Saya Mendaki Gunung dan Saya Tidak Tahu Apa yang Telah Saya Lakukan

Mendaki gunung untuk pertama kali memang luar biasa, lalu apa? Aapa yang kamu dapatkan setelah selesai mendaki?

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto oleh Adi

Tas-tas kerir menumpuk dipojokan kamar. Andai mereka memiliki mulut mungkin mereka akan tertawa menyaksikan sekumpulan pemula yang sedang menyiapkan perbekalan untuk pendakian pertamanya.

Ya, hari ini, di awal bulan aku dan teman-teman kos mengambil salah satu keputusan paling besar dalam hidup kami, mendaki gunung untuk pertama kalinya.

Keputusan nekat dari sekumpulan anak kos tanpa pengalaman mendaki samasekali, yang sehari-harinya hanya menjelajah dunia didepan layar laptop.

“Njar, nanti kalau aku mati digunung, nomer orang tua di handphoneku aku beri nama bapak atau ibu ya!” Ucup yang baru sampai kos setelah membeli sandal gunung seharga 200 ribu tiba-tiba masuk ke kamar Anjar yang kami jadikan pusat persiapan perbekalan kami.

Aku menahan senyum dihati.

Bukan karena ucapan Ucup,tapi mimik muka yang sangat serius saat mengucapkan hal tersebut, ditambah logat daerah jawa timurnya yang khas.

“Oke, kalau ada sinyal” Anjar menjawab sambil lalu. Dirinya terlalu sibuk menata mi instan kedalam tas daypacknya.

Ucup yang merasa tak ditanggapi mengalihkan pandangannya padaku yang sedang berkutat didepan laptop mencari info tentang jalur pendakian Merbabu yang paling memungkinkan.

“Sinyal hpmu bagus nggak om?” Ucup beranjak duduk kesebelahku.

“Lumayan, kalau hpku baterainya nggak habis ya” Baterai hpku memang mirip cinta monyet ABG, naik turunnya cepat. Ucup mengutak-atik hp jadulku. Aku kembali berkonsentrasi kedepan laptop.

“Om, kamu bisa baca kompas nggak?” Anjar membolak-balik mainan baru yang dia pinjam dari temannya.

“Buka google sana!” Aku terlalu sibuk memilah-milah info jalur mana yang sebaiknya kami pilih.

“Kita butuh parafin” Mataku terus menatap situs yang menyediakan info perbekalan minimal yang harus dibawa kegunung.

“Siap sedia bos” Anjar melempar-lempar parafin ditangannya.

“Om, kalau aku mati digunung nanti siapa yang angkat jenazahku?” Ucup tak kunjung henti membahas itu.

Aku terdiam. Mati. Gunung memang menyeramkan, namun jujur aku tak berpikir bahwa hal tersebut dapat membuat kita kehilangan nyawa. Apalagi dengan banyaknya info dan petunjuk mendaki gunung yang banyak beterbaran di ranah maya, kita dapat menyiapkan diri kita sebaik mungkin.

Tapi memandang mimik mukanya saat mengucapkan hal tersebut dengan serius memaksaku merenung. Kami semua pemula, akan mengunjungi suatu tempat dengan kondisi yang tidak dapat diduga.

Bagaimana kalau kami tersesat? Jatuh ke jurang? Mati kedinginan? Atau dimangsa hewan liar? Kehabisan bekal? Tanda tanya bermunculan dipikiranku.

Tapi,masa iya sih kami akan mati di tempat seperti itu?  Sudahlah, suatu yang tidak pasti memang menimbulkan kecemasan, cara menghilangkan kecemasan itu dengan memastikan hal tersebut.

Ya, aku ingat salah satu dosenku pernah berkata demikian. Oke, artikel-artikel ini dan film 5 cm nampaknya belum cukup untuk menghilangkan kecemasan bagaimana kondisi gunung itu. Satu-satunya cara memastikannya dengan langsung mendaki gunung itu.

“Njar, kamu bawa mi instan berapa?” Anjar diam, nampak kurang suka terus direcoki Ucup. Ucup mengangguk-angguk melongok ke dalam tas kerir Anjar.

“Cup tolong belikan gula jawa ke warung, kita butuh itu nanti” Aku menyerahkan selembar uang 5 ribuan.

“Meluncur” Ucup berlari ke warung depan kos. Dia nampak yang paling bersemangat dipendakian pertama ini. Dirinyalah yang pertama kali melontarkan ide mendaki gunung. Aku dan Anjar yang sempat ragu, berhasil diyakinkannya.

Menjelang petang, Surya teman kami datang menjemput. Dari Semarang, kami menggunakan sepeda motor menuju pos pendakian gunung Merbabu.

Kami sama sekali buta arah, termasuk Surya, dirinya pun baru pertama kali mendaki merbabu. Kami menuju Kopeng, Salatiga. Dan setelah 2 jam perjalanan kami tiba di pos pendakian jalur Thekelan setelah beberapa kali bertanya pada warga lokal.

Kami tak tahu sama sekali tentang jalur ini. Informasi-informasi jalur yang aku baca di internet semuanya tentang jalur Selo. Sangat jarang membahas jalur Thekelan. Upayaku mencari tahu tentang jalur ini di internet nihil. Provider selulerku tak menyediakan sinyal di daerah ini.

Nampaknya hanya diriku yang khawatir dengan hal tersebut. Anjar, Ucup dan Surya langsung terlelap di basecamp Thekelan yang berupa bangunan rumah permanen ini. Udara dingin dan lelah diperjalanan akhirnya memaksaku memejam.

Paginya, rencanaku bertanya pada pendaki lain di basecamp gagal. Hanya ada kami di basecamp ini. Kami hanya mendapat sedikit informasi dari penjaga basecamp bahwa jalur Thekelan memang cukup sepi karena lebih curam dari jalur lain. Bagus, satu-satunya informasi mendaki gunung bagi kami para pemula adalah jalur ini cukup sulit.

“Mati” kembali muncul dipikiranku. Pikiran tersebut coba aku hapus. Aku mencoba menikmati pendakian pertamaku.

Sudahlah, hidup mati rahasia Illahi.

Mendaki gunung ternyata melelahkan. Sangat melelahkan. Jauh lebih melelahkan dari yang kami bayangkan. Sudah lebih dari 5 kali kami berhenti untuk beristirahat dalam perjalanan menuju pos 1. Nafas terasa sangat berat, kaki sakit, dan punggung seperti tak sanggup lagi menyangga.

Banyak artikel di internet yang menulis, pemandangan indah akan menghapus semua rasa lelah kita. Namun hal tersebut tidak kami rasakan. Kulempar pandangan pada rekan-rekan perjalananku. Anjar dan Ucup nampak sangat kelelahan.

Muka mereka pucat.

Berusaha membuka mulut agar bernafas lebih ringan. Andai ada cermin disini, mungkin rupaku tak berbeda dengan mereka. Hanya Surya yang nampak cukup tenang. Dirinya memang terbiasa mendaki. Bahkan tugasnya membawa tenda dan perbekalan kelompok kami tak membuat dirinya berkeringat.

“Aku mau turun saja, aku nggak mau mati” Ucup berkata dengan nada terputus-putus karena saking beratnya bernafas.

“Ayo bro, kita baru 1/4 perjalanan” Surya mencoba menyemangati Ucup.

Aku diam. Mendaki gunung ternyata seberat ini. Apalagi bagi kami yang selama ini hanya berada didepan layar laptop. Suasana disini begitu hening. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku dengan sangat jelas. Jantung yang terasa mau copot dari tempatnya. Benarkah kami sanggup mendaki gunung?

“Ayo, nggak ada pilihan lain, yang pertama memang selalu berat, nanti kita akan terbiasa” Surya tegas sambil terus melangkah.

Kami bertiga saling pandang, entah kenapa meskipun begitu berat tapi kaki ini terus melangkah. Surya mengajarkan kami trik mendaki agar tidak terlalu lelah. Melangkahlah 10 langkah kemudian berhenti 10 detik untuk mengambil nafas.

Hal ini ternyata jauh lebih efektif daripada memaksakan melangkah sejauh mungkin, kemudian istirahat duduk lama sampai 5-10 menit.

Menurutnya, jika kita istirahat terlalu lama, badan kita kembali dingin dan membutuhkan energi lebih banyak untuk kembali mendaki.

“Terus jaga ritme” Surya muncul menjadi penyelamat kami. Memang tidak salah mengajaknya. Dengan ritme seperti itu kami berhasil melalui pos demi pos.

Nafas ini masih berat, kaki ini makin bertambah pegal, dan punggung ini makin sakit, tapi entah kenapa kami terus melangkah. Menjelang petang, kami memutuskan mendirikan tenda. Kami berencana mendaki puncak saat menjelang sunrise. Malam itu aku pertama kalinya memejam di tengah udara pegunungan yang sangat dingin. Meski susah namun akhirnya aku terlelap.

Mendengar suara gaduh diluar tenda,aku terbangun. Kulirik jam, pukul 4. Ternyata tempat kami mendirikan tenda adalah persimpangan dari jalur-jalur pendakian yang lain. Para manusia pemburu sunrise sudah bersiap menuju puncak untuk menikmati matahari terbit di puncak gunung. Segera kubangunkan Anjar, Ucup dan Surya.

Kami bergegas bersiap menuju puncak.

Langkah kaki ini tidak seberat kemarin. Pikirku,mungkin badan ini sudah mulai bisa berkompromi. Sepanjang perjalanan dari tempat kami mendirikan tenda hingga menuju puncak banyak kami jumpai nisan-nisan. Langkahku terhenti karena penasaran. Surya membaca gelagatku.

“Itu nisan pendaki-pendaki yang meninggal di gunung ini”

Aku tercekat.

Mereka meninggal di gunung. Bayangan-bayangan tentang kematian yang muncul sebelum kami mendaki kembali muncul.

Mati. Bagaimana mereka mati? Apakah mereka bahagia meninggal di tempat yang jauh dari keluarga atau orang terdekat? Kembali tanda tanya bermunculan.

“Nisan itu dibuat oleh rekan atau orang terdekat mereka, sebagai bentuk penghormatan,” Surya masih melanjutkan penjelasannya.

Penghormatan tentunya diberikan pada sesuatu yang terhormat. Benarkah meninggal di gunung adalah suatu kehormatan? Aku yang mendaki gunung karena ajakan dan paksaan teman, belum menemukan makna kehormatan tersebut.

“Ayo, sebentar lagi sunrise” Surya mengajak melanjutkan perjalanan. Aku kembali melangkah dengan banyak pertanyaan berputar dikepalaku.

Tepat saat matahari muncul, kami berhasil tiba di puncak. Puncak pertama di pendakian nekat pertama. Terpaan hangat sinar matahari terasa sangat nikmat. Matahari menyembul dibalik lautan awan. Nampak puncak Gunung Lawu di timur jauh. Aku tengok belakang, pantulan bayangan puncak Sindoro Sumbing di atas awan saat sunrise sangat menakjubkan.

Aku kehabisan kata untuk menggambarkan suasana ini.

“Ayo foto!” Ucup yang entah kenapa dalam perjalanan menjelang puncak menjadi seperti hp yang baru di charge, sangat bersemangat.

Kami berfoto dengan latar sunrise dipuncak gunung, seperti halnya pendaki lainnya. Dipuncak aku kembali menemukan beberapa nisan. Nisan tersebut nampak bersinar terkena terpaan matahari pagi. Ketiga temanku masih sibuk foto-foto, begitu juga pendaki-pendaki lain yang berhasil mencapai puncak. Pemandangan di atas sini begitu luar biasa. Inilah kado kami yang berhasil menaklukan diri kami sendiri.

Apakah pendaki-pendaki gunung yang meninggal di gunung ini juga merasakan hal yang sama? Inikah tujuan dari para pendaki gunung? Nisan tersebut diam membeku disana. Tentu saja, itu hanya nisan. Tak mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

“Om, ayo ngemi” Anjar nampak sudah menyiapkan peralatannya. Di pendakian ini memang dia bertindak sebagai koki kami. Bentuk mi ini tak jauh beda dari rasa mi yang biasa aku nikmati dikos.

Namun sekarang terasa begitu nikmat. Jargon kalau semua makanan akan terasa lebih nikmat dipuncak gunung ternyata benar adanya. Yah, apapun itu, kami berhasil sampai disini, puncak pertama kami. Wajah ketiga rekan sependakianku sangat cerah, demikian juga aku. Untuk kami yang baru pertama kali mendaki, makna mendaki gunung mungkin baru sekedar mengejar sunrise di puncak.

Dulu dosenku pernah berkata, makna suatu hal tak bisa dipelajari dari orang lain, untuk mendapatkan makna itu kamu harus merasakannya sendiri.

Kami menikmati mi sambil bersenda gurau menikmati suasana puncak. Dan nisan itu masih diam membeku di sana.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU