Ada yang berkata traveling bukan tentang sejauh mana kita pergi, tetapi tentang sebanyak apa yang kita dapatkan. Kalimat itu seperti memberi angin segar disaat otakku penat dengan segala kesibukan, sedangkan waktu dan dana untuk liburan nihil.
Anggapan yang seakan menyindirku karena belum mengenal baik daerah sendiri. Namun, akhirnya membuatku menelusurinya.
Bermain air, membangun istana pasir, hingga berpose dengan latar pantai pasir berkarang akan lengkap dengan deburan ombak yang bersahabat khas Pantai Utara Jawa. Dulu, saat pertama kali berkunjung ke sini, aku langsung tertarik ke sisi timur pantai.
Dataran tanah berbatu yang sedikit menjorok ke pantai, sekilas mirip dengan Tanah Lot di Bali. Siapa yang menyangka, Gajah di pelupuk mata tak nampak. Kutu di seberang lautan, nampak.
Waktu terbaik tentu mengunjunginya adalah pagi-pagi sekali saat matahari terbit. Kamu perlu bangun pagi-pagi sekali jika tak ingin ketinggalan indahnya Srengenge Njedhul, orang terbiasa menyebutnya sunrise.
Rembang juga punya spot terbaik untuk melihat matahari tenggelam. Sebuah pantai tepat di pinggir jalan pantura, salah satu tempat favoritku menikmati kopi. Tak akan aku dustakan nikmatnya secangkir kopi panas dengan panorama hamparan laut yang luas.
Ramainya lalu-alang kendaraan di jalan pantura seketika akan hening, kalah dengan indahnya sunset dan nikmatnya secangkir kopi. Suara percik ombak yang menabrak karang menambah suasana romantis jika kamu kesini bersama pasangan.
Coba rasakan sensasi lain berkunjung kesini yaitu saat bulan Syawal kalender Hijriyah. Pantai akan ramai sekali pengunjung, masyarakat tumpah ruah untuk ikut meramaikan tradisi sedekah laut. Sebuah tradisi semacam syukuran yang ditandai dengan pelepasan sesaji ke laut.
Jangan lewatkan juga untuk ikut partisipasi dalam tradisi lomban, yaitu ber’pesiar’ menuju pulau-pulau kecil di sekitar pantai. Akan jadi momen yang berkesan dan langka karena hanya dilakukan sekali setahun.
Di Rembang, sebuah kota dengan daerah berbukit-bukit, bahkan ada juga yang menyimpan kekayaan sumber mata air. Namun satu-satunya gunung di Kabupaten Rembang adalah Gunung Lasem.
Gunung Lasem dengan puncak Argopuro-nya merupakan tempat favorit untuk kegiatan ekstra kulikuler Pramuka maupun Siswa Pecinta Alam. Sewaktu masih SMP, aku dan teman-teman tak jarang menghabiskan weekend dengan mendaki lalu berkemah dipuncak.
Meskipun tidak terlalu tinggi, disini kamu dapat melihat pemandangan wilayah Lasem dan sekitarnya lebih luas. Hamparan luas sawah-sawah dan garis pantai utara laut Jawa yang membentang dari barat ke timur, lukisan nyata yang pantas kamu coba.
Saat malam tiba, pemandangan menakjubkan kerlip-kerlip lampu ditambah kompleks bangunan PLTU Sluke. Dengan sedikit imajinasi, saat malam kompleks PLTU dengan lampu-lampu yang sangat terang terlihat seperti kunang-kunang raksasa yang berdiam di tepi laut.
Mengunjungi salah satu kampung batik di Lasem bisa menjadi alternatif yang menarik. Lebih menarik lagi bertamu di salah satu rumah pengrajin batik lalu melihat proses pembuatan batik Tulis Lasem. Menyapa ramahnya ibu-ibu pengrajin, atau bisa membeli salah satu motifnya sebagai cindera mata.
Batik Art Gallery, selain bisa melihat koleksi motif batiknya yang lengkap juga bisa mendapatkan banyak informasi tentang sejarah dan perkembangan batik Lasem. Di sini akan kamu temukan motif Batik Tiga Negeri yang terkenal, perpaduan 3 warna yang melambangkan 3 budaya yaitu Tionghoa, Eropa (Belanda), dan Jawa.
Asal mula nama Batik Tiga Negeri berawal dari proses pewarnaan yang dibuat di tiga daerah (negeri), yakni merah dicelup di Lasem, biru dicelup di Pekalongan, dan joga/coklat dicelup di Surakarta. Motif Batik Tiga Negeri yang unik tentu wajib dimiliki jika kamu pecinta batik.
Kawis atau kawista, kerabat dekat maja dan masih termasuk dalam suku jeruk-jerukan. Buah yang konon asalnya dari India selatan ini banyak dijumpai di daerah Rembang – Lasem. Kurang begitu populer karena kalah saing dengan buah lain jika soal rasa. Rasanya tak sesegar jeruk pada umumnya, sehingga butuh pengolahan untuk dapat menikmatinya.
