat itu dijalankan sistem politik adu domba untuk memecah belah bangsa Indonesia. Terkadang saat tertentu, terlihat penampakan sosok Jan Pieterzon Coen berjalan di lorong Museum Wayang.
Museum Fatahillah berada di kawasan Kota Tua yang menjadi salah satu bangunan cagar budaya peninggalan kolonialisme Hindia Belanda. Selesai dibangiun pada 1626, kini Museum Fatahillah difungsikan untuk balaikota, kantor catatan sipil, dan pengadilan. Sudah menjadi rahasia umum, Museum Fatahillah pernah menjadi lokasi peristiwa besar “Geger Pecinan”.
Geger Pecinan merupakan peristiwa pembantaian masal etnis Tionghoa oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa kolonialisme. Diduga pembantaian dilatarbelakangi isu ekonomi dan politik pada masa itu. Sebanyak 5000-10.000 orang dari etnis Tionghoa meregang nyawa di depan Museum Fatahillah akibat Geger Pecinan.
Menara Saidah dibangun pada 1995, awalnya difungsikan sebagai kantor Kementerian Pembangunan Wilayah Timur Indonesia yang sekarang disebut Kementerian Pembangunan Daerah Terpencil. Saat gedung ini dilelang, Keluarga Saidan berhasil memenangkan dan melakukan renovasi besar-besaran dengan menambahkan 10 lantai baru.
Tahun 2007, Menara Saidah masih digunakan sebagai kantor untuk beberapa perusahaan. Perlahan banyak kantor yang memutuskan pindah dan meninggalkan Menara Saidah karena beberapa alasan. Beberapa alasan paling populer diantaranya adalah cacat konstruksi, Menara Saidah miring beberapa derajat sehingga sangat rentan runtuh.
Alasan lain karena banyak karyawan yang sering diganggu oleh berbagai makhluk tak kasat mata. Kabar yang beredar, lift di Menara Saidah berjalan sangat lambat, disebabkan oleh adanya sosok astral sangat besar yang duduk diatas lift sehingga membuatnya berat. Hingga saat ini, Menara Saidah masih terbengkalai dan penuh oleh cerita mistis yang mengerikan.
Toko Merah juga berada tak jauh dari kawasan Kota Tua, tepatnya di jalan besar area Kota Tua. Toko Merah awalnya merupakan kediaman pribadi untuk Gubernur Jendral Hindia Belanda yang dibangun pada tahun 1730. Beberapa kali mengalami alih fungsi dari hotel, hingga rumah pribadi seorang warga pribumi.
Namun kabarnya, Toko Merah dahulu juga pernah menjadi bagian dari peristiwa Geger Pecinan di Museum Fatahillah. Konon sebagain korban Geger Pecinan dibantai di Toko Merah. Tak hanya itu, sungai yang berada di depan Toko Merah dahulu menjadi tempat pembuangan mayat korban pembantaian masa kolonialisme.
Sebelum menjadi stasiun, kawasan Manggarai merupakan wilayah perkampungan dan pasar budak orang-orang Manggarai, Flores. Pembangunan Stasiun Manggarai diketuai oleh seorang arsitektur Belanda, Can Gendt. Sisi paling angker di Stasiun Manggarai terletak di bagian depo yang menjadi tempat penyimpanan gerbong-gerbong kosong. Beberapa gerbong bekas kecelakaan kereta api terparah sepanjang sejarah yakni Tragedi Bintaro.