Mengetahui tata cara sholat selama berada di dalam pesawat menjadi kewajiban para muslim dan muslimah saat melakukan penerbangan jarak jauh.
Hal ini termasuk menjadi perbincangan para fuqaha’ (Ahli Fiqih) tentang hukum melaksanakan shalat di dalam pesawat yang tengah terbang.
Shalat di dalam pesawat yang sedang berlabuh (tidak dalam keadaan terbang) tidak dipersoalkan lagi kebolehannya. Karena tidak ada suatu hal yang menuntut untuk melakukan shalat di luar ketentuan-ketentuan yang disyari’atkan.
Selama dalam perjalanan, tidak selamanya kewajiban shalat dapat dilaksanakan di luar kendaraan. Seperti halnya dalam pesawat, perjalanan tentu tidak mungkin dihentikan, sementara waktu shalat telah tiba.
Dalam hal ini para traveler muslim atau pun muslimah harus mengetahui dan melaksanakan tata cara sholat di dalam kendaraan yang sedang berjalan.
Antara angkutan laut, darat, dan udara tidak terdapat perbedaan yang prinsip bila dikaitkan dengan pelaksanaan tata cara sholat di dalamnya.
Karena keadaan yang dialami oleh seorang traveler pada ketiga jenis kendaraan itu adalah sama, yaitu kesulitan melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam syari’at Islam.
Jumhur ulama sepakat bahwa tata cara sholat yang diwajibkan adalah shalat wajib dilaksanakan oleh setiap individu dalam segala keadaan, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan baik ketika di atas pesawat maupun tidak.
Ketidaksepakatan mereka terjadi mengenai cara pelaksanaannya. Adapun cara pelaksanaan shalat di pesawat terbang, para ulama berselisih pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifah, seseorang yang sedang dalam cara duduk, baik dalam keadaan uzur maupun tidak. Uzur dimaksud ialah seperti tidak dapat berdiri karena goncangan pesawat atau karena sakit dan sebagainya.
Keadaan duduknya sama dengan duduk dalam tasyahud. Rukuk dan sujud dilakukan dengan isyarat yaitu dengan cara menundukkan kepala, tetapi penundukan kepala pada waktu sujud lebih rendah dari rukuk.
Abu Yusuf (113-182 H/731-198 M) dan Muhammad Ibnu Hasan al- Syaibani (748-804 M). Keduanya adalah murid dari Abu Hanifah yang berpendapat lain dengan gurunya.
Menurut keduanya, seseorang yang sedang di atas pesawat tidak boleh melakukan shalat dalam keadaan duduk kecuali dalam keadaan uzur.
Alasan mereka ialah bahwa shalat yang diperintahkan itu pada dasarnya harus dilaksanakan dengan keadaan berdiri. Hal ini seperti ditegaskan pada ayat, “Peliharalah segala shalatmu dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (QS. Albaqarah [2]: 238).
Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tak ada yang berbeda mengenai tata cara sholat yang disyaratkan oleh orang yang sedang berada dalam perjalanan, baik perjalanan darat, laut, termasuk udara, yakni perjalanan menggunakan pesawat terbang.