Di Rembang, buah Kawis diolah menjadi beberapa macam produk seperti dodol dan sirup. Sirup kawis memiliki rasa mirip dengan minuman cola berkarbonasi. Segar dan mengejutkan saat sampai dilidah. Ketika sirup dituang dalam gelas kemudian ditambahkan air, gelembung-gelembung udara akan muncul seperti minuman bersoda. Ada sensasi menggigit di lidah serta gas yang menyelusup hidung ketika meminumnya.
Ada sensasi seperti sedang berkunjung di Thailand ketika berkunjung di sini karena akan kamu temukan patung Buddha tidur atau Reclining Buddha. Tak perlu jauh-jauh dan menghabiskan banyak uang, karena di Indonesia pun ada.
Di sini juga akan kamu lihat beberapa patung Buddha dengan beberapa bentuk, serta sebuah miniatur Candi Borobudur bernama Candi Sudhammo Mahathera. Suasana sejuk dan hijau akan menambah lega nafasmu. Suasana yang jauh dari ekspetasi Rembang daerah pesisir yang panas. Sunyi, senyap, dan tenang.
Tak ada ritual khusus di vihara ini, karena memang hanya sedikit penganut di daerah tersebut. Hanya saja ketika datang Hari Raya Waisak, para penganut akan datang ke vihara dan diadakan doa bersama.
Setidakknya ada 3 kelenteng yang menarik untuk dikunjungi. Kelenteng kuno abad pertengahan yang khas dengan ukiran warna-warni juga hiasan patung naga dan singa.
Salah satu dari ketiganya yang paling terkenal adalah Kelenteng Cu An Kiong. Merupakan kelenteng tertua di Lasem, dengan keunikan ukiran kayu hasil perpaduan budaya Tionghoa dan pribumi. Ada sensasi kokoh saat kusenstuh ukirannya.
Kelenteng kedua yaitu Gie Yong Bio yang terletak di desa Babagan. Kelenteng dengan ciri bangunan yang sederhana, dikhususkan sebagai penghormatan masyarakat Tionghoa Lasem yang bersatu dengan pribumi melawan penjajah Belanda. Jiwa-jiwa dengan semakat yang berkoar turut aku rasakan saat memandang klenteng ini, seperti masuk ke lorong waktu.
Satu lagi kelenteng tua yang berada di Lasem bernama Poo An Bio. Mengunjunginya saat mengantar kenalan teman kuliah jurusan Sejarah. Kami beruntung, karena waktu itu melihat latihan para pemain meliuk-liukkan naga liong serta atraksi barongsai lengkap dengan tabuhan genderang khasnya.
Tak hanya kami, beberapa anak kecil juga terlihat kagum dengan pertunjukan gratis tersebut. Masuk ke dalam kelenteng kami melihat beberapa lukisan klasik Tiongkok yang menghiasi sekeliling tembok bangunan kelenteng.
Sekilas serasa berkunjung ke negeri tirai bambus ungguhan, berbagai barang dan ornamen khas Tiongkok ada di kelenteng ini.
“Pantas saja Lasem disebut The Little Tiongkok”, seloroh temanku.
Berjalan di atas jembatan kayu dan menyusuri hutan mangrove juga bisa kamu rasakan di Rembang. Tepatnya di Kawasan Konservasi Mangrove, menyerupai hutan mangrove di Surabaya. Namun, masih skala lebih kecil.
Sore hari adalah waktu yang tepat datang ke sini, bersantai di antara pohon mangrove sekaligus melihat matahari tenggelam. Tentu pengalaman yang menarik dan sangat jarang ditemukan di daerah lain.
Kawasan hutan mangrove ini sebenarnya masih bisa dikembangkan, mengingat daerah pesisir Rembang yang luas. Dalam anganku bukan hal mustahil 5 tahun lagi nantinya Rembang punya hutan mangrove yang eksotis seperti Bintan, atau akan punya Mangrove Education Forest seperti di Karimun Jawa.
Sate srepeh mirip dengan sate ayam dengan kuah dibuat dari gula jawa dan bumbu kacang kemudian dicampur santan kental. Sate dengan kuah, memberikan rasa gurih yang awet di lidah. Rasa pedas tentu ada menjadi ciri khas masakan pesisir.
Satu kuliner khas lainnya yaitu lontong yang dihidangkan dengan opor ayam. Hampir sama dengan sate srepeh, rasa gurih pedas yang dipadu kuah kental membuatku tak pernah bosan menikmatinya.
Memegang potongan ayam dengan tangan telanjang, lalu memakannya lahap mempunyai kenikmatan tersendiri. Ada yang menyebutnya Lontong Balap, karena saat menyantap bersama-sama seakan ingin balapan siapa yang cepat habis.
Untuk menikmatinya kita bisa mendatangi komplek warung yang berada di Desa Tuyuhan Kecamatan Pancur, sebelah selatan Lasem. Seperti namanya, Tuyuhan maksudnya adalah desa tempat asal kuliner ini.
Bercerita tentang wisata di Rembang membuatku rindu dengan rumah. Seaakan ingin segera pulang dan menelusuri lagi daerah-daerah yang mungkin menyimpan keindahan dan pengalaman untuk ditemukan.
Jika bukan kita yang bangga dengan warisan dan indahnya tanah sendiri, siapa lagi?