Pengalaman berbeda berwisata di Sabang saya rasakan di hari Jumat. Tak ada bule, tak ada turis domestik. Masyarakat larut dalam suasana “nyepi”.
Nyepi di Sabang tentu tak sama dengan tradisi perayaan Hari Raya Hindu di Bali. Masyarakat Pulau Dewata menyepi hanya sekali dalam setahun. Tapi masyarakat Pulau Weh melangsungkannya setiap hari Jumat. Pun secara umum di Aceh berlaku adat tak tertulis, tak boleh mengerjakan segala aktivitas berat hingga Jumatan berlalu. Pada hari itu warga muslim diharapkan lebih banyak beribadah.
Saya berkesempatan menikmati suasana nyepi di Sabang pada Jumat 30 Oktober lalu. Pilihan saya adalah keliling kota di pagi hari. Saya susuri jalan beraspal dari Kota Atas ke Kota Bawah.
Dari penginapan di Jalan Oentung Surapati, sinar mentari temani saya jalan kaki ke Simpang Garuda, melalui jalur pedestrian dipenuhi lumut yang lembab.
Saya terus susuri jalan ke arah Kantor Walikota. Tangan-tangan asam jawa yang kekar meneduhkan pelintas jalan.
Di satu titik, saya singgahi Taman Digital karena penasaran dengan tulisan “Wifi Zone”. Beberapa pemuda sudah mangkal dengan laptop dan gadget di tangan. Saya coba login, ternyata benar-benar gratis dan lumayan cepat.
Terus saya turun melalui Taman Ria. Melewati Gedung Kesenian, kelihatan beberapa kedai tutup. Satu kios di tepi jalan malah mengumumkan, “Maaf! Libur untuk Sementara”. Sabang benar-benar santai banget, saya membatin.
Saya terus jalan kaki hingga berpapasan dengan seratusan personil polisi yang jogging di Jalan Malahayati. Di jalan ini, saya melipir ke Pelabuhan Bebas di pangkal Teluk Sabang. Pelabuhan yang dibangun Belanda pada 1881 ini dulunya bernama Kolen Station. Pernah jaya sebagai jalur pelayaran internasional.
Dari pelabuhan, saya dan kawan perjalanan, memulai tur dengan mobil taxi menuju Pasar Sabang. Menyudahi olahraga pagi.
Keramaian baru terlihat di Pasar Sabang di Jalan Perdagangan. Nuansa kota tua bekas peninggalan Belanda mulai terkikis oleh aktivitas dagang. Tiang-tiang lampu khas Eropa sudah berkarat. Bangunan-bangunan lapuk, beberapa di antaranya tertutupi spanduk-spanduk reot. Pedagang dan pembeli, berbaur antara etnis Cina dengan Aceh. Lalu-lalang di muka toko-toko yang berjejeran. Bukan sebuah perkara.
Di salah satu sudut Jalan Perdagangan, diparkir tiga mobil impor. Datsun tua berwarna biru, perak, dan hijau, sudah dipasangi kap di bagian belakang. Kelihatan seperti armada patroli polisi India. Tapi hanya ada dua bocah perempuan bercengkerama di salah satu mobil lawas itu.
Jika mau melihat ragam jenis mobil impor dari Singapura lainnya, berlama-lamalah kamu menghabiskan waktu di Jalan Perdagangan ini. Tapi saya tak sabar ingin mengeksplor sudut lain.
Saya seberangi jalan. Berpisah dari kawan. Melangkah di antara lapak-lapak dagang yang mengapit jalur Tangga Tujuh. Warung kopi, kedai penjual perkakas dapur, sembako, rempah-rempah, dan sebuah warung pangkas terasing di ujung pasar.
Kamu tak pernah bisa menyepi di pasar, bukan?
Tangga Tujuh terus saya naiki. Tangga-tangga berwarna-warni ini merayapi bahu bukit yang menuntun saya ke Kota Atas. Di salah satu titik, tampak Teluk Sabang di balik pasar sana.
Dari pasar, kami sesap secangkir kopi di deSagoe Kuphie, di Simpang Garuda, sebelum melanjutkan trip ke timur kota. Tapi di kedai kopi Aceh, nyepi juga takkan pernah berlaku.
Samudera Hindia sejukkan mata saat melintasi Gampong Ie Meulee. Menatap keindahan Pantai Sumur Tiga dari balik rumah-rumah dan pokok kelapa. Lebih-lebih, tak ada turis lalu-lalang di jalanan.
Casanemo & Spa Resort menjadi tujuan kami merasakan kesepian tersaji di halaman pantai. Bule berjemur di pantai, bermain pasir, membaca buku di pondok-pondok, atau snorkeling di lautan jernih, hanyalah ilusi. Turis domestik pun tak tampak. Apakah mereka memang tahu kalau Jumat sedang berlangsung hukum adat? Semoga iya.
Keluar wilayah timur Sabang, kami memutar via Jalan Cot Ba’ Geutom yang mirip sirkuit itu, menuju Gampong Cot Ba’ U, menuruni Jalan Tinjau Alam yang berliku namun disuguhi panorama Danau Aneuk Laot yang damai, lantas menempuh rute ke Iboih.
Tapi tak sampai ke Iboih. Di sana juga pasti sedang menyepi. Kami singgah di Gerai Rujak dan Kelapa Muda Pulau Klah. Sebuah kedai di bibir jurang dengan sajian panorama Selat Malaka.
Di bangku-bangku kayu kami duduk. Pepohonan menjadi payung sementara, sembari seruput kelapa muda segar, dan memandangi pelan-pelan keindahan di depan mata.
Pulau Klah, mengapung di Teluk Sabang yang tenang. Terik matahari membuat permukaan air tampak biru dan toska di sekitar pulau. Terlihat pula Sabang Hill di ujung utara, di balik Pelabuhan Sabang.
Saya akhiri Jumat nyepi di Masjid Agung Babussalam Sabang yang tampil mewah, dengan arsitektur Timur-Tengah. Berdiam diri menyimak siraman rohani sang khatib, diusap angin siang, membuat Jumat di Sabang terasa sempurna.[]