Minggu lalu, saat penat sudah berkumpul di ubun-ubun, saya bersama beberapa orang teman semasa kuliah, memutuskan untuk sejenak melarikan diri dari hiruk pikuk Ibukota Jakarta. Demi efisiensi waktu dan pertimbangan stamina (sudah cukup lama kami tak mendaki gunung), akhirnya Gunung Lembu menjadi pilihan.
Ini beberapa alasan mengapa kami memilih menjadikan Gunung Lembu jadi tempat ‘pelarian’:
Transportasi menuju Purwakarta terbilang mudah karena sudah banyak pilihan moda. Namun kami lebih memilih naik kereta ekonomi. Kereta yang berangkat dari Stasiun Jakarta Kota ini, terdapat tiga kali keberangkatan dalam sehari, yakni pukul 10.15 WIB, 12.45 WIB, dan 16.35 WIB. Hanya dengan membayar sebesar 6 ribu Rupiah, kami sudah bisa duduk manis di dalam kereta selama 2 jam.
Setibanya di Stasiun Purwakarta, perjalanan dilanjutkan dengan naik angkutan. Kami menyewa angkutan sebesar 430 ribu Rupiah untuk mengantar ke basecamp, dan menjemput kami keesokan harinya.
Sepanjang jalan yang kami lalui didominasi oleh hutan bambu dan sangat gelap meski saat itu baru pukul 19.30 WIB. Angkut melaju dalam kecepatan tinggi di tengah jalan yang sempit dan berkelok-kelok. Hal itu menjadi semacam sensasi pemacu adrenalin tersendiri. Sembari menahan rasa mual, kami masih bisa tertawa lepas. Beruntunglah, akhirnya kami sampai setelah satu jam perjalanan yang mendebarkan.
Setelah beristirahat sebentar, kami pun langsung bersiap mendaki. Jalur pendakian yang didominasi oleh tanah merah ini, memang sudah dibuat berupa undakan anak tangga. Namun, tetap dibutuhkan ekstra kehati-hatian ketika mendaki saat hujan, karena jalur akan menjadi sangat licin. Rata-rata kemiringan jalurnya hampir 45 derajat. Bahkan ada pula beberapa bagian yang kemiringannya mencapai 60 derajat.
Tanjakan demi tanjakan langsung menghadang kami sejak awal. Ternyata Gunung Lembu ini kecil-kecil cabe rawit. Kami dibuat kelelahan di menit pertama. Jalur nan terjal seakan tidak ada habisnya. Saya bahkan sampai mengalami kram perut. Sejak awal saya memang meremehkan gunung ini, sehingga mendaki tanpa adanya pemanasan terlebih dahulu.
Sebenarnya bila ingin sekadar menikmati alam terbuka, camping di lokasi Saung Ceria yang berada di bawah Pos I, juga sudah cukup. Tanah lapang di sini dapat menampung banyak tenda. Tak heran bila kemudian, banyak pendaki yang justru memilih mendirikan tenda di sini. Namun tujuan kami memang bermalam di puncak. Jadilah kami paksakan mendaki, meski harus berjalan pelan-pelan.
Karena kelelahan, sering kali saya rebahan di atas batu besar, bersandar di pohon, dan bahkan duduk di jalan setapak. Tanpa saya sadari, ternyata banyak ulat bulu besar yang menempel di bebatuan, dan pepohonan. Sedangkan teman saya yang duduk di atas bangku bambu untuk beristirahat, justru tidak sengaja jarinya tertusuk buluh bambu, dan digigit oleh semut besar yang jumlahnya sangat banyak. Saya yang mengenakan baju berlengan pendek dan celana pendek saat itu, langsung berusaha berhati-hati.
Nah, jalur mulai melandai ketika sudah sampai di Petilasan Jongrang Kalapitung. Penderitaan kami seakan berakhir. Semakin ke atas, ternyata jalur pendakian semakin landai. Selain itu, banyak pula tanah lapang yang dapat digunakan untuk lokasi mendirikan tenda. Kami memilih mendirikan tenda di puncak, karena khawatir lokasi di sekitar di Batu Lembu sudah ramai oleh pendaki.
Bagaimana tidak, gunung yang berada di Purwakarta ini memiliki ketinggian hanya 792 Mdpl! Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam saja untuk sampai ke puncak. Cocoklah untuk kami yang sudah jarang mendaki dan berolahraga.
Kami dapat menikmati keindahan dari atas tanpa perlu terlalu bersusah payah. Malam itu kami lewati dengan sangat syahdu.
Awalnya, saya kira Gunung Lembu akan sangat gaduh ketika akhir pekan, seperti yang pernah saya alami di Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah. Ternyata saya salah, di sini cukup tenang. Saya bersyukur dapat kembali bercengkerama dengan ketenangan alam, bersama teman yang sudah saya anggap seperti saudara. Ini menjadi satu pelarian termanis dalam hidup saya.
Gunung Lembu memang tidak begitu tinggi. Namun, suguhan panoramanya tidak boleh diremehkan dari gunung-gunung tinggi lainnya. Dari atas Gunung Lembu, kami dapat menikmati pesona Waduk Jatiluhur saat sunrise ataupun sunset, lengkap dengan Gunung Bongkok dan Gunung Parang di sampingnya. Tak hanya itu, hamparan persawahan hijau pun turut memberikan sentuhan kecantikan. Saat malam datang, pendaran lampu kota nampak seperti hamparan bintang. Magis!
Satu lagi yang tak boleh terlewatkan, berpose di atas Batu Lembu dengan kesan berdiri di bibir tebing, adalah hal yang perlu Kamu coba. Tapi, tetap hati-hati, ya!
Saya sempat diberikan sedikit “sentilan”, karena tidak permisi ketika melewati petilasan. Untuk itu, usahakan untuk selalu menjaga perkataan saat di gunung. Jangan lupa juga untuk membawa lotion anti nyamuk, karena di Gunung Lembu nyamuknya terbilang sangat banyak. Saya yang paling sensitif dengan gigitan nyamuk, dibuat tidak dapat tidur semalaman. Terakhir, hati-hati dengan serbuan kera yang berada di puncak gunung. Bila tidak ingin didatangi oleh kawanan kera, jangan coba-coba memberi mereka makanan, ya!