Kebumen, satu kota kecil yang jauh dari hingar bingar wisata. Kota ini memang dikesampingkan dari ramainya promosi wisata. Namun, bukan berarti Kebumen tidak memiliki destinasi yang wajib masuk daftar kunjung.
Banyak destinasi indah yang tersembunyi. Sebagian besar hanya diketahui oleh warga lokal.
Setiap kali datang ke bibir pantai di sepanjang sisi selatan kota Kebumen, jantungku dibuat berdentum seiring datangnya ombak menyapu kaki mungilku. Takut akan terbawa arus kalau tidak dalam posisi siap.Sementara di sisi utara Kebumen kita akan disuguhkan panorama yang berbeda, sebab lebih didominasi dengan daerah pegunungan dan perbukitan.
Aku sendiri adalah warga lokal Kebumen. Terinspirasi tulisan Ariesadhar saat mencoba menjadi turis dikampung halamannya di Bukittinggi, aku mencoba di Kebumen.
Menjadi turis di kampung halaman sendiri ternyata menarik. Beberapa destinasi sempat aku kunjungi.
Siapa sangka Kebumen memiliki surga yang tersembunyi di balik perbukitan tepi pantai sisi barat. Pertama kali mengunjunginya, aku sempat kaget dengan medannya yang cukup terjal.
Jalan untuk menuju ke Pantai Menganti memang sulit. Aku harus melewati perbukitan yang cukup tinggi dengan kelokan tajam yang tiada habisnya. Tapi, semua akan terbayar ketika sampai di sekitaran hutan pinus.
Matamu akan dimanjakan dengan hamparan laut biru yang tak berujung. Samudera Hindia telah di depan mata! Aku berhenti sejenak di tepian bukit. Lekat-lekat ku pandang lautan yang tenang, biru dan bersih. Di bibir pantai terlihat puluhan perahu nelayan bercat biru, terjajar secara rapi. Di ujung timur nampak sebuah mercusuar yang masih berdiri kokoh.
Aku beruntung karena waktu itu bisa melihat kekayaan biota laut berupa ikan warna-warni dan bintang laut.
“Mbaknya asli mana?”. “Kebumen Pak”. “Oh yang ada Pantai Ayah itu ya?” Dialog itu sering kali muncul dipercakapanku dengan orang luar daerah. Tapi, cukup bangga karena ternyata Kebumen cukup terkenal wisata pantainya.
Pantai Ayah adalah nama lain untuk Pantai Logendhing. Di bibir pantai Logendhing sudah dibangun pemecah ombak, jadi ombaknya tak sebesar di pantai lainnya.
Pantai ini memiliki laguna yang cukup luas. Pengelola wisata di sini cukup pandai mengolah lahan dengan membangun jembatan di pinggiran laguna.Aku sempat berjalan-jalan berkeliling melalui jembatan ini. Selain itu akupun mencoba merasakan serunya naik perahu di Samudera Hindia!
Namanya belum lama terdengar di masyarakat luas. Dari pintu masuk yang sempit, aku menjelajah masuk ke dalam goa. Membutuhkan beberapa peralatan pengaman jika ingin masuk ke dalam,seperti baju caving, helm, dan penerang atau senter.
Di dalam goa Barat aku disuguhkan dengan berbagai jenis batuan yang telah mengkristal hingga membentuk susunan yang unik seperti tirai. Warna batuannya beragam, mulai dari hitam, keabuan, coklat, dan kekuningan. Airnya sangat jernih dan dingin. Hal ini karena aliran sungai berada di dalam goa, tidak tersentuh matahari. Stalaktit dan stalakmite menjadi pemandangan tambahan yang akan membuatku berdecak kagum.
Di ujung perjalanan, aku dibuat terbelalak dengan grojokan air yang deras. Menurut infromasi yang ku dapat dari teman, grojokan ini dinamakan air terjun Supermen’s Big Sister.
Satu lagi destinasi yang tersohor di Kebumen, yakni Goa Jatijajar. Goa ini syarat akan mitos dan legenda mengenai Lutung Kasarung.
Di dalam goa utama, begitu memasuki goa aku melihat beberapa patung berwarna putih. Ada patung pangeran, puteri, dan monyet. Patung-patung ini menceritakan tentang persembunyian Lutung Kasarung di dalam Goa Jatijajar.
Menelisik masuk, aku menemukan jalan setapak yang merupakan sarana yang dibangun oleh pengelola. Tercium aroma pesing dari gerombolan kelelawar yang tinggal di dalam goa.
Aku menyempatkan mampir ke Sendang Mawar, sekedar untuk mencuci tangan dan melempar beberapa koin.
‘Konon, barang siapa yang mencuci muka dan melempar koin di Sendang Mawar maka permintaan kita akan terwujud’
Jika suatu keindahan destinasi wisata terus dijaga dan dapat diresonansikan dengan manfaat penghidupan bagi lingkungan sekitar, maka keseimbangan alam pun dapat terpelihara dengan baik.
Sempor merupakan waduk yang digunakan sebagai sumber pengairan bagi hektaran sawah di kawasan Gombong. Memiliki latar pemandangan pegunungan pinus yang masih hijau dan asri, Sempor kerap dijadikan tempat menghabiskan sore bagi masyarakat lokal.
Di sepanjang jalan aku melihat orang-orang duduk santai sambil menikmati pemandangan yang ada ditemani angin sepoi yang menyegarkan. Aku lebih memilih duduk diam dan terus memandang hamparan air yang tenang dan bersih, rasanya damai.
Teman perjalananku memilih singgah sebentar untuk merasakan sensasi memancing di bendungan ini.
Waduk ini terbentang di dua kota, yakni Wonosobo dan Kebumen. Rasanya jika aku diminta untuk menarik pelajaran penting dari keberadaan waduk ini, aku akan lantang menjawab, “alam diciptakan untuk siapapun, tapi bukan milik siapapun kecuali Tuhan.”
Panoramanya memang luar biasa.
Di Wadaslintang aku menyewa perahu untuk berputar-putar di danau sambil menikmati udara pegunungan yang masih bersih. Danau ini dimanfaatkan juga untuk tambak, jadi nilai kebermanfaatannya menjadi lebih maksimal.
Sayangnya,nampak begitu banyak sampah mengapung. Padahal panorama di sini sangat nyaman untuk dinikmati mata, danau biru yang sangat luas, dikelilingi pegunungan yang menjulang, dihiasi aliran sungai yang airnya terlihat hijau dari kejauhan, menyedihkan jika semua itu dinodai oleh sampah.
Di tempat ini aku menikmati kembali permainan yang mulai terlupakan, bebek air!
Aku bersantai sejenak bersama kawan sambil mengayuh bebek air di tengah danau. Setiap bebek air dapat diisi oleh 4-5 orang. Di pinggir danau sudah dilengkapi dengan taman bermain anak, seperti ayunan, ataupun perosotan.
Ada juga beberapa gazebo berbentuk joglo mini yang dapat menampung sekitar 5-6 orang. Di sisi lain taman ini juga dilengkapi dengan kebun binatang mini. Cukup menarik untuk para pengunjung yang sudah memiliki anak maupun belum.
‘Mau pulang kampung ya? Kalau ke sini lagi bawa Sate Ambal ya,’ pesan seorang teman ketika aku akan pulang ke kampung halaman.
Sate Ambal terkenal dengan keunikan bumbunya. Sekali melahap, tidak mau berhenti sebelum habis. Sate Ambal hampir sama dengan Sate Madura, dari daging ayam atau pun kambing. Yang membedakan adalah bumbunya.
Bumbu Sate Ambal terbuat dari tempe yang dihaluskan, kemudian dicampur dengan berbagai bumbu dapur dan rempah. Rasanya manis, gurih, dan juga asin. Semua bercampur menciptakan cita rasa yang lezat.
Apalagi kalau bukan “lanting”. Makanan ringan ini terbuat dari singkong. Bentuknya angka 8, atau ada juga yang berbentuk bulat. Untuk membedakan rasanya, aku melihatnya dari warna lanting itu sendiri. Lanting yang berwarna putih bercampur merah muda rasanya cenderung gurih, lanting berwarna kekuningan rasanya gurih manis. Kalau menginginkan rasa yang pedas, aku memilih lanting yang berwarna merah tua.
Lanting cocok untuk oleh-oleh bagi teman-teman di perantauan. ‘
Jika pagi hari sedang melintas di Kebumen, cobalah mampir di salah satu kedai makan sederhana di barat alun-alun Kota Kebumen, Nasi Penggel Pak Melan.
Rasa gurih dari sayur gori atau nangka muda dicampur dengan aneka lauk jeroan membat sarapan pagi sedikit berwarna. Uniknya, nasi penggel ini dibentuk bulat kecil-kecil. Nasi ini akan pecah ketika dicampur dengan sayur gori.
***
Sekalipun terlihat sederhana, tapi rumahku adalah surga bagiku. Itulah mengapa aku selalu ingin menceritakan kotaku