Tak Ada Alasan Untuk Tak Jatuh Cinta dengan Banda Neira, Maluku

Banda Neira, yang dulu sangat ramai di masa kejayaannya sebagai "bandar rempah", penghasil pala yang dihargai setinggi emas di eropa, kini begitu sunyi.

SHARE :

Ditulis Oleh: Umu Umaedah

Foto oleh Youlee Toisuta

Ini adalah sebuah cerita tentang kota di negeri timur. Tempat yang pernah menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal besar dari belahan dunia seperti Belanda, Portugis dan Inggris. Kini, tempat ini jauh dari keramaian.

Setelah 50 menit terbang dari Ambon, pesawat berhasil mendarat. Sempat was-was saat mendengar peringatan dari kru jika cuaca di tempat ini tak bisa diprediksi. Mungkin itu alasan penerbangan ke Banda Neira selalu di pagi hari, untuk menurunkan resiko terjadi hal yang tak diinginkan.

Keluar dari pesawat, aroma khas tanah yang basah setelah hujan menyeruak masuk hidung. Aroma petrichor yang sudah lama tak pernah saya rasakan semenjak kemarau panjang. Landasan masih meninggalkan sedikit genangan air dan rumput-rumput taman masih basah.

‘Cuaca di sini tidak menentu. Sejam lalu begitu gelap karena hujan badai, sekarang sudah kembali cerah,’ seorang petugas tersenyum ramah sembari menceritakan kabar terbaru tentang Banda Neira. Saya mengangguk dan membalas senyum ramahnya.

Segera saya menuju penginapan, Delfika guest house, sebuah penginapan tua bergaya Eropa yang sudah saya pesan jauh-jauh hari. Sepanjang jalan saya amati sekeliling kota. “Pulau bandar rempah”, julukannya dulu saat masa kejayaan pulau ini. Merupakan pemandangan yang biasa, sepanjang jalan di Banda Neira menjadi tempat menjemur pala. Pala merupakan daya tarik sehingga Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris berlomba-lomba mengarungi lautan beribu-ribu kilometer menuju Banda hanya untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di sini. Pala kala itu laksana emas karena sangat mahal di pasar Eropa. Saya bayangkan dulunya tempat ini pasti sangat ramai, tak sesunyi sekarang. Sepi dengan meninggalkan sisa bangunan kokoh dan sisa reruntuhan.

Sampai di penginapan imajinasi saya kembali lari ke masa lampau. Arsitektur penginapan yang sangat “Belanda” membuat saya membayangkan dulunya mungkin tempat ini noni-noni Belanda saling berkumpul bercengkrama dengan gaun putih klasiknya. Saat melempar pandang ke halaman, seorang juragan rempah bertopi putih mengayuh  sepeda kumbang.

Ah, imajinasi saya memang terlalu liar.

Benteng Belgica, sisa kejayaan bandar rempah

Foto oleh Dewetter

Keliling Banda Neira, saya dipandu Putu, wanita lokal yang tak sengaja saya temui kemarin di pesawat. Ia masih muda, usianya tak jauh dari saya. Hanya lebih tinggi sedikit. Ia baru saja kembali dari perantauan setelah menuntut ilmu di Trisakti Jakarta.

Setelah naik ke atas bukit, Benteng Belgica berdiri megah di depan saya. Pintu masuk benteng dijaga oleh petugas. Bukan untuk menghalau musuh, hanya untuk menjaga pintu agar orang-orang tak keluar masuk seenaknya karena bagaimanapun Benteng Belgica ini tercatat sebagai salah satu World Heritage oleh UNESCO.

Lebih dari seratus anak tangga berhasil saya daki untuk melihat kemegahan benteng ini. Benteng dengan bekas hitam di dinding, lumut dan juga beberapa dinding retak, bukti kemegahannya mulai ditelan waktu. Dulunya benteng ini digunakan sebagai lokasi pemasungan dan pemenggalan kepala warga pribumi.Selintas bulu kuduk saya merinding, suasana horor masih saja muncul meski di siang hari.

 

Foto dari Banda Neira Island

Di lantai 2, pemandangan luas ke laut dengan tiupan angin sungguh membuat segar pikiran. Berjajar 5 buah meriam dengan logo VOC dan 5 menara yang bisa dinaiki. Udara tempat ini sangat bersih. Pemandangan gunung api, hilir mudik perahu motor di teluk Banda, dan sisa-sisa Benteng Nassau di seberang terlihat jelas. Ah Benteng Nassau. Benteng kebanggaan para kompeni seluas tiga ribu meter persegi itu kini telah terkoyak. Hanya tinggal sisa temboknya yang sebagian runtuh. Nassau adalah benteng pertama Belanda di Banda. Pada 1621 benteng itu pernah dijadikan tempat pembantaian 44 orang kaya Banda atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen. Pembantaian yang kemudian membuatnya dijuluki ‘sang penakluk hebat’.

Imajinasi saya kembali terbang ke masa lalu. Saya membayangkan, inilah yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen, sambil memelintir kumis berdiri gagah mengawasi kapal-kapal yang mengangkut rempah yang diambil dari tanah nusantara ini ke negerinya di Belanda sana.

***

Hari itu saya belum sempat berkunjung ke rumah pengasingan Bung Hatta karena kondisi fisik yang drop. Menyesal memang, tapi saya pikir itu bisa jadi salah satu alasan tepat untuk kembali ke tempat ini suatu hari nanti, Kota Banda Neira yang sunyi. Banda Neira yang hanya ramai ketika kapal Pelni berlabuh, saat mendadak para pedagang memadati pasar siap menyambut para penumpang yang turun ke darat untuk membeli makanan dan oleh-oleh khas Banda.

Kesunyiannya, keramahan warga lokal, aroma khas rempah yang kadang tercium di udara alamnya yang begitu bersih, nampaknya saya jatuh cinta. Sampai ketemu lagi, Banda Neira.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU