Tak ada bilangan yang benar-benar sempurna menggambarkan kecantikan seseorang karena sifatnya yang subjektif. Jika kebanyakan orang akan berasumsi kulit putih, langsing dan tinggi merupakan standar kecantikan yang sempurna, lain halnya dengan perempuan suku Mentawai. Suku yang menetap di Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut, Sumatera ini membawa konstruksi kecantikan pada level yang berbeda.
Setiap wanita menginginkan dirinya tampil cantik dan menarik di mata orang lain. Segala upaya pun dilakukan untuk memenuhi standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Mulai dari perawatan wajah, operasi kecantikan, hingga treatment-treatment aneh pun dilakukan demi sebutan ‘cantik’.
Di negara-negara barat mengidentikan cantik dengan kulit mulus dan hidung mancung. Di negara-negara Asia pun, cantik sering dikaitkan dengan kulit putih, rambut hitam panjang, dan bentuk tubuh tinggi langsing. Namun, siapa yang akan mengira jika gigi yang lancip penuh pahatan merupakan suatu kecantikan?
Menerjang standar kecantikan dunia, inilah suku Mentawai dengan tradisi kerik giginya. Tujuan kerik gigi ialah untuk terlihat cantik dan menarik di mata pria di sekelilingnya. Selain itu, tradisi ini juga dipercaya sebagai penanda kedewasaan wanita.
Selain untuk kecantikan, tradisi ini memiliki tujuan untuk bisa mengendalikan 6 sifat buruk, yang sebelumnya sudah ada di dalam diri manusia di mana ke enam sifat buruk yang ada di dalam diri manusia itu dikenal dengan ‘sad ripu‘. Tradisi kerik gigi ini juga dipercaya sebagai pengantar jiwa gadis mentawai menuju kedamaian yang diinginkan.
Pesona kecantikan yang muncul pada gadis mentawai diyakini dapat memberikan kebahagiaan yang hakiki, keinginan jiwa harus sejalan dengan bentuk tubuh. Maka setiap langkah akan menghadirkan pesona bagi lelaki yang memandangnya. Kerik gigi ini juga dimaknai sebagai sebuah lambang tentang perjuangan gadis Mentawai dalam menemukan jati dirinya.
Proses pengerikan gigi ini tak dilakukan oleh sembarang orang. Prosesi ini umumnya dilakukan oleh ketua adat setempat. Tradisi kerik gigi ini akan sangat menyakitkan, karena para ketua adat melakukannya tanpa proses pembiusan. Adapun alat yang digunakan untuk membuat gigi menjadi runcing ini merupakan sebilah perangkat dari besi atau kayu yang sudah mereka asah hingga tajam. Bagi perempuan suku Mentawai, rangkaian prosesi menahan sakit inilah yang diyakini sebagai penemuan jati diri.
Tradisi kerik gigi ini memakan waktu yang tak sebentar. Kurang lebih butuh waktu sekitar setengah jam, nyaris tanpa jeda. Wanita yang dikerik giginya hanya diberi waktu sebentar untuk sekadar menghela nafas sesaat. Untuk meredakan sakit yang ditanggung paska kerik gigi, umumnya digunakan pisang hujau yang digigit hingga habis.
Meskipun menyakitkan dan memakan waktu yang cukup lama, namun tradisi ini masih awet terjaga di masyarakat. Seringkali para wanita di suku adat Mentawai ini akan menanti-nantikan prosesi kerik gigi agar mereka bisa terlihat lebih cantik dan lebih menawan dengan bentuk gigi yang lebih runcing dan tajam seperti gigi drakula.
Prosesi ini umumnya juga dilakukan ketika seorang mempelai wanita akan menikah. Hingga kini, wanita dan masyarakat Mentawai masih melakukan prosesi meruncingkan gigi.
Tradisi unik dari Mentawai ini kembali mengingatkan kita pada standar kecantikan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, tetap percaya diri akan penampilanmu ya Phinners! Kecantikan batin akan menjadi lebih bernilai dan menarik daripada hanya sekadar kecantikan fisik.