Mengunjungi Banda Aceh tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Jujur, yang ada di benak saya waktu itu adalah sebuah kota yang dilanda bencana tsunami dahsyat pada tahun 2004 dan peristiwa gerakan separatis yang melanda tempat ini.
Tapi semua pandangan ini berubah, ketika saya harus transit di Banda Aceh selama 6 jam sebelum melanjutkan perjalanan ke Sabang melalui Pelabuhan Ulee Lhue. Ibarat pepatah “jangan lihat buku hanya dari sampul” benar adanya. “Jangan melihat Banda Aceh hanya dari luarnya saja. Lihatlah lebih dalam tentang Banda Aceh itu sendiri”, begitulah pandangan saya terhadap kota ini.
Tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, saya sudah dinanti seorang supir berperawakan tinggi besar yang akan mengantarkan kami ke Pelabuhan Ulee Lhue. Mengingat waktu saya masih cukup banyak, saya pun meminta rekomendasi tempat-tempat menarik di sini.
“Bang, saya lapar nih. Makanan khas di sini apa ya?” tanya saya dengan penasaran.
“Di sini yang paling terkenal itu ayam tangkap, Bang!” balas abang supir dengan logat Aceh nya yang kental.
“Ayam tangkap?” pikir saya heran. Imajinasi saya semakin liar membayangkan menangkap ayam hidup-hidup, lalu di masak untuk dimakan.
Kami sampai di tempat makan. “Oh ini bang ayam tangkapnya?” tanya saya dengan tertawa geli. Ternyata ayam tangkap ini jauh dari apa yang saya bayangkan. Ayam tangkap ini berupa potongan ayam kecil yang ditutupi dengan tumpukkan daun jeruk, daun pandan, dan cabai hijau. Akhirnya saya tahu kenapa disebut ayam tangkap, karena ayamnya “bersembunyi” di antara tumpukan dedaunan, maka kita harus mencari dan “menangkap” untuk mendapatkan ayam itu.
“Bang, saya sudah kenyang. Kita kemana lagi abis ini? Bisa enggak kita ke Masjid Raya Baiturrahman? Saya mau lihat dan ambil foto di sana,” pinta saya.
“Boleh-boleh, akan saya antarkan. Kebetulan jalannya satu arah menuju pelabuhan,” balas si abang yang baik hati.
Tidak sampai 30 menit perjalanan, sayapun tiba di Masjid Raya Baiturahman. Bangunan megah dengan arsitekturnya yang kokoh berdiri di tengah kota mengingatkan saya pada Taj Mahal di India. Mengingat saya datang di Hari Jumat dan tepat waktunya untuk sholat Jumat serta menghormati yang beribadah, saya pun memutuskan hanya mengambil gambar dari luar Masjid saja.
“Dulu pas tsunami datang, hanya Masjid ini saja yang utuh. Benda seperti mobil, motor, bahkan rumah ikut hanyut dibawa ombak,” dengan suara lirih, si abang menceritakan kejadian saat itu.
“Suasana tumpah ruah menjadi kacau saat itu, orang-orang berlarian kalang kabut tidak tahu arah. Jeritan kepanikan terjadi di sana sini. Kami pun berlarian menuju dalam Masjid dan bergegas untuk naik ke lantai dua. Melihat amukan air bah dari atas sini.‘
Letak monumen ini tidak jauh jaraknya dari Masjid Raya Baiturahman. Alun-alun ini berfungsi sebagai tempat berkumpul warga pada akhir pekan. Saya pun mencoba berjalan kaki mengelilingi monumen alun-alun dan melihat banyak sekali nama-nama negara yang tersemat di sebuah batu yang telah membantu rakyat Aceh yang menjadi korban tsunami.
Saya melihat sebuah pesawat yang dijadikan monumen, Dakota RI-001 Seulawah namanya.
‘Seulawah itu artinya gunung emas. Pesawat ini dulu berasal dari sumbangan rakyat Aceh untuk Bangsa Indonesia,’ abang supir menjelaskan.
‘Sebuah perjuangan yang besar untuk negara ini,’ gumam saya.
“Bang, ini kok masih banyak rumah yang hancur? Enggak di benerin lagi sama pemerintah?” saya keheranan.
“Biasanya rumah yang enggak dibangun itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, yang punya sudah enggak ada. Yang kedua, memang sengaja enggak dibangun. Biar ada kenang-kenangannya mungkin,” jawab si abang.
Memasuki jalan sempit, saya melihat sebuah kapal yang teronggok di atas sebuah rumah. Pemandangan yang sangat mencolok di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar.
“Kapal ini terhempas sejauh satu kilometer dari bibir pantai sampai ke permukiman penduduk dan tersangkut di atas rumah ini. Bersama kapal ini, nyawa kami pun terselamatkan. Dan menjadi tempat perlindungan bagi kami yang selamat hingga air surut. Waktu evakuasi kapal ini, ternyata ada seekor buaya yang terdampar di bawah kapal. Saya bersama warga sekitar membantu mengevakuasi buaya ini untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan.”
Memang kalau alam sudah bertindak, tidak ada yang bisa menghentikan semuanya. Kita sebagai umat hanya bisa berserah.
Tidak lengkap rasanya bila berada di Banda Aceh tidak mencicipi kopinya yang terkenal nikmat. Ya, kota ini terkenal dengan kopi Gayo nya yang sangat nikmat dan tentunya membuat orang-orang ketagihan, dan kebetulan warung yang saya datangi baru buka sehabis sholat Jumat.
“Bagi kami warga Aceh, warung kopi merupakan tempat bersosialisasi. Melalui secangkir kopi, kami bisa ngobrol sampai lupa waktu. Maka dari itu, di sini warung kopi sangat banyak. Enggak kalah rasanya sama cafe di kota besar,” Mendengar penjelasan si abang supir saya pun semakin penasaran untuk mencicipnya.
“Bang, kopi Aceh Gayo hitam panas satu. Jangan pakai lama ya,’ saya pesan satu cangkir kopi sembari bersantai.
Dengan cekatan, sang barista menyiapkan gelas dan campuran kopi dengan air panasnya. Lalu menyaringnya ke atas ke bawah seperti teh tarik. Aroma semerbak kopi mulai tercium dari kejauhan.
“Ah… Aceh memang surganya kopi,” ucap saya dalam hati sambil menyeruput kopi Aceh Gayo yang nikmat.