Cerita Tentang HOS Tjokroaminoto dan Rasa Malu Soekarno

SHARE :

Ditulis Oleh: Mia Kamila

Foto oleh Mia Kamila

Pernikahan Soekarno dengan Oetari tidak menghasilkan keturunan, karena Soekarno sangat menghormati guru besarnya, Tjokroaminoto sehingga ia malu, sungkan, dan tidak berani menyentuh Oetari yang merupakan anak dari Eyang Tjokroaminoto

Masih ingatkah Anda tentang cerita sejarah Serekat Islam di Indonesia? Pernah mendengar nama HOS Tjokroaminoto?

“Banyak versi dan banyak pendapat tentang sebuah pengungkapan sejarah” kata Pak Eddy saat  menyambut kedatangan saya di Rumah Peneleh.

Beliau bercerita banyak hal tentang sejarah Rumah Peneleh tersebut. Rumah yang pernah ditinggali oleh HOS Tjokroaminoto beserta istrinya, Soeharsikin dan lima anaknya – Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, Islamiyah dan Sujud Ahmad.

Mereka tinggal di bagian depan, sementara bagian belakang rumah disekat menjadi 10 kamar kecil-kecil untuk tempat kos pemuda, seperti Sukarno, Alimin, Muso, Suherman Kartosuwiryo, dan Soemaoen.

Bagi saya, Rumah Peneleh adalah sebuah rumah yang melahirkan para pembesar bangsa. Tumbuh bersama guru mereka untuk menuntut ilmu yang mereka butuhkan. Banyak sekali sejarah yang tersirat di Rumah Peneleh ini.

Rumah Peneleh, rumah kedua

Foto oleh Mia Kamila

Seperti Surabaya, bagi saya, Rumah Peneleh ibarat rumah yang selalu saya rindukan dan wajib saya kunjungi setahun sekali, bahkan bisa lebih. Seperti ada hati yang tertinggal di sana. Ada cinta yang tersurat di sana, ada rindu yang terselip dan mendorong saya untuk kembali dan kembali untuk pergi ke sana.

Tak banyak wisata alam yang ada di sana. Bahkan orang lokal enggan mempromosikan tempat wisata alam di Surabaya. Namun jika ingat sebuah lirik lagu yang berjudul Surabaya: “Surabaya, Surabaya, oh Surabaya, kota kenangan, kota kenangan”. Lagu itu tenar oleh penyanyi kondang Sundari Sukoco. Memang benar adanya, Surabaya adalah kota kenangan. Kota kenangan bagi saya, dan kota kenangan bagi masyarakat Kota Surabaya sendiri. Mengingat kota ini pernah terjadi pertumpahan darah untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kenangan akan pertempuran di Surabaya terkuatkan akan sisa-sisa bangunan tua yang masih berdiri dengan kokohnya. Bangunan cagar budaya yang sudah diakui oleh pemerintah kota. Bangunan-bangunan tua yang memiliki arti penting tentang Surabaya. Bangunan yang merupakan saksi bisu atas pertumpahan darah dan lahirnya para pejuang Indonesia.

Jalan Peneleh VII. Gang sempit di pusat kota, di pinggir aliran Sungai Kalimas. Menyimpan beberapa arti penting tentang kenangan. Tentang sejarah yang tak kan pernah kita lupa. Tentang lahirnya para tokoh pendiri bangsa Indonesia.

Di bawah terik matahari yang menyengat jaket kain yang saya kenakan terasa gerah. Butiran peluh mengucur dari belahan dada dan punggung saya. Sementara hijab saya tidak kuasa menahan panas yang terasa. Di punggung masih melekat ransel kecil berisikan kamera dan laptop.

Rumah ini adalah rumah milik HOS Tjokroaminoto. Rumah seorang tokoh bangsa. Rumah yang sangat menginspirasi saya ketika pertama kali datang ke sana. Dengan plakat emas bertuliskan “Cagar Budaya” oleh Dinas Pariwisata Kota, menandakan bahwa bangunan ini harus dilestarikan.

Belajar Rasa Malu

Foto oleh Mia Kamila

Mendengar cerita demi cerita dari Pak Eddy yang merupakan penjaga rumah tersebut membuat saya bergidig membayangkan kejadian pada masa itu.

Semangat Tjokroaminoto begitu besar mempengaruhi bangsa Indonesia untuk tidak tunduk kepada pemerintahan kolonial. Melarang adanya jalan jongkok ketika bertemu dengan penguasa kolonial.

Pakaiannya yang rapih menunjukkan sebuah kesetaraan bahwa rakyat jelata harus sejajar dengan bangsawan. Menunjukkan bahawa bangsa kita adalah bangsa yang besar, memiliki jiwa yang besar, semangat yang besar dan cita-cita yang besar.

Rumah di gang sempit itu pula yang memberikan berbagai insapirasi kepada saya. Memberikan semangat baru dengan sebuah tekat untuk meraih sebuah cita-cita. Banyak sekali kenangan dan cerita sejarah yang tertoreh di sana.

Saya menyusuri kamar utama yang konon adalah kamar Eyang Tjokro (Tjokroaminoto). Di sana terdapat sebuah bingkai berukuran 10R hitam putih menempel di dinding. Eyang Tjokro beserta istrinya. Di samping bingkai tersebut nampak sebuah bingkai lagi, nampak seorang wanita tersenyum dengan senyum tulusnya.

Ialah Oetari, putri Tjokroaminoto yang menikah dengan Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia.

Oetari adalah istri pertama Soekarno. Pernikahan itu terjadi karena proses perjodohan oleh Tjokro. Sementara itu Soekarno tidak bisa menolak permintaan guru besarnya itu, karena Soekarno sangat menyegani beliau. Setelah menikah dengan Oetari kemudian Soekarno pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya.

Pernikahan Soekarno dengan Oetari tidak menghasilkan keturunan, karena Soekarno sangat menghormati guru besarnya, Tjokroaminoto. Soekarno tidak berani menyentuh Oetari yang merupakan anak dari Eyang Tjokroaminoto.

***

Negeri ini kaya akan budaya, kaya akan sejarah dan kaya akan cerita-cerita yang jarang sekali orang ketahui. Namun, di rumah sempit itu saya menemukan beberapa cerita sejarah yang (sebelumnya) kurang saya mengerti.

Apapun itu, semuanya tak lepas dari yang namanya peran sejarah, bergantung juga pada cara bagaimana kita menyikapi dan memandangnya dari sisi positif.

Saat melangkah keluar dari Rumah Peneleh, saya merasa malu. Malu karena tak cukup mengenal negeri saya sendiri.

 

Baca juga:

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU