Saat wisata gunung Indonesia mulai berkembang, muncul 2 kubu di dunia maya. Di grup-grup pendakian di Facebook, hal ini sering menjadi sumber perdebatan tak berujung.
Kubu pertama adalah orang-orang yang menganggap naiknya tren pendakian ini adalah hal baik, terutama dari sisi ekonomi. Warga sekitar wilayah pendakian bisa memanfaatkan hal ini. Contohnya di Gunung Bromo, perekonomian warga sekitar terdongkrak karena ramainya wisatawan yang berkunjung.
Baca juga artikel ini, tentang makna dan tujuan sebuah pendakian
Sementara kubu lain yang kurang setuju, berpendapat jika gunung harus tetap dibiarkan alami. Naiknya tren pendakian akhir-akhir ini memang memunculkan masalah baru. Tingkah para pendaki pemula seringkali membuat para pengelola Taman Nasional dan ranger harus mengelus dada. Mulai dari menumpuknya sampah di jalur pendakian, botol dan plastik berisi air kencing pendaki yang bergantungan di pohon, coretan-coretan vandalis, ataupun rusaknya vegetasi. Mereka berpendapat, Indonesia belum siap mengembangkan wisata gunung jika perilaku pendakinya masih seperti sekarang ini.
Jika ditarik benang merah, pada dasarnya wisata gunung tak masalah. Namun perilaku para pendaki dan profesionalitas pengelola gunung di Indonesia-lah yang harus dibenahi.
Beberapa waktu lalu, seorang kontributor Phinemo, Azhari Fauzi, menuliskan sesuatu di akun facebooknya.
“Minggu lalu, saat turun dari Ciremai ke salah satu pos daki di Kuningan, petugas jaga riweuh bertanya (dengan nada merendahkan) ttg gembolan tas dan trekking pole yang saya pakai. Ia terus mengusut heran apa saja yang saya bawa sehingga tas masih cukup besar dan berat (15 kiloan) walau sudah turun gunung.
Padahal, isi dalam deuter aircontact 65+10L itu hanya seperangkat pakaian tidur+sleeping bag+sepasang pakaian ganti, tenda+flysheet, trangia+piring sendok, raincoat, logistik sisa beserta beberapa printilan perlengkapan navigasi. Standar banget. Ia juga kemudian setengah mengejek melihat saya menggunakan trekking pole. “Itu buat jalan aki-aki,” katanya. Saya pun cuma tersenyum sepintas kemudian berlalu.
Barangkali yang ada di pikiran oknum berumur 40 tahunan itu naik gunung >3.000 masl berhari-hari cukup bermodal dengkul, mie instan, sandal jepit, rokok dan bagor.
Oiya, satu hal menggelitik lain yang saya temui ialah tarif yang termasuk sangat mahal dibanding tarif di semua pos pendakian gunung manapun di Indonesia. Tiap orang/trip dibanderol Rp 50.000, dengan iming2 disuguhi minuman (teh manis), 1x makan dan sertifikat yang entah buat apa gunanya.”
Permasalahan tentang wisata gunung inipun menjadi isu utama yang dibahas di talkshow “Wisata Gunung Nusantara” pada acara Kompas Travel Fair beberapa waktu lalu.
Nepal dan Jepang menjadi acuan dalam talkshow itu. Wisata gunung di 2 negara itu memang cukup maju dan dikelola profesional. Adiseno, salah seorang pembicara yang telah berpengalaman mendaki gunung-gunung di Indonesia dan di luar negeri mengatakan, Jepang menggunakan pihak swasta untuk mengembangkan wisata gunung. Di sana, pihak taman nasional memberikan konsesi -pemberian izin- kepada swasta untuk mengelola.
Sementara itu, Sofyan Arief Fesa, salah seorang pendaki 7 puncak dunia mengatakan, pengelolaan wisata gunung di Nepal dan Kilimanjaro sangat teratur. Ia memberikan contoh tentang pengelolaan sampah di gunung. Di Nepal, ada deposit garbage dimana kita harus taruh uang sebelum naik, dan nantinya bisa diambil setelah turun membawa sampah.
Secara luas, pegunungan Nepal besarnya “hanya” seluas Pulau Jawa. Namun, devisa yang diterima dari pendakian gunung jauh lebih besar dari pendapatan seluruh gunung di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia sebenarnya banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk wisata gunung, namun belum dikelola secara profesional.
***
Ya, kita bisa menyebut tren pendakian semakin naik, namun sayangnya hal itu tak dibarengi dengan baiknya perilaku pendaki akhir-akhir ini. Lalu pertanyaannya, dengan kondisi seperti sekarang ini, sudah siapkah Indonesia mengembangkan wisata gunung?