Menampilkan diri sebagai seorang turis terkadang merugikan.
Membayar barang lebih mahal, menjadi sasaran copet dan yang jelas menjadi pusat perhatian setiap orang. Menjadi pusat perhatian memang tak terlalu buruk, hanya saja tak semua orang menikmati saat bagian dari ujung kepala hingga kaki kita diamati lekat-lekat oleh tiap orang dijalan – termasuk saya.
Hal paling mencolok adalah busana kita.
Tak perlu menggunakan jaket REI, sepatu gunung, slayer di kepala, serta kacamata hitam saat berkeliling Malioboro. Berlaku sewajarnya. Cukup kenakan sandal jepit, kaos sehari-hari, dan cukup bawa tas pinggang kecil, tinggalkan ransel besarmu di penginapan.
Di Dieng coba gunakan celana pendek, sarung di leher dan kain penghangat kepala, warga lokal mungkin akan mengira kau adalah warga baru.
Sempatkan untuk duduk barang sebentar dan amati cara warga lokal berinteraksi – akan lerlihat suatu pola khas dari cara berinteraksi mereka.
Cara bercanda, cara mengucapkan ‘tidak’, cara ‘berterima kasih’ atau juga cara ‘meminta tolong’. Apalagi jika kita berasal dari daerah dengna latar belakang budaya yang sangat berbeda. Misal kita berasal dari Jawa dan bepergian ke Flores, atau Ambon, persiapkan diri agar tak mengalami culture lag.
Mengetahui seluk beluk tentang transportasi umum suatu tempat sangat penting. Cari tahu tentang rute dan cara membayar karena tiap daerah memiliki keunikannya masing-masing, seperti misal pete-pete Makassar, bentor Medan, ataupun delman Jogja.
Seorang turis adalah manusia yang paling mudah tersesat di suatu tempat. Terlihat bingung saat di transportasi umum akan membuka peluang bagi orang-orang yang berniat buruk mengincar kita.
Tak perlu pelajari semua, cukup hanya kalimat-kalimat yang sering digunakan, misal “maaf, permisi, terima kasih, bertanya harga, menyebut jumlah uang ataupun kalimat makian – ini penting agar kita tahu kalau kita sedang dimaki.
Seorang kawan dari Jakarta berbelanja di salah satu toko batik di Jogja. Karena kesalahpahaman dan tingkahnya dianggap tak bosan, dirinya diusir oleh penjaga menggunakan bahasa lokal.
Tak paham dengan bahasa tersebut, kawan saya hanya tersenyum dan tetap berdiri di tempatnya. Sebuah kejadian yang memprihatinkan dan juga menggelikan.
Selain itu, memahami bahasa lokal akan memudahkan kita saat menawar harga.
Tiap daerah selalu memiliki pusat belanja oleh-oleh untuk para turis. Sesekali mencoba berbelanja di pasar biasa dekat perkampungan warga mungkin justru akan membuat kita mendapatkan oleh-oleh yang benar-benar terasa “lokal” – selain harga yang jauh lebih murah pastinya.
Berdiri seorang diri di tengah pedestrian sembari sibuk jeprat jepret sana sini, tanpa mengenakan papan nama ” saya seorang turis” pun semua orang akan langsung mengenali bahwa kita adalah turis.
Berhentilah “pura-pura” sibuk memotret dan mulailah untuk mencoba berbincang dengan turis di dekatmu. Obrolan awal “hei, darimana asalmu?” selalu berhasil membuka bahan pembicaraan berikutnya.
Berbincang dengan turis lain selalu menambah wawasan baru, karena tiap orang punya ceritanya masing-masing. Belajar tips perjalanan, saran, serta berbagi kisah senang dan sedih di perjalanan hanya dapat dimengerti oleh sesama pejalan